Cerita ini mengikuti kehidupan Keisha, seorang remaja Gen Z yang sedang menghadapi berbagai tantangan dalam hidupnya. Ia terjebak di antara cinta, persahabatan, dan harapan keluarganya untuk masa depan yang lebih baik. Dengan karakter yang relatable dan situasi yang sering dihadapi oleh generasi muda saat ini, kisah ini menggambarkan perjalanan Keisha dalam menemukan jati diri dan pilihan hidup yang akan membentuk masa depannya. Ditemani sahabatnya, Naya, dan dua cowok yang terlibat dalam hidupnya, Bimo dan Dimas, Keisha harus berjuang untuk menemukan kebahagiaan sejati di tengah kebisingan dunia modern yang dipenuhi tekanan dari berbagai sisi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sasyaaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Badai di Depan
Setelah beberapa minggu berlalu, usaha Keisha dan Raka mulai menunjukkan sedikit hasil. Mereka berhasil menemukan beberapa pekerjaan sampingan untuk Raka, mulai dari mengajar les privat hingga menjadi barista di kafe kecil dekat kampus. Ayah Raka juga mulai melamar ke beberapa tempat dengan bantuan Keisha yang sering mencarikan lowongan pekerjaan lewat internet. Namun, situasi masih jauh dari kata stabil, dan mereka tahu waktu mereka terbatas.
Suatu sore, setelah selesai shift di kafe, Raka menghampiri Keisha yang sedang menunggunya di luar.
"Keish, lo nggak perlu nunggu gue sampai malem gini, lho. Gue bisa pulang sendiri," ujar Raka dengan nada cemas. Ia terlihat lelah, tapi tetap berusaha tersenyum.
Keisha mengangkat bahu santai. "Gue cuma pengen make sure lo baik-baik aja, Rak. Selain itu, gue juga mau ngopi gratis." Dia tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana.
Raka menggeleng pelan, tapi senyum tipisnya masih ada. "Bener-bener, ya. Tapi serius, makasih banget udah ngelakuin semua ini buat gue dan keluarga gue. Gue nggak pernah nyangka lo bakal segini peduli."
Keisha menatap Raka dengan serius. "Rak, gue peduli karena lo penting buat gue. Gue nggak mau liat lo harus ninggalin semua mimpi lo cuma gara-gara masalah yang, mungkin, bisa kita atasi bareng-bareng."
"Lo tau nggak, gue kadang ngerasa bersalah banget. Gue malah ngebebanin lo dengan masalah gue," ujar Raka sambil menunduk, suaranya pelan.
Keisha menghela napas dan menepuk bahu Raka. "Stop ngomong kayak gitu. Kita ini tim, Rak. Kalo lo terbebani, gue juga ikutan ngerasa berat. Jadi daripada lo mikirin hal-hal negatif, mending fokus sama apa yang bisa kita lakuin sekarang."
Obrolan mereka terhenti sejenak ketika Sari tiba-tiba muncul. "Hai, kalian berdua lagi ngapain di sini? Pacaran?" goda Sari sambil tersenyum lebar.
Keisha dan Raka saling menatap, lalu tertawa. "Nggak lah, Sar. Kita cuma... lagi ngobrol aja," jawab Keisha, berusaha mengelak sambil tersipu malu.
Sari mengangguk-angguk dengan ekspresi curiga. "Iya, iya. Gue percaya kok, walaupun jelas banget ada sesuatu di antara kalian." Dia kemudian duduk di sebelah Keisha, wajahnya berubah serius. "Tapi serius, gue salut sama lo, Keish. Lo udah ngelakuin banyak buat Raka. Gue cuma mau bilang, jangan lupa jaga diri lo juga."
Keisha tersenyum, tapi dalam hatinya kata-kata Sari tetap terngiang. Dia sadar betapa beratnya perjuangan ini. Malam itu, setelah pulang ke rumah, Keisha duduk sendirian di kamar. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai kekhawatiran—tentang Raka, keluarganya, dan masa depan mereka. Apakah semua yang mereka lakukan akan cukup?
---
Keesokan harinya di kampus, suasana tampak lebih cerah. Keisha berjalan ke kelasnya, tetapi tiba-tiba dia melihat Raka berdiri di lorong, wajahnya tampak penuh kebingungan.
"Rak, ada apa?" tanya Keisha, khawatir.
Raka mengangkat selembar kertas yang ada di tangannya. "Gue baru dapet email dari kampus. Mereka nawarin beasiswa full buat semester depan... kalau gue bisa ngelewatin tes tambahan. Ini bisa bantu banget biaya kuliah gue."
Mata Keisha langsung berbinar. "Serius, Rak? Itu kan kabar bagus! Lo pasti bisa, gue yakin."
"Tapi..." Raka menunduk, ragu-ragu. "Gue takut gue nggak bisa ngelewatin tesnya. Apalagi dengan kerjaan sampingan dan masalah keluarga, gue nggak punya banyak waktu buat belajar."
Keisha menggenggam tangan Raka, memberinya semangat. "Denger, Rak. Kita bisa atur ini. Gue bakal bantu lo belajar. Kalo perlu, kita bagi waktu buat kerjaan, belajar, dan istirahat. Lo nggak sendiri."
Raka tersenyum lemah. "Tapi gue nggak mau lo makin kecapean gara-gara gue."
"Ini bukan cuma soal lo, Rak. Ini soal kita. Gue pengen lo bisa ngejar mimpi lo, dan gue siap bantu apapun yang terjadi," kata Keisha mantap.
Dari balik mereka, tiba-tiba suara lain terdengar. "Ah, ternyata kalian beneran tim yang solid." Suara itu datang dari Rