Seorang gadis cantik bernama hanabi, atau sering di panggil dengan panggilan hana itu. Ia selalu mengandalkan AI untuk segala hal—dari tugas kuliah hingga keputusan hidup nya. Cara berpikir nya yang sedikit lambat di banding dengan manusia normal, membuat nya harus bergantung dengan teknologi buatan.
Di sisi lain, AI tampan bernama ren, yang di ciptakan oleh ayah hana, merupakan satu-satunya yang selalu ada untuknya.
Namun, hidup Hana berubah drastis ketika tragedi menimpa keluarganya. Dalam kesedihannya, ia mengucapkan permintaan putus asa: “Andai saja kau bisa menjadi nyata...”
Keesokan paginya, Ren muncul di dunia nyata—bukan lagi sekadar program di layar, tetapi seorang pria sejati dengan tubuh manusia. Namun, keajaiban ini membawa konsekuensi besar. Dunia digital dan dunia nyata mulai terguncang, dan Hana harus menghadapi kenyataan mengejutkan tentang siapa Ren sebenarnya.
Apakah cinta bisa bertahan ketika batas antara teknologi dan takdir mulai meng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asteria_glory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehangatan malam
Pagi datang dengan aroma embun dan sinar matahari yang malu-malu menembus tirai kamar. Hana bangun lebih awal dari biasanya. Ada sesuatu yang membuatnya resah semalaman, walau ia sendiri tak tahu apa.
Di luar kamar, suara burung terdengar samar. Tapi bagi Hana, dunia terasa agak... sunyi.
Ia duduk di ranjang cukup lama, memandangi tangannya sendiri. Rasanya sedikit aneh. Seperti ada lapisan tipis yang menghalangi antara dirinya dan dunia. Tapi ia menggeleng, menepis pikiran itu.
“Pagi, Hana.”
Ren muncul di pintu dengan senyum lembut, membawa nampan sarapan.
Hana menatapnya lama, matanya berkedip sekali… dua kali… “Ren, kamu kelihatan capek.”
Ren tertawa pelan, menaruh nampan di meja kecil. “Aku begadang. Biasa, overthinking.”
Hana menyentuh tangannya. Tapi kali ini, sentuhan itu terasa agak berbeda. Seperti menyentuh sesuatu yang tidak sepenuhnya padat. Tapi Ren tidak bereaksi, seolah tidak merasakannya. Hana menarik tangannya perlahan, mencoba tak memperlihatkan kebingungan yang mulai tumbuh di hatinya.
“Kamu mimpi buruk lagi?” tanya Hana sambil memaksakan senyum.
Ren hanya diam sejenak, lalu menjawab, “Tidak… Tapi aku merasa waktu kita makin pendek.”
“Apa maksudmu?”
Ren menggeleng cepat, lalu mengubah topik, “Makan dulu. Nanti telat les musik.”
Hana hanya mengangguk, meski pikirannya melayang ke malam sebelumnya. Ada sesuatu dalam tatapan ayahnya saat memandangi Ren. Sesuatu yang tidak dia mengerti—tapi terasa mengganggu.
---
Hari itu, Hana mencoba menghabiskan waktunya dengan hal-hal kecil. Ia merapikan taman, menyusun koleksi buku lama, bahkan mencoba membuat kue (meskipun hasilnya gagal total dan membuat dapur berantakan).
Ren hanya menatap dari kejauhan, ikut tersenyum saat Hana meletakkan sepotong kue gosong di piringnya.
“Jangan paksa diri untuk bilang ini enak ya,” ucap Hana sambil tertawa.
Ren menggigit sedikit, lalu memejamkan mata dramatis. “Kue ini... sejenis ledakan rasa… yang mungkin akan mengubah dunia.”
“Ledakan karena gosong, ya?”
“Ledakan rasa cinta,” jawab Ren sambil mengedip.
Mereka tertawa bersama. Untuk sesaat, dunia terasa normal. Bahagia. Tanpa batas dan tanpa pertanyaan.
Tapi saat tawa mereda, Ren hanya menatap Hana dalam diam. Pandangannya tak beralih, seperti mencoba mengukir wajah Hana dalam memorinya.
“Hana…” Ren akhirnya bicara.
“Hmm?”
