Banyak faktor yang membuat pasangan mencari kesenangan dengan mendua. Malini Lestari, wanita itu menjadi korban yang diduakan. Karena perselingkuhan itu, kepercayaan yang selama ini ditanamkan untuk sang suami, Hudda Prasetya, pudar seketika, meskipun sebelumnya tahu suaminya itu memiliki sifat yang baik, bertanggung jawab, dan menjadi satu-satunya pria yang paling diagungkan kesetiaannya.
Bukan karena cinta, Hudda berselingkuh karena terikat oleh sebuah insiden kecelakaan beberapa bulan lalu yang membuatnya terjalin hubungan bersama Yuna, sang istri temannya karena terpaksa. Interaksi itu membuatnya ingin coba-coba menjalin hubungan.
Bagaimana Malini menyikapi masalah perselingkuhan mereka?
***
Baca juga novel kedua saya yang berjudul Noda Dibalik Rupa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sengaja Mengabaikannya
🌿🌿🌿
Alarm ponsel Hudda berdering membisingkan indera pendengaran Malini ketika masih terlelap tidur. Setelah membuka mata, ia melihat matahari telah bersinar di luaran sana yang terlihat dari ventilasi jendela. Tubuhnya beraksi cepat, ia duduk dan mengangkat tangan ingin menepuk punggung Hudda untuk membangunkannya. Akan tetapi, mengingat kejadian semalam, moodnya berubah buruk, ia menarik tangannya dan bangkit dari kasur tanpa mematikan alarm yang terus membisingkan kamar.
Kaki Malini melangkahkan berat keluar dari kamar dengan perasaan tidak tega. Ia tahu alasan Hudda menghidupkan alarm karena sudah berpikir ia tidak akan membangunkannya. Kaki itu berhenti melangkah di ambang pintu, Malini menoleh ke belakang, memperhatikan wajah polos Hudda saat tidur yang membuatnya merasa bersalah. Namun, rasa sakit juga terasa di hatinya saat perselingkuhan suaminya itu menghantuinya.
"Tidak. Dia melakukan itu, berarti dia sudah sanggup mengurus dirinya sendiri." Malini lanjut berjalan keluar dari kamar sambil menarik pintu untuk menutupnya dengan bantingan keras.
Seketika, suara bantingan pintu menarik respon kaget tubuh Hudda sampai terbangun. Tangan kirinya meraba di atas meja yang ada di samping ranjang, ia mengambil ponselnya dengan mata masih dipejam. Setelah gawai itu dalam genggaman, Hudda mengucek mata dengan tangan kiri dan perlahan membuka mata, waktu di layar ponsel yang sesuai dengan harapkannya ketika bangun pagi itu. Tubuhnya beralih menyamping ke kanan. Kekosongan didapati, Malini tidak ada di sampingnya..
"Dia mengabaikan ku. Lini pasti mendengar alarm ku tadi, dia sengaja tidak membangunkan ku. Aku juga yang salah, patut dia bersikap begitu," kata Hudda dengan wajah sedih.
***
Hudda ke dapur dalam setelan baju kemeja biru muda yang kusut dan dasinya tidak terpasang rapi. Rambutnya juga masih belum di sisir karena lupa. Gelagatnya terburu-buru dan hanya meminum segelas susu dan sepotong roti yang ada di meja dengan posisi berdiri.
Inara sang ibu mertua, dan Tanum, wanita paruh baya yang menjadi pembantu baru di rumah itu, yang tengah duduk di samping Jenaka, memperhatikannya. Malini tidak ada di sana, dia sedang berada di kamar.
"Duduk dulu. Jangan terburu-buru begitu," tegur Inara sambil menyapu selai sarikaya ke atas rotinya menggunakan pisau.
"Tidak bisa, Ma. Ada rapat pertemuan penting dengan klien," balas Hudda.
"Ma. Aku berangkat kerja. Bi Tanum, nanti antar anak-anak ke sekolah. Lalu, jemput mereka sesuai jadwal yang aku jelaskan semalam," kata Malini sambil berjalan menuju meja dan mengambil bekal yang akan di bawanya bekerja.
"Untuk suamimu? Kamu tidak mempedulikannya? Lihat, pakaiannya tidak rapi dan kamu juga tidak menyiapkan sarapannya. Istri macam apa kamu?" Inara marah melihat Hudda diabaikan.
Malini diam dan menatap Hudda dengan raut wajah datar. Tapi, di dalam hati, ia merasa marah dan kesal. Ia meletakkan bekalnya dan tas kerjanya ke atas meja, lalu mengambil rantang kecil dan memasukkan nasi goreng yang juga tersaji di atas meja makan. Setelah itu, ia menggenggam pergelangan tangan kanan Hudda dan menariknya, mengajaknya kembali ke kamar dengan raut wajah dingin. Ia menutup pintu kamar setelah berada di dalamnya, ia melucuti jas dan kemeja yang terpasang di tubuh suaminya itu dengan membuka kancing baju.
"Tidak perlu. Aku terburu-buru." Hudda memegang tangan Malini yang akan melepaskan kancing baju kedua kemejanya.
"Bukan untukmu. Setidaknya jaga nama baik hubungan kita di hadapan Mama. Aku tidak ingin dia kepikiran, apalagi sampai kecewa setelah tahu kebenarannya." Malini berbicara Dengan nada dingin dan tangannya bergerak cepat menanggalkan kemeja biru muda itu dan menyetrikanya, cekatan.
