Arjuna, putra dari Dewa Arka Dewa dan Dewi Laksmi, adalah seorang dewa yang sombong, angkuh, dan merasa tak terkalahkan. Terlahir dari pasangan dewa yang kuat, ia tumbuh dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa menandinginya. Dengan kekuatan luar biasa, Arjuna sering merendahkan dewa-dewa lainnya dan merasa bahwa dirinya lebih unggul dalam segala hal.
Namun, sikapnya yang arogan membawa konsekuensi besar. Dewa Arka Dewa, ayahnya, yang melihat kebanggaan berlebihan dalam diri putranya, memutuskan untuk memberi pelajaran yang keras. Dalam upaya untuk mendewasakan Arjuna, Dewa Arka Dewa mengasingkan Arjuna ke dunia manusia—tanpa kekuatan, tanpa perlindungan, dan tanpa status sebagai dewa.
Di dunia manusia yang keras dan penuh tantangan, Arjuna harus menghadapi kenyataan bahwa kekuatan fisik dan kesombongannya tidak ada artinya lagi. Terpisah dari segala kemewahan Gunung Meru, Arjuna kini harus bertahan hidup sebagai manusia biasa, menghadapi ancaman yang lebih berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tawaran Menjadi Model
Arjuna terbaring di tempat tidur dengan wajah pucat dan tubuhnya terasa panas. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan kelemahan yang sangat manusiawi—demam. Ia menggertakkan giginya, mencoba melawan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya, hasil dari pertempuran sengit dengan Andi Wijaya beberapa hari sebelumnya.
Di sisi lain, Kirana, yang biasanya sibuk dengan pekerjaannya, kali ini memilih untuk mengambil cuti. Pagi itu, ia duduk di tepi ranjang Arjuna, meletakkan handuk dingin di dahinya dengan penuh perhatian.
> Kirana: "Arjuna, kau benar-benar keras kepala. Kalau merasa sakit, kenapa tidak bilang dari tadi?"
Arjuna membuka matanya perlahan. Matanya yang biasanya tajam kini tampak redup.
> Arjuna (dengan suara serak): "Aku tidak menyangka... tubuh ini bisa sakit seperti manusia."
Kirana menghela napas, lalu meremas tangan Arjuna dengan lembut.
> Kirana: "Tentu saja kau bisa sakit! Kau sekarang hidup sebagai manusia biasa, Arjuna. Kau bukan lagi seorang dewa di atas sana."
Arjuna terdiam. Kata-kata Kirana menampar egonya. Ia masih belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa kini dirinya terasing dari Gunung Meru, kehilangan sebagian besar kekuatan dewa, dan harus menjalani kehidupan fana.
Di meja kecil di sebelah ranjang, Kirana sudah menyiapkan bubur hangat dan segelas air putih.
> Kirana: "Ayo, makan sedikit. Kau butuh energi untuk pulih."
Arjuna menatap bubur itu dengan enggan. Dalam pikirannya, ia masih mengingat hari-harinya sebagai makhluk agung yang tak tersentuh penyakit atau kelemahan fisik. Namun, sekarang semuanya berbeda. Ia menelan ego-nya dan mulai menyuap bubur pelan-pelan.
Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan. Kirana tetap di sisinya, sesekali mengganti kompres di dahi Arjuna. Matanya memancarkan perhatian yang tulus, sesuatu yang sudah lama tidak dirasakan Arjuna sejak ia diasingkan.
> Kirana (tersenyum kecil): "Mungkin ini karma untuk semua kesombonganmu dulu."
Arjuna terkekeh pelan meskipun tubuhnya masih terasa lemah.
> Arjuna: "Mungkin... atau mungkin juga ini ujian baru untukku."
Di luar rumah, hujan rintik-rintik mulai turun, menambah suasana hangat di dalam kamar. Kirana tetap di sana, menemani Arjuna melewati hari yang berat.
