Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.
Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 Kegagalan Seorang Kakak dan Pengawal
Beberapa menit kemudian...
Kamar Clara.
Cahaya temaram dari lampu gantung menggantung tenang di langit-langit kamar, menyebarkan suasana yang muram namun hangat. Di dalam kamar itu, keheningan seolah menyelimuti udara, hanya sesekali terdengar suara alat medis kecil atau helaan napas tertahan dari mereka yang hadir.
Astalfo duduk di sisi ranjang, pandangannya tak lepas dari putrinya, Clara, yang kini terbaring tak sadarkan diri. Tubuhnya tampak rapuh, dengan perban yang melilit sebagian kepalanya dan beberapa bagian tubuh lainnya menunjukkan bekas luka gores.
Seorang dokter berdiri di samping ranjang, melakukan pemeriksaan menyeluruh. Jemarinya bergerak cepat namun hati-hati, memeriksa denyut nadi, pupil mata, dan meraba titik-titik vital dengan penuh konsentrasi. Suasana tegang terasa menebal saat semua orang menunggu penilaian medis yang akan disampaikannya.
Beberapa saat kemudian, dokter itu menghela napas pelan dan menoleh pada Astalfo.
"Tuan Astalfo," ucapnya tenang, "untuk saat ini kondisi putri Anda tampak stabil. Saya tidak menemukan adanya cedera internal yang parah. Ia mengalami pendarahan di kepala dan beberapa luka lecet, namun secara umum, tidak ada yang mengancam jiwanya. Saya akan memberikan perawatan untuk mempercepat proses penyembuhannya."
Namun, sebelum sempat mengakhiri penjelasannya, ia menambahkan dengan nada lebih hati-hati, "Meski begitu, kami masih belum bisa memastikan kondisi neurologisnya sepenuhnya. Setelah dia sadar, saya akan melakukan pemeriksaan lanjutan untuk melihat apakah ada dampak lain yang belum terdeteksi."
Astalfo mengangguk pelan, mencoba menelan kekhawatiran yang menyesaki dadanya. "Saya mengerti. Saya serahkan sepenuhnya pada Anda, Dokter."
Tatapannya kembali jatuh pada wajah Clara. Jemarinya mengelus pelipis gadis itu dengan penuh kasih, lalu bergumam lirih, seolah berbicara lebih kepada dirinya sendiri. "Jika saja kita bisa datang lebih cepat... mungkin semua ini tidak perlu terjadi lagi padanya. Dia sudah cukup sering mengalami penderitaan."
Kata-kata itu tak luput dari pendengaran Susan yang berdiri tak jauh dari sana. Rasa bersalah menyesakkan dadanya hingga ia tak kuasa menahan diri untuk menimpali.
"Maafkan saya, Tuan Astalfo," ucapnya dengan suara gemetar. "Ini semua salah saya. Seharusnya saya tidak meninggalkan tempat itu. Kalau saya tetap di sana, mungkin Clara tidak akan terluka."
Astalfo menoleh, tatapannya melembut.
"Tidak, Susan. Kau tidak perlu menanggung beban ini sendirian. Kau sudah melakukan yang terbaik. Justru aku yang lalai... dan anakku, dia telah bertindak melampaui batas."
Nada suaranya berubah lebih keras, "Aku harus memberinya pelajaran. Dia telah mencelakai adiknya sendiri."
Belum sempat suasana semakin tegang, langkah pelan terdengar mendekat. Herald menatap Astalfo dengan tenang, lalu membuka suara.
"Tuan Astalfo," katanya pelan namun mantap, "mungkin Anda tidak perlu melakukan itu."
Astalfo mengerutkan alis, menatap Herald dengan sorot penuh tanya. "Apa maksudmu, Herald? Kenapa kau berkata begitu?"
Herald menatapnya dalam-dalam.
"Karena aku melihat penyesalan di matanya. Penyesalan yang tulus... yang mungkin belum pernah ia tunjukkan sebelumnya."
***
Kamar Olivia.
Suasana kamar Olivia begitu hening, nyaris tak bernyawa. Udara terasa berat, seolah menyerap seluruh emosi yang berputar dalam pikirannya. Sejak kejadian itu, Olivia hanya bisa berdiri membeku, matanya tak lepas dari sosok Clara yang kini tergeletak di bawah tangga. Tubuh adiknya tampak tak bergerak, dan perlahan—setetes demi setetes—darah mengalir dari sisi kepalanya, membasahi lantai dingin.
Olivia menunduk. Tatapannya jatuh pada kedua tangannya sendiri—tangan yang beberapa menit lalu telah mendorong Clara. Kini tangan itu bergetar hebat, menggambarkan guncangan batin yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Matanya perlahan meredup, kehilangan cahaya.
[A-apa yang sudah aku lakukan...]
Langkah kaki.
Suara teriakan.
