Aku menyukaimu! Tapi, Aku tahu Aku tak cukup pantas untukmu!
Cinta satu malam yang terjadi antara dia dan sahabatnya, membawanya pada kisah cinta yang rumit. Khanza harus mengubur perasaannya dalam-dalam karena Nicholas sudah memiliki seseorang dalam hatinya, dia memilih membantu Nicholas mendapatkan cinta sang gadis pujaannya.
Mampukah Khanza merelakan Nicholas bersama gadis yang di cintai nya? Atau dia akan berjuang demi hatinya sendiri?
Ayo ikuti kisah romansa mereka di sini! Di Oh My Savior
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Whidie Arista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 : ketetapan hati
Cherry, tentu saja gadis itu yang menghubungi Nic. Khanza hanya memutar bola matanya malas. Entah apa yang mereka bicarakan di telpon, Nic nampak tersenyum.
"Khanza sedang sakit, aku ada di tempatnya sekarang." Ujar Nic.
"Iya selamat malam." Nic pun mengakhiri sambungan telponnya.
Nic kembali melirik Khanza, makanan di atas piringnya masih tersisa banyak, dia mengerutkan dahinya.
"Apa perlu aku suapi?"
"Tidak usah, tanganku tidak lumpuh." Ucap Khanza sedikit ketus. Entah mengapa meski dia ingin bersikap biasa kata-kata yang keluar dari mulutnya tetap saja tak sesuai dengan keinginannya.
"Pergilah, pacarmu menunggumu."
"Cherry hanya menanyakan apa aku sudah pulang atau belum," Nic menjelaskan.
'Mengapa dia mengatakannya padaku? Apa sikapku tampak seperti orang cemburu, apa dia menyadarinya? Tidak, si bodoh ini pasti tak menyadarinya sama sekali.'
"Kalau begitu kau pulanglah, kau harus istirahat juga." Berusaha tak menghiraukan kata-kata yang Nic katakan tadi.
"Tidak, aku akan tinggal di sini malam ini." Nic bersikukuh.
"Nic, aku baik-baik saja, oke."
"Tidak, kau tidak baik-baik saja," baru saja Nic menyelesaikan kata-katanya, telponnya kembali berdering, dia menatap layar ponselnya sebelum mengangkatnya, keningnya sedikit berkerut.
"Halo," ujarnya dengan nada heran, "apa? Bagaimana bisa, kami baru saja bicara di telpon. Baiklah, aku segera kesana, jaga dia baik-baik." Nic pun mengakhiri sambungan telponnya kembali.
"Ada apa?" Tanya Khanza sembari menatap Nic keheranan.
"Cherry, dia masuk rumah sakit. Asistennya bilang, dia jatuh dari tangga dan masih belum sadarkan diri." Nic mengambil jas yang terlampir di sandaran kursi lantas mengenakannya.
"Maaf Khanza, sepertinya aku harus pergi. Habiskan makananmu, lalu minum obat dan istirahatlah. Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku." Khanza hanya mengangguk sebagai jawaban. Nic pun berlalu, Khanza menatap punggung Nic yang perlahan menghilang di balik pintu.
Makanan yang sebelumnya terasa lezat pun kini terasa hambar selepas kepergian Nic, Khanza tiba-tiba merasa kenyang dan enggan menghabiskan makanannya.
Keesokan paginya, Khanza terbangun karena suara seseorang yang datang berkunjung, ternyata itu Shelia.
"Nyonya, mengapa anda repot-repot datang kemari."
"Aku dengar kamu sakit, Nic menyuruh seorang pelayan untuk datang dan merawatmu. Jangan terlalu keras pada dirimu, setelah ini baik-baik lah beristirahat. Oh ya, aku bawakan sup ayam bagus untuk pemulihan mu." Shelia mengeluarkan kotak makan dari dalam paper bag yang Ia bawa.
"Ayo, cobalah." Ucap Shelia. Khanza menatap makanan itu, entah mengapa baru mencium aromanya saja membuat Khanza merasa mual.
"I-iya nanti saya makan, Nyonya." Khanza berusaha menghindari makanan tersebut.
"Jangan nanti-nanti, kamu belum sarapan kan? Kamu harus minum obatmu." Shelia memaksa, dia mengambil satu sendok dan menyuapkannya pada Khanza.
Hmp, Khanza mengernyit merasai rasa makanan tersebut, rasanya memang tak aneh, namun ada sebuah dorongan yang berasal dari dalam perutnya. Perutnya seakan tak menerima kehadiran makanan tersebut.
'Telan, ayo telan.' ucapnya dalam hati.
Glek... Satu suapan tersebut berhasil melewati tenggorokannya, berlanjut ke suapan selanjutnya, tiba-tiba, seketika Khanza berlari menuju toilet, huek...! Khanza kembali memuntahkan isi di dalam perutnya. Perutnya seolah di peras, dia terus saja muntah tiada henti, muntahan selanjutnya hanya ludah bercampur air.
Shelia datang dengan wajah panik, dia membantu memijat pundak Khanza, "Za, are you oke?"
"Yes, I'm fine!" Khanza mengambil air dan berkumur-kumur agar rasa asam di mulutnya menghilang.
"Kamu sebenarnya sakit apa sih?" Tanya Shelia dengan tatapan penuh selidik, tatapannya seolah menerka-nerka sesuatu.
"Penyakit lambung dan anemia," Khanza mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Apa saja yang Dokter katakan?" Dia kembali bertanya.
"Dokter hanya menyuruhku beristirahat dan makan teratur." Khanza berucap sekenanya. Shelia manggut-manggut namun masih belum merasa yakin.
"Kamu tidak suka makanan yang saya buat barusan? Apa ada makanan lain yang ingin kamu makan?"
"Tidak ada Nyonya, terima kasih banyak, itu saja sudah lebih dari cukup. Seharusnya anda kirim saja pelayan, mengapa anda repot-repot datang kemari seorang diri." Ucap Khanza setelah dia kembali duduk di meja makan. Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
"Kamu ini, Nyonya, Nyonya, Nyonya, kenapa kamu selalu memanggilku Nyonya? Khanza, berapa kali harus aku bilang panggil aku Mami, seperti Nic memanggilku. Sayang, aku menyayangimu seperti aku menyayangi Nic, tidakkah kamu merasakan itu?" Ujar Shelia, membuat mata Khanza berkaca-kaca.
"Terima kasih," ucap Khanza penuh haru, hanya itu yang mampu Ia katakan saking terharunya.
"Panggil aku Mami, oke." Khanza mengangguk setuju.
"Oke, Mami." Shelia menarik Khanza dalam pelukannya.
"Khanza, kamu bisa menceritakan keluh kesah mu padaku kapan saja, Mami akan siap mendengarkan, sayang jangan selalu memendam segalanya seorang diri, kamu punya kami. Nic, Aku dan juga Tuan Nelson." Khanza tersenyum, jika hanya kata-kata saja yang Ia ucapakan rasanya tak cukup menggambarkan rasa syukurnya telah bertemu dengan keluarga Nelson.
"Khanza, aku dengar Cherry kembali?" Tanya Shelia tiba-tiba mengalihkan perbincangan.
"Iya, dan sekarang Nic dan Cherry sedang menjalin hubungan."
Hem, Shelia terdiam, "bagaimana dia sekarang?"
"Dia sangat cantik, dan dia juga jadi model iklan kami sekarang." Jawab Khanza seadanya.
"Bagaimana menurutmu tentang Cherry? Tentang kepribadiannya?" Tanya Shelia lebih spesifik.
"Dia baik, cantik, dan terutama Nic menyukainya." Hanya itu yang dapat Khanza katakan, dia sama sekali tak tahu menahu soal Khanza lebih mendalam lagi.
"Apa kau menyukai Nic?" Pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulut Shelia, membuat Khanza terkejut, matanya sedikit melebar, refleks dia meneguk segelas air putih yang ada di depannya untuk mengatasi rasa keterkejutannya.
"Haha, bagaimana mungkin aku menyukai Nic. Kami sudah seperti saudara, Mami yang bilang kan." Khanza memaksakan diri tertawa.
"Tidak ada salahnya, kalian kan hanya seperti saudara bukan saudara kandung. Khanza, aku tanya sekali lagi padamu, apa kau pernah menyukai Nic walau hanya sesaat?"
Deg...!
'Serangan hati macam apa ini?'
"Jawab dengan jujur, dan tatap mata Mami." Desak Shelia.
Khanza beralih menatap manik mata wanita paruh baya yang masih nampak cantik itu, meski usianya tak bisa di bilang muda lagi, namun tak dapat di pungkiri jika Shelia masih nampak seperti wanita usia di bawah tiga puluh tahunan.
'Apa aku jujur saja? Tidak, mungkin Nyonya Shelia hanya mengetesku saja, dia nampak curiga tadi. Aku tidak bisa memanfaatkan hubungan kami, hanya karena aku mencintai Nic, tapi anak ini, bagaimana nasibnya nanti?'
Khanza memantapkan hatinya, sudah saatnya dia merelakan Nic dengan Cherry, biarlah bayi yang ada dalam rahimnya hanya dia yang memilikinya. Setidaknya, dia masih memiliki bayi ini sebagai kenang-kenangan dari Nic. Jika suatu saat nanti dia harus pergi, dia tetap punya tanda cintanya dari Nic bersamanya.
"Tidak pernah." Jawab Khanza dengan pasti.