Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.
Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 Kesalahpahaman Selesai
Kembali kepada Olivia.
Begitu berhasil melarikan diri dari tempat itu, Olivia segera melangkah cepat, hampir berlari, menyusuri lorong-lorong panjang menuju ruangan sang ayah. Meskipun ia gagal menangkap basah perbuatan mereka, ia masih bisa mencegah hal yang lebih buruk terjadi. Satu-satunya jalan yang terlintas di pikirannya sekarang adalah memberi tahu Astalfo—secepat mungkin.
“Aku harus segera memberitahukannya kepada Ayah... sebelum semuanya terlambat!”
Hanya dalam hitungan menit, Olivia telah berdiri di depan pintu besar yang mengarah ke ruangan kerja Astalfo. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat karena terburu-buru. Dua orang pengawal yang berjaga di depan langsung menoleh, terkejut melihat kedatangannya yang mendadak.
"Olivia, ada apa—"
Namun Olivia tak mengindahkan pertanyaan mereka. Tanpa menjawab, ia langsung mendorong daun pintu besar itu. Engselnya mengeluarkan suara nyaring saat terbuka, mengejutkan penghuni di dalam.
Astalfo, yang tengah duduk tenang di balik meja kerjanya, mengangkat kepala. Wajahnya semula tenang, namun kini berubah menjadi penuh tanya.
Olivia melangkah cepat ke dalam ruangan. Suaranya pecah di antara keheningan.
"Ayah...!"
**
Sementara itu...
Di sisi lain rumah besar itu, Herald dan Clara tengah menuruni tangga marmer yang dingin dan mengilap. Mereka berdua tampak santai, bercengkerama di pagi yang cerah. Sinar matahari menembus kaca besar di dinding, menciptakan bayangan panjang yang lembut di lantai.
"Hei, Herald," ujar Clara sambil menoleh dengan senyum penasaran. "Katanya, di belakang rumah ini ada sebuah kebun, ya? Kita boleh ke sana tidak? Aku ingin lihat seperti apa kebunnya."
Herald mengangguk kecil, berpikir sejenak. "Kebun? Ya, memang ada. Tepatnya di sisi timur taman. Tapi, kamu tahu dari mana soal itu?"
"Aku dengar dari para pelayan," jawab Clara ringan. "Waktu mereka merias aku kemarin, aku iseng tanya-tanya. Mereka bilang kebunnya cukup luas dan indah."
Clara tampak antusias. Pikirannya melayang membayangkan kebun itu—apakah dipenuhi bunga-bunga warna-warni, atau lebih menyerupai kebun rempah yang rapi?
Herald tersenyum tipis. "Kalau begitu, ayo saja. Matahari belum terlalu terik. Ini waktu yang pas untuk berjalan-jalan."
"Benarkah?" Mata Clara berbinar.
"Iya, iya. Lagipula, ini kan memang rutinitas ku sekarang—menemanimu keliling dan memenuhi permintaanmu."
"Yaaay!"
Clara berseru girang, melompat kecil karena senang. Wajahnya cerah, secerah langit pagi. Hari ini ia masih dalam suasana hati yang baik—dan itu artinya tugas Herald sejauh ini berjalan lancar.
Namun, sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, dua orang pengawal muncul dari ujung koridor. Langkah mereka cepat dan tergesa, seperti membawa kabar penting. Herald dan Clara langsung berhenti. Begitu para pengawal itu sampai di hadapan mereka, salah satunya segera bicara.
"Tuan Herald, Nona Clara," katanya, dengan nada serius dan sedikit tegang. "Kalian dipanggil oleh Tuan Astalfo. Segera."
Mereka saling berpandangan, menyadari ada sesuatu yang tidak biasa. Wajah kedua pengawal itu memancarkan kecemasan yang tak biasa.
“Dipanggil...?” kata mereka hampir bersamaan.
Tanpa banyak bicara, Herald dan Clara langsung bergegas, mengikuti pengawal menuju ruangan utama. Herald bisa merasakan sesuatu yang genting tengah terjadi. Entah apa yang akan mereka hadapi, tapi perasaan tidak enak mulai merambat perlahan di benaknya.