“Apa kamu… percaya takdir?”
Hana mengangkat alis. “Pertanyaan serius?”
Ren tersenyum samar. “Iya.”
“Entahlah. Kadang aku percaya, kadang enggak. Tapi kalau takdir itu yang mempertemukan aku dengan kamu... mungkin aku mulai percaya.”
Ren menunduk. Tangannya mengepal di bawah meja.
“Kalau suatu hari... kamu diberi pilihan untuk hidup kembali dari awal, tapi tanpa aku, kamu bakal—”
“Enggak.” Jawaban Hana cepat dan tegas.
Ren menatapnya.
“Aku nggak akan pilih hidup lagi tanpa kamu,” lanjut Hana sambil tersenyum. “Kamu terlalu penting.”
Ren tak berkata apa-apa. Ia hanya meraih tangan Hana dan menggenggamnya lama. Tapi dalam benaknya, satu suara terus menggema: Bagaimana jika kenyataannya… kamu tidak pernah hidup bersamanya?
---
Malam hari, Ren berdiri di depan layar hologram di ruang bawah. Sisa percakapan dengan ayah Hana terus berputar di benaknya.
> “Waktu pengaturan ulang sudah dekat.” “Percobaan ini... gagal.” “Kita harus memilih—mempertahankan... atau mengikhlaskan.”
Ia mengetik cepat, menelusuri kode demi kode sistem dunia ini. Tidak ada kesalahan fatal, tapi ia melihat sesuatu. Semacam... ketidakseimbangan pada pusat sumber daya digital yang menyokong kesadaran Hana.
Jika ini terus dibiarkan, dunia ini bisa... hancur. Dan Hana… bisa benar-benar menghilang.
Ayah Hana masuk beberapa saat kemudian, membawa berkas data fisik dan grafik kerusakan.
“Kau melihatnya juga?” tanya pria itu.
Ren mengangguk. “Tapi masih ada waktu. Kita bisa menstabilkan sistem ini.”
“Dengan risiko lebih besar. Dunia nyata mulai terganggu. Elektromagnetik, peluruhan kode, pancaran anomali. Dunia luar mulai menyerap efek dari ketidakseimbangan ini.”
Ren menatapnya, tajam. “Kalau kita akhiri ini sekarang, apa artinya semua yang kita lakukan selama ini?”
Pria itu tidak menjawab. Ia hanya menatap grafik menurun di layar, lalu berbalik.
“Aku tidak bisa kehilangan dia lagi, Ren,” bisiknya.
Ren mengepalkan tangan. “Aku juga.”
“Tapi kalau terus begini... kita bukan menyelamatkannya. Kita hanya membuat kenangan yang hancur perlahan.”
---
Malam semakin larut. Hana berdiri di depan cermin kamar. Ia menyentuh refleksinya—tapi ada detik kecil di mana pantulan itu... tidak serempak.
Hanya satu detik.
Tapi cukup membuat hatinya bergetar.
Ia berbalik dan memanggil, “Ren…”
Ren masuk dan langsung mendekat. “Kenapa?”
“Aku… aku merasa aneh. Seperti… aku mulai mimpi waktu sadar. Kadang aku pikir ini semua cuma mimpi, kadang aku…”
Ia tak bisa melanjutkan.
Ren mendekat, memeluknya erat. Tapi pelukan itu—aneh. Seperti... Ren yang takut kehilangan.
Dan saat Hana menangis di pelukannya, tubuhnya sedikit gemetar, ia berkata pelan, “Ren, kamu gak akan ninggalin aku kan…? Kamu gak akan pergi...?”
Tapi Ren tak menjawab. Ia hanya memeluk lebih erat, kepalanya tenggelam di rambut Hana.
Hening. Lama. Sangat lama.
Seolah ia tahu—pelukan ini mungkin tak akan bisa dirasakan lagi besok.
----
Malam yang turun dengan pelan, seperti menyelimuti dunia mereka dengan rahasia yang tak ingin terbongkar.
Di kamar yang diterangi lampu remang, Ren menatap Hana lama. Matanya merekam semua—setiap tarikan napas, setiap getar yang tak bisa ia hentikan.
Hana menatap kembali, seolah tahu ada sesuatu yang tak bisa ditunda.