Di luar, hujan masih turun, menciptakan irama menenangkan di atap rumah Kirana. Arjuna, yang masih terbaring lemah di tempat tidur, mulai merasa sedikit lebih baik setelah beristirahat dan makan bubur buatan Kirana. Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama.
Tiba-tiba, bel rumah berbunyi. Kirana bangkit dari kursinya dan berjalan ke pintu, meninggalkan Arjuna yang masih terbaring. Saat ia membuka pintu, sosok Bara berdiri di sana, mengenakan jaket kulit hitam yang basah oleh hujan. Di sampingnya, seorang pria berjas rapi dengan kacamata tipis tersenyum lebar.
> Bara: "Yo, Kirana! Maaf ganggu, tapi aku bawa kabar besar buat Arjuna!"
Kirana mengernyit bingung. "Bara? Apa yang kau lakukan di sini?"
> Bara (tertawa kecil): "Aku nggak datang sendiri. Ini Pak Rizal, produser terkenal di dunia modeling dan media."
Pria berkacamata itu melangkah maju, menjabat tangan Kirana dengan sopan.
> Rizal: "Senang bertemu denganmu. Aku datang untuk berbicara dengan Arjuna—tentang sebuah kesempatan besar."
Kirana menghela napas, lalu memberi isyarat agar mereka masuk. Bara dan Rizal duduk di ruang tamu, sementara Kirana kembali ke kamar.
> Kirana: "Arjuna, kau kedatangan tamu."
Arjuna, yang masih berbaring, hanya mengerang lemah. "Siapa?"
> Kirana: "Bara... dan seorang produser model. Katanya ada tawaran untukmu."
Arjuna mengerutkan kening, mencoba bangkit meski kepalanya masih terasa berat. Dengan enggan, ia melangkah keluar dari kamar, mengenakan kaus longgar dan celana santai. Rambutnya masih sedikit berantakan, tetapi tetap memancarkan aura kuat dan karismatik.
Begitu Rizal melihatnya, matanya berbinar.
> Rizal: "Wow... sekarang aku mengerti kenapa kau begitu viral di media sosial."
Arjuna menatapnya dengan curiga. "Apa maksudmu?"
Bara menyeringai, mengeluarkan ponselnya, dan menunjukkan berbagai video yang telah menyebar luas—video pertempuran sengit Arjuna melawan Andi Wijaya di jalanan kota.
> Bara: "Bro, kau nggak sadar? Kau sekarang terkenal! Orang-orang membicarakanmu. Sosok pria tampan, gagah, dan misterius yang muncul entah dari mana, lalu bertarung seperti pahlawan dalam film aksi. Semua ini bikin para produser penasaran!"
Rizal mengangguk setuju.
> Rizal: "Dan aku datang dengan tawaran besar untukmu, Arjuna. Aku ingin kau menjadi model untuk majalah dewasa eksklusif—bukan sekadar model biasa, tapi ikon baru yang akan mengguncang dunia fashion pria."
Arjuna mengangkat alisnya, jelas tidak terkesan.
> Arjuna: "Model? Majalah dewasa? Aku bukan tipe orang yang suka pamer tubuh di depan kamera."
> Rizal (tertawa kecil): "Oh, ini bukan sekadar pamer tubuh. Kau memiliki karakter yang unik—sesuatu yang belum pernah kami temukan di industri ini. Dengan karisma dan ketampananmu, kau bisa menjadi legenda."
Bara menepuk pundak Arjuna dengan antusias.
> Bara: "Bro, ini kesempatan emas! Kau bisa mendapatkan banyak uang dari sini. Lagipula, kau butuh penghasilan, kan? Aku yakin hidup di dunia manusia tanpa kekuatan dewa tidak semudah itu."
Arjuna terdiam. Memang benar, tanpa kekuatannya sebagai dewa, ia harus mencari cara untuk bertahan hidup di dunia ini. Namun, apakah menjadi model adalah pilihan yang tepat?
> Kirana (melipat tangan di dada): "Arjuna tidak bisa dipaksa. Biarkan dia yang memutuskan."