Tak butuh waktu lama bagi Herald dan Clara untuk tiba di depan pintu besar yang menjulang tinggi. Dua pengawal yang membawa mereka hanya mengantar hingga di sana, lalu berhenti dan memberi hormat. Sisanya, mereka harus melangkah sendiri.
Dengan sedikit keraguan, Herald mendorong daun pintu itu perlahan. Bunyi derit halus menyertai gerakan pintu, membuka jalan menuju ruangan luas yang di dalamnya sudah menunggu beberapa sosok penting. Di sana, duduk Astalfo dengan ekspresi tegas namun sedikit lelah, sementara di sampingnya berdiri Hermas—sang kepala pelayan—dan satu sosok lain yang membuat Herald mengernyit.
[Olivia...?] pikirnya heran. [Kenapa dia juga ada di sini...?]
Herald tak mengucapkan sepatah kata pun, namun pikirannya dipenuhi tanya. Belum sempat ia menganalisis situasinya lebih jauh, tongkat kayu penuntunnya—yang ia gunakan untuk membantu Clara berjalan—tiba-tiba tertahan. Diiringi dengan suara keluhan pelan dari gadis di sampingnya.
"Herald... jalanmu pelan sedikit... kakiku sakit..." keluh Clara, suaranya terdengar manja dan sedikit meringis.
Herald menoleh. Langkah Clara terlihat kikuk—kedua kakinya tampak melangkah dengan jarak tak wajar. Ia menatap Clara dengan datar, seolah sudah tahu penyebabnya.
"Aku sudah bilang dari tadi. Kalau kamu nurut dan gak ngotot, kamu gak akan kesakitan kayak begini," ujarnya dengan nada tenang, namun tajam.
Clara mengerucutkan bibir, membalas, "Hmph! Harusnya kamu ngerti kenapa aku bersikap seperti itu. Jadi jangan marah begitu dong..."
Herald mengangkat alis. "Siapa yang marah?"
"Itu, kamu! Kamu marah!"
Meski sempat beradu kata, Herald tetap membantunya berjalan perlahan. Ia mengalihkan pandangannya kembali ke depan, mencoba fokus pada ruangan dan suasana yang kini terasa semakin aneh. Tapi saat ia melangkah masuk lebih jauh, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Semua mata mendadak tertuju padanya.
Tatapan kaget, bingung, dan—yang paling menyala—adalah rasa takut. Terutama dari Olivia. Wajahnya memucat, bibirnya sedikit bergetar sebelum akhirnya ia berteriak nyaring sambil menunjuk Herald dan Clara dengan jari gemetar.
"Ayah! Ayah lihat sendiri, kan?! Mereka berdua—mereka pasti sudah melakukan hal itu!"
Herald terperangah.
"Eh...? Apa... maksudnya? ‘Melakukan hal itu’…?!"
Pikiran Herald seketika berputar. Tuduhan itu datang secepat kilat, tanpa aba-aba, tanpa penjelasan. Ia menatap Olivia dengan tatapan campur aduk antara bingung dan kesal.
Di sisi lain, Astalfo hanya bisa menghela napas panjang dan menutup wajahnya dengan satu tangan. Tatapannya kosong, seolah sedang menghadapi kenyataan pahit yang tak pernah ia duga. Perlahan, ia menyandarkan punggung ke kursi dan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Hermas pun tak banyak bicara. Ia menunduk dan mengalihkan pandangan ke jendela, seakan-akan lebih memilih mengamati burung lewat daripada menyaksikan kekacauan di dalam ruangan itu.
Ada sesuatu yang tidak beres. Herald bisa merasakannya.
Ia melangkah maju, menatap mereka semua dengan ekspresi tegas, kemudian bertanya lantang, "Sebenarnya... ada apa ini?"
Keheningan sempat menyelimuti ruangan. Tak satu pun dari mereka langsung menjawab. Atmosfer tegang menggantung di udara—seperti benang halus yang siap putus kapan saja. Namun akhirnya, dengan suara yang berat dan pelan, Astalfo membuka mulut.
"Herald, Nak... sebenarnya, dari Olivia, aku mendengar bahwa kalian berdua sudah..."
Kalimat itu menggantung di udara. Astalfo menghentikan ucapannya, lalu melambai pelan, menyuruh Herald untuk mendekat.
Meski masih ragu, Herald menurut.
Ia mendekat beberapa langkah hingga cukup dekat untuk menerima bisikan. Astalfo membungkuk sedikit dan menyampaikan sesuatu langsung ke telinganya.
Dan detik berikutnya—wajah Herald berubah drastis.
Pipinya seketika memerah terang, nyaris seperti bara yang baru saja tersulut. Ia terlonjak mundur, tubuhnya menegang, dan mulutnya terbuka lebar.
"A-Apa yang Anda katakan, Tuan Astalfo!? Itu tidak mungkin! Aku… aku tidak mungkin melakukan hal tidak senonoh seperti itu!!"
Napasnya memburu. Dadanya naik turun dengan cepat. Ia merasa seolah baru saja dituduh sebagai pelaku kejahatan besar. Tuduhan yang datang dari bisikan tadi sungguh keterlaluan—Astalfo menuduhnya telah melakukan tindakan bejat dengan Clara!
Padahal, Herald tahu betul prinsip yang ditanamkan oleh kedua orang tuanya sejak kecil: bahwa hubungan semacam itu hanya dilakukan dengan orang yang benar-benar dicintai, dan dalam ikatan yang suci. Dan sekarang, ia dituduh melakukannya secara sembarangan?
Jelas ini kesalahpahaman besar!
Sementara itu Clara berdiri terpaku, pandangannya bolak-balik antara Herald dan Astalfo. Ia hanya mendengar sebagian pembicaraan, dan sisanya terasa seperti potongan teka-teki yang tidak pernah lengkap. Baru saja ia mencoba menyimak lebih dalam, tiba-tiba suara Herald meledak dengan nada tinggi dan penuh keterkejutan.
Clara langsung mengerutkan alis. Apa yang sebenarnya terjadi...? pikirnya.
Astalfo akhirnya bersuara lagi, mencoba menjelaskan asal mula kekacauan ini. "Yah... sebenarnya aku juga tidak langsung percaya kau melakukan hal semacam itu, Herald. Tapi katanya Olivia—dia mendengar suara-suara aneh dari kamar Clara. Dan kalian berdua... berada di dalam sana."
"Iya! Pasti kalian melakukan sesuatu yang nggak senonoh pagi tadi!" Olivia menyahut lantang, suaranya tajam bagai panah. "Sudahlah, ngaku aja! Dasar orang bejat!"
Herald mengepalkan tangan, menahan emosinya agar tidak meledak. Dadanya naik turun, tapi dia mencoba tetap tenang. "Nona Olivia," katanya, menatapnya tajam. "Bisa kamu jelaskan dengan jelas, kenapa kamu menuduhku seperti itu?"
Olivia melipat tangannya dengan percaya diri. "Beberapa saat yang lalu, saat aku lewat di depan kamar Clara, aku dengar suara-suara aneh. Jelas-jelas itu bukan suara biasa!"
Herald memicingkan mata. Beberapa saat lalu? Itu berarti... barusan. Ia mencoba mengingat kembali momen tadi pagi. Tak ada yang istimewa, hanya rutinitas sebagai pengawal pribadi: membantu Clara berpakaian, menyiapkan barang, dan memastikan semuanya siap untuk pergi. Tidak ada suara aneh. Tidak ada kejadian aneh. Setidaknya... menurutku.
Tiba-tiba Olivia menunjuk ke arah Clara dan berteriak lantang, "Dan lihat saja buktinya! Dia bahkan jalan mengangkang! Itu tanda-tandanya sudah jelas!"
Sejenak ruangan kembali hening. Semua mata berpindah ke Clara, yang tampak berdiri dengan posisi kaki agak terbuka dan canggung. Wajahnya memerah karena malu. Herald sendiri memasang ekspresi datar. Ia menarik napas pelan, lalu membalikkan badan dan mulai berjalan mendekati Clara.
"Nak Herald, kau mau ke mana?" tanya Astalfo heran.
Tanpa menjawab, Herald terus berjalan. Setelah sampai di depan Clara, ia berlutut sedikit dan menunjuk ke arah kakinya—lebih tepatnya, ke sepatu yang ia kenakan.
"Lihat ini baik-baik," kata Herald sambil menatap semua orang. "Inilah alasan kenapa Clara berjalan seperti itu. Bukan karena hal aneh yang kalian tuduhkan. Tapi... karena sepatunya."
Semua orang mendekatkan pandangan mereka ke sepatu Clara. Warnanya sedikit pudar, dan bagian kulitnya terlihat agak sempit, menandakan ketidaknyamanan.
Astalfo menajamkan matanya. Ada kenangan lama yang terlintas di benaknya. "Sepatu itu... bukankah itu yang pernah aku hadiahkan padamu, Clara? Sudah hampir dua tahun yang lalu, bukan?"
Herald mengangguk. "Betul. Hari ini Clara memutuskan untuk mengenakannya karena merasa bersalah karena belum pernah memakainya. Tapi sepatu itu... sudah kekecilan. Makanya dia berjalan tidak wajar seperti itu. Meski aku sudah memintanya melepas, dia tetap memaksa memakainya."
Clara mengangguk pelan, wajahnya tertunduk. "Itu benar, Ayah. Aku hanya ingin menunjukkan kalau aku menghargai hadiah dari Ayah. Tapi ternyata... aku malah membuat situasi jadi runyam."
Astalfo langsung menghampiri Clara dan memeluknya dengan lembut. "Oh, Clara, anakku tersayang. Ayah minta maaf karena sempat berpikir macam-macam. Ayah senang kau menghargai hadiah itu, tapi jangan sampai menyakiti dirimu sendiri. Kau lebih berharga dari sepatu mana pun."
Situasi pun mulai mereda. Ketegangan yang memenuhi udara kini perlahan mencair. Namun, Herald belum puas. Ada satu hal yang masih mengganjal—penghinaan yang Olivia lontarkan begitu saja kepadanya. Maka, ia menoleh dengan pandangan tajam ke arah gadis itu.
Olivia tersentak. Tubuhnya menegang ketika merasakan sorotan Herald.
"Hei, Nona Olivia," Herald mulai bicara dengan nada yang tenang namun mengandung tekanan. "Ngomong-ngomong, soal tadi pagi. Bagaimana bisa kamu mendengar suara kami dari dalam kamar Clara... padahal kamarnya berada di ujung lorong?"
Senyum kecil terukir di wajah Herald. Senyum yang tidak ramah—senyum tajam, penuh sindiran. "Apa jangan-jangan... kamu memang sengaja berdiri di depan kamar Nona Clara, ya?"
Tubuh Olivia langsung menegang. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. "A-a-apa maksudmu? A-aku tidak berniat apa-apa! Aku cuma... lewat saja!"
"Le-wat?" Herald mengulang kata itu dengan nada geli. "Dan kamu sempat ‘mendengar’ suara-suara aneh? Wah, kupingmu tajam sekali."
"Itu... aku... aku tidak menguping!!"
Herald tersenyum makin lebar. "Menguping? Wah, kamu sendiri yang bilang."
"Eh—! Itu bukan maksudku!" Olivia kini mulai panik. Matanya melirik kiri dan kanan, mencoba mencari alasan... atau mungkin jalan keluar.
Tapi tak ada tempat untuk bersembunyi.
Dengan satu langkah cepat, Olivia membalik badan dan lari keluar ruangan.
"Aku nggak peduli lagi!!" teriaknya keras, gema suaranya terdengar sepanjang lorong.
Semua yang hadir hanya bisa terdiam menyaksikan aksi kabur yang dramatis itu. Bahkan Hermas akhirnya tak bisa menahan diri dan menggeleng pelan sambil mendesah panjang.
Herald tetap berdiri di tempatnya, matanya menatap pintu yang kini bergoyang perlahan setelah Olivia menerobosnya. Diam-diam, ia menyimpan satu kesimpulan baru: Olivia memata-matai mereka. Tapi... untuk apa? Namun nampaknya dia tidak akan terlalu memikirkan hal itu. Yang terpenting Kesalahpahaman ini telah selesai.