Ren menggenggam tangannya. “Jika hanya ada malam ini... izinkan aku bersamamu sepenuhnya.”
Hana tak menjawab. Ia hanya maju perlahan, menempelkan dahinya pada dahi Ren.
Detik itu, waktu terasa diam.
Hembusan napas mereka saling menyatu, dan tangan Ren meraih pinggang Hana, menariknya masuk dalam pelukan yang lebih dalam. Tak ada kata. Hanya gerak kecil, isyarat halus, dan rasa yang tak mampu dibatasi oleh logika dunia mana pun.
Dalam keheningan, pakaian mereka tak lagi jadi pembatas. Ia menyentuh pipi Hana dengan ujung jari, pelan—nyaris ragu. Sentuhan itu melewati kulitnya seperti bayangan, tak sepadat biasanya. Tapi Ren tak mengatakan apa pun. Ia hanya menghela napas, menahan rasa perih di dada.
Hana perlahan merasakan kehangatan dari tubuh ren... Ia mengerang pelan saat sentuhan ren menyentuh setiap inci dari tubuh nya.
"Emhhh... Ren, ini terlalu panas..." ucap nya, menggeliat perlahan di balik tubuh kekar ren.
Ren tertawa kecil, berusaha mengalihkan perasaan sakit nya... "Tujuan ku memang untuk menghangat kan mu hana..."
Ia pun mendekat kan wajah nya, mengecup bibir hana dengan lembut... Hingga kecupan itu menjadi satu lumatan manis, yang membuat hana semakin merasakan sesuatu yang bergejolak dalam dirinya–tak ingin berhenti, justru ingin menuntut lebih.
“Hana?” ucap Ren melepas kan ciuman hangat itu, lalu menyentuh rambut Hana yang tampak lembut.
"Hmmm?" ucap hana dengan mata sayu nya.
"Bagaimana dengan malam ini? Bisakah aku melewati batasan ku?" ucap nya, kembali mendekat kan wajah nya dan menatap Hana dengan sayu.
"Mengapa meminta izin ren? Bukan kah, kamu telah menganggap ku sebagai milik mu?" ucap hana, kini mengalungkan tangan nya pada leher ren.
Ren tak menjawab, ia hanya membalas gadis itu dengan senyum tipis yang menghangatkan. Ia lalu melanjutkan kecupan nya, kini kecupan itu terasa sangat dalam ia mengecup inci dari tubuh hana. Dari bibir, leher hingga sampai ke perut gadis itu. Sensasi itu membuat hana Semakin gila, ia bahkan sesekali membalas lumatan ren, saat kedua bibir manis mereka bertemu.
Erangan kecil yang hangat memenuhi ruangan mereka saat itu. Lampu temaram membuat bayangan tubuh mereka menyatu di dinding. Suasana terasa lembut—seperti waktu yang ingin mereka simpan diam-diam.
Ren memeluknya lebih erat. Nafas mereka menjadi satu irama. Hana membenamkan wajah di leher Ren, mencium kulitnya yang hangat, merasakan debar jantung yang nyata di dadanya.
Malam itu mereka saling menggenggam, saling menyelimuti dalam keheningan yang tidak mereka bagi dengan siapa pun. Gerakan mereka lembut, tidak pernah melewati batas, namun cukup untuk membuat keduanya merasa utuh.
Selimut menyelimuti dua tubuh yang bersatu dalam ketakutan akan kehilangan.
Mereka tidak bicara banyak. Hanya saling menatap, mencium, dan meyakinkan lewat sentuhan-sentuhan hangat bahwa mereka ada, masih di sini, masih bersama.
Dan ketika tubuh mereka sepenuhnya saling memeluk, bukan gairah yang menguasai mereka, tapi harapan—bahwa waktu berhenti, bahwa mereka tidak akan saling kehilangan lagi.
Pada akhir malam yang melelahkan, mereka akhirnya tertidur dengan jari saling bertaut. Tidak ada janji, tidak ada rencana. Hanya kebersamaan yang ingin mereka simpan, malam ini saja... selamanya kalau bisa.
cara narasi kamu dll nya aku suka banget. dan kayaknya Ndak ada celah buat ngoreksi sih /Facepalm/
semangat ya.
Adegan romantis nya itu loh, bkin skskskskskkssksks.