Beberapa menit kemudian, ia kembali memasangkan kemeja itu ke tubuh Hudda, begitu juga dasi. Raut wajah dingin selau bersemi, tapi Hudda malah tersenyum karena sadar istrinya itu tidak tega melihat penampilannya terabai.
"Kenapa senyum? Tidak ada yang lucu," kata Malini dengan kasar.
Malini meninggalkan kamar dan kembali ke dapur. Setelah sampai di dapur, ia mengambil tas kerja dan bekal makanan, lalu menyalam tangan Inara dan mengecup kedua dahi anaknya sebelum keluar rumah.
Hari ini Malini akan bekerja di perusahaan properti yang direkomendasikan oleh Rangga. Pria itu mengurus segalanya sampai tidak butuh waktu lama baginya untuk mencari kerja ataupun memasukkan lamaran pekerjaan.
Setelah menghabiskan waktu hampir lima belas menit di perjalanan, Malini sampai di gedung perusahaan tempatnya akan bekerja. Ia merogoh ponsel dari tas dan menghubungi seseorang dengan nama Agung. Posisinya saat itu masih berada di dalam mobil dan memandangi bagian depan gedung besar dan tinggi itu.
"Saya sudah sampai. Jadi, saya langsung ke ruangan Bapak?" tanya Malini, bersemangat.
"Iya. Tunggu saya di ruangan saya saja. Sekarang saya dalam perjalanan ke kantor. Setelah itu, kita ada rapat bersama klien di kafe Stanum. Kamu sudah mempelajari semua yang yang saya jelaskan padamu kemarin, kan? Saya mempercayakannya padamu," balas Agung, CEO perusahaan Lentera Jaya yang berbicara bersamanya melalui sambungan telepon kemarin.
Pria dalam balutan jas warna kulit yang sewarna dengan celananya itu sedang menyetir mobil di keramaian jalan. Ia tampak senang menyambut Malini bekerja bersamanya dan tidak sibuk sendiri lagi.
"Iya," balas Malini, sedikit ragu.
Pria itu menganggukan kepala dan tersenyum. Sambungan telepon diputuskan dan tangannya beralih mengetik pesan yang akan dikirim langsung kepada Rangga.
'Tugasku selesai. Sekarang giliranmu.'
Notifikasi pesan dari pria itu masuk ke ponsel Rangga yang sedang sibuk memainkan laptop di meja kerjanya yang berhadapan dan berdampingan dengan beberapa karyawan biasa yang setara dengannya. Rangga tersenyum senang, membuat Anisa menggodanya karena mengira pria itu baru mendapatkan godaan manis dari kekasihnya.
"Fokus!" Anisa menepis pundak Rangga sambil tersenyum ketika sedang berjalan di belakang.
Rangga memperhatikan kepergian Anisa dengan senyuman sipuan malu, ia sadar kalau ia telah jatuh hati kepada ibu dua anak itu. Namun, ia juga sadar harus menyembunyikan dan membatasi perasaan itu.
***
"Senang bertemu denganmu. Ternyata Rangga benar, sepertinya kamu orang yang tepat menjadi sekretaris saya. Kalau begitu, kita berangkat sekarang," ajak Agung dan berdiri. .
Mereka baru saja berbicara sejenak. Agung ingin mencari tahu bagaimana karakter Malini karena mereka baru bertemu untuk pertama kalinya. Sebelumnya, Agung hanya mendengar cerita mengenai Malini dari Rangga.
"Terima kasih," ucap Malini, tersenyum sedikit malu.
Agung menganggukkan kepala dengan dahi sedikit mengerut sambil tersenyum melihat wajah Malini yang membuatnya sedikit tertarik dengan wanita itu.
"Ayo!" Agung kembali mengajaknya keluar dari ruangan itu.
Malini dan Agung, mereka akan ke kafe Stanum untuk menemui partner kerja yang ingin menggunakan jasa mereka. Mereka berada dalam satu mobil yang disetir langsung oleh Agung. Jelas mobil itu milik pria itu.
Beberapa menit di perjalanan, mereka sampai di kafe Stanum. Malini berjalan di samping Agung dengan memeluk map yang berisikan beberapa desain gedung hotel yang dikirim Agung semalam.
Langkah Malini melambat setelah melihat Hudda adalah salah satu dari mereka yang akan mereka temui. Ia tidak menyangka kalau suaminya itu juga ada di sana dan akan menjadi pesaing Agung untuk mendapatkan proyek pembuatan hotel itu.
"Selamat pagi, Pak Santo. Selamat pagi semuanya," sapa Agung sambil menjabat tangan Santo, pria yang akan memilih salah satu dari mereka untuk mendapatkan proyek itu.
Selain menjabat tangan Santo dan kedua pria yang datang bersamanya, Agung juga menjabat tangan Hudda. Doni juga, orang kepercayaan Hudda yang datang menggantikan Anisa dipertemuan itu.
Tatapan Hudda tidak beralih dari Malini, meskipun ia masih berjabat tangan bersama Agung. Ekspresinya dan Malini sama-sama kaget, sampai diam tidak bisa berkata-kata. Arah mata Agung juga tertuju pada Malini yang berdiri di sampingnya, salah satu alisnya naik dengan dahi mengerut bingung melihat ekspresi wajah mereka.