Nama Clara dipanggil berulang kali.
Suara-suara itu membuyarkan lamunannya. Ia mengangkat kepala dan kembali menatap ke arah Clara. Detik berikutnya, sosok-sosok yang dikenalnya muncul—Astalfo, Susan, Herald—semua berlari menghampiri Clara dengan wajah panik.
Seruan ayahnya yang penuh kepanikan terus menggema di lorong, menambah tekanan dalam dada Olivia. Ia melangkah mundur, seolah ingin menyatu dengan dinding di belakangnya. Tubuhnya menggigil, pikirannya kacau. Ia tahu, ini semua akibat ulahnya.
Tak lama, langkah kaki kembali terdengar. Mereka semua menaiki tangga, membawa Clara ke kamarnya. Olivia hanya berdiri membisu, menyaksikan semuanya tanpa bisa berkata atau bergerak. Ketika akhirnya suasana kembali hening, hanya detak jantungnya sendiri yang terdengar di telinganya.
Ia menanti. Beberapa menit yang terasa seperti selamanya. Lalu, perlahan, ia mulai melangkah menuju kamar Clara. Langkahnya pelan, nyaris tanpa suara, seolah berharap kehadirannya tidak diketahui. Setibanya di depan pintu, ia berhenti. Dari balik kayu yang tertutup itu, terdengar suara gaduh, penuh kecemasan dan perdebatan. Ia tak berani mengetuk, apalagi masuk.
Namun, tanpa peringatan, pintu itu terbuka.
Herald muncul dari baliknya. Kedua mata mereka langsung bertemu—tatapan yang tajam dan penuh penilaian. Olivia terpaku di tempat, tak sanggup berkata apa pun.
Herald melangkah mendekat dengan ekspresi yang keras dan dingin. Olivia secara refleks mundur, langkah demi langkah, hingga akhirnya tubuhnya membentur dinding. Ia tak punya tempat lagi untuk melarikan diri.
"Apakah kamu sudah puas, hah?" suara Herald tajam seperti pisau. "Sudah puas menyakitinya? Sekarang kamu senang, ya? Setelah melampiaskan semua emosimu dan membuat dia tak berdaya seperti itu?"
"I-Itu..."
Kata-kata Olivia tercekat di tenggorokan. Tapi Herald tak memberi ruang.
"Dia itu adik kandungmu, Olivia!" suaranya meninggi, penuh amarah yang ditahan. "Seharusnya seorang kakak melindungi, bukan menghancurkan."
Nafas Herald memburu, namun ucapannya semakin dalam.
"Hanya karena kepergian ibumu saat melahirkannya, kamu menaruh kebencian padanya? Dia tidak pernah memilih untuk terlahir seperti itu! Justru dia yang tumbuh tanpa kasih, tanpa pelukan hangat dari seorang ibu. Dan dengan kondisinya yang seperti itu—dia harus menjalani hari-harinya sendirian, dalam penderitaan."
Setiap kata yang keluar dari mulut Herald seperti cermin—memantulkan kembali kalimat-kalimat yang pernah Clara ucapkan kepadanya. Tentang kesepian. Tentang iri hati pada kehangatan yang hanya Olivia dapatkan. Tentang rindu yang tak pernah terbalas.
Olivia merasakan tekanan yang luar biasa menimpa dadanya. Udara serasa menipis.
Herald menatapnya sekali lagi, lalu mengucapkan kalimat terakhirnya dengan lebih tenang namun tegas, "Aku harap kamu bisa benar-benar menyesali semua ini. Mulailah berubah, Olivia. Tinggalkan masa lalumu—seperti yang adikmu coba lakukan. Aku yakin... ibumu pun menginginkan kalian hidup damai. Bukan seperti ini."
Tanpa menunggu balasan, Herald berbalik dan pergi, meninggalkan Olivia sendirian, terpuruk dalam diam.
Ia kembali ke kamarnya. Niat awalnya untuk mengintip keadaan Clara sirna begitu saja. Tak ada yang tersisa selain bayangan kesalahan dan kata-kata tajam yang kini mengakar di hatinya. Perlahan, ia duduk di sudut ruangan, menyembunyikan wajahnya di balik kedua tangan.
Air mata mulai jatuh tanpa suara.
[Ibu... apakah memang ini semua salahku?]
Pikiran Olivia perlahan kembali terhanyut ke masa yang telah lama berlalu—sebuah ingatan yang selama ini ia simpan dalam diam.
***
Enam tahun yang lalu — Kediaman Keluarga Astalfo.
Di dalam sebuah kamar yang hangat, suasana penuh kasih tengah melingkupi dua sosok: seorang ibu yang sedang mengandung dan anak perempuannya yang masih polos, Olivia kecil.
Olivia duduk di sisi ranjang, menatap kagum perut ibunya yang membuncit. Dengan tangan kecilnya, ia mengelus perlahan perut itu, seolah ingin merasakan detak kehidupan di dalamnya. Wajahnya berseri-seri.