Rizal tersenyum ramah.
> Rizal: "Tentu saja. Aku tidak memaksa, hanya menawarkan peluang yang luar biasa."
Arjuna menatap ke luar jendela, hujan masih turun dengan lembut. Ia menarik napas panjang. Dunia ini memang penuh dengan kejutan, dan tampaknya kehidupannya sebagai manusia akan lebih kompleks daripada yang ia bayangkan.
Arjuna duduk bersandar di sofa, menatap kosong ke arah meja. Pikirannya masih bergulat dengan tawaran yang baru saja diberikan oleh Rizal. Ia bukan tipe pria yang tertarik dengan dunia gemerlap seperti itu, tetapi ia juga sadar bahwa hidup sebagai manusia tidak semudah yang ia bayangkan.
> Arjuna: "Aku butuh waktu untuk mempertimbangkannya. Mungkin besok aku akan memberi jawaban."
Rizal tersenyum penuh pengertian.
> Rizal: "Tentu. Aku tidak ingin memaksamu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa ini kesempatan besar. Dunia sudah mulai memperhatikanmu, Arjuna. Jangan sia-siakan potensi ini."
Bara menepuk bahu Arjuna dengan semangat.
> Bara: "Santai aja, Bro. Aku cuma mau lihat kau sukses. Kalau butuh diskusi atau saran, aku siap bantu!"
Arjuna hanya mengangguk tanpa ekspresi yang jelas. Ia masih merasakan sisa-sisa kelelahan akibat pertarungan melawan Andi Wijaya, dan sekarang pikirannya justru dibebani dengan masalah dunia manusia yang tak pernah ia duga.
> Rizal (berdiri): "Baiklah, aku tidak akan mengganggumu lebih lama. Aku harap kau bisa mempertimbangkan tawaran ini dengan baik. Aku akan menunggu keputusanmu besok."
Setelah berjabat tangan dengan Bara dan Kirana, Rizal meninggalkan rumah dengan senyum penuh percaya diri. Bara masih berdiri di dekat pintu, menatap Arjuna dengan tatapan penuh harap.
> Bara: "Bro, serius deh. Ini peluang gede. Kalau aku jadi kau, aku bakal langsung ambil!"
Arjuna menghela napas.
> Arjuna: "Aku nggak pernah membayangkan hidup sebagai model. Aku masih beradaptasi dengan kehidupan manusia. Tawaran ini datang terlalu cepat."
> Kirana (duduk di sebelah Arjuna): "Tidak ada yang memaksamu, Arjuna. Lakukan apa yang menurutmu benar."
Arjuna menoleh ke arah Kirana, melihat ketulusan di matanya. Gadis itu memang selalu bisa membuatnya merasa sedikit lebih tenang.
> Arjuna: "Aku akan memikirkannya. Besok aku akan memberikan jawabanku."
Bara tersenyum dan mengangkat bahunya.
> Bara: "Baiklah, yang penting kau pertimbangkan dulu. Aku pulang dulu, Bro."
Setelah Bara pergi, rumah kembali sunyi. Hanya suara rintik hujan yang masih terdengar di luar. Kirana menatap Arjuna yang tampak termenung.
> Kirana: "Apa yang ada di pikiranmu?"
> Arjuna: "Aku hanya... merasa aneh. Aku terbiasa hidup sebagai seorang dewa. Aku tidak pernah berpikir harus menghadapi hal seperti ini. Rasanya seperti... menjalani kehidupan yang bukan milikku."
Kirana tersenyum lembut.
> Kirana: "Mungkin ini kesempatan bagimu untuk menemukan sisi lain dari dirimu sendiri. Hidup sebagai manusia tidak mudah, tapi bukan berarti tidak berarti."
Arjuna terdiam, membiarkan kata-kata Kirana meresap dalam pikirannya. Ia menatap keluar jendela, menatap hujan yang perlahan mulai reda.
Besok, ia harus membuat keputusan.