"Wah, Ibu, lihat deh! Perut Ibu semakin besar!" katanya ceria. "Apa adikku akan segera lahir?"
Ibunya tersenyum lembut. Suaranya penuh kehangatan saat menjawab, "Iya, Nak. Tak lama lagi adikmu akan lahir."
Kemudian, dengan nada lebih lembut namun penuh pesan, ia melanjutkan, "Nanti saat dia lahir, kamu harus menjadi kakak yang baik, ya. Lindungi dia, sayangi dia... jangan sering bertengkar dengannya."
Olivia menatap ibunya dengan penuh keyakinan. "Hehe, tentu saja! Aku janji akan jadi kakak yang hebat!" katanya dengan nada polos penuh semangat.
Namun janji itu—seiring waktu—mulai pudar.
Hari Kelahiran.
Di luar kamar bersalin, Olivia berdiri gelisah. Kakinya terus menghentak-hentak lantai, matanya menatap tajam ke arah pintu yang tertutup rapat. Waktu terasa berjalan lambat.
Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Sang ayah keluar bersama para dokter. Tapi bukan kabar gembira yang dibawa—melainkan wajah murung, sorot mata kosong, dan bekas air mata yang masih membekas di pipinya.
Olivia segera menghampirinya. "Ayah! Ayah! Bagaimana dengan adikku? Apa sudah lahir? Aku ingin melihatnya! Terus... Ibu, bagaimana dengan Ibu?!"
Namun sang ayah hanya terdiam, menatap putrinya dengan wajah getir. Tak ada sepatah kata pun keluar.
Perlahan, Olivia mulai panik. Ia mengguncang lengan ayahnya, mencoba memaksa jawaban.
"Ayah... jawab aku! Jawablah!!"
Dan akhirnya, kenyataan pahit itu terucap—ibunya telah tiada.
Wajah Olivia yang tadinya penuh harap langsung berubah. Pandangannya kosong, tubuhnya melemas. Segalanya runtuh dalam sekejap.
Ia mencoba menerobos masuk, ingin melihat ibunya untuk terakhir kalinya, namun sang ayah menahannya.
"Tidak, Olivia... jangan."
Teriakan dan tangisannya memenuhi lorong rumah. Gadis kecil itu menangis sejadi-jadinya. Hari itu, bagian dari dirinya ikut terkubur bersama kepergian sang ibu.
Janji yang pernah ia ucapkan dengan penuh semangat... kini hanya tinggal bayangan samar. Dan sejak saat itu, perlahan-lahan Olivia berubah.
Wajah cerianya memudar, digantikan oleh amarah dan kebencian yang tak pernah benar-benar ia pahami. Kenangan tentang kasih sayang itu terkubur dalam-dalam, meninggalkan sosok yang dingin dan penuh luka—seorang kakak yang telah melupakan sumpah kecilnya di sisi ranjang sang ibu.
***
Sore Hari — Kamar Clara.
Langit telah meredup. Cahaya matahari terakhir menembus sela-sela jendela yang terbuka, membawa serta semilir angin sore yang lembut ke dalam ruangan.
Di sisi ranjang, Herald duduk dengan pandangan terpaku pada Clara yang masih terbaring tak sadarkan diri. Tangan gadis itu digenggamnya erat, seolah dengan cara itu ia bisa menyampaikan semua penyesalan yang tak sempat ia katakan.
"Maafkan aku, Clara..." bisiknya, lirih.
"Aku gagal menjalankan tugasku. Karena kelalaianku... kamu jadi seperti ini."
Suara Herald bergetar. Sebagai pengawal pribadi Clara, seharusnya ia menjadi pelindung, perisai bagi gadis itu. Tapi nyatanya, ia tak ada di sana saat Clara benar-benar membutuhkannya.
"Kalau saja aku berada di sampingmu waktu itu... pasti aku bisa mencegah semuanya. Aku tak akan membiarkan siapapun menyakitimu."
Sebuah keheningan panjang menyusul, hanya ditemani desiran angin dan detik waktu yang terus berdetak.
"Aku janji, Clara... aku tidak akan mengulang kesalahan ini. Aku akan selalu berada di sisimu. Sampai kamu menemukan kebahagiaanmu... aku akan terus menjagamu."
Ia menunduk, mencium punggung tangan Clara dengan lembut. "Bangunlah, Clara... kami semua menunggumu."
Langit akhirnya benar-benar gelap. Malam turun perlahan. Herald pun berdiri, menatap gadis yang masih terlelap itu untuk terakhir kalinya sebelum ia beranjak pergi.
Langkahnya meninggalkan kamar itu hening, tapi penuh tekad. Ia tahu, mulai hari ini, ia tak akan membiarkan Clara merasa sendirian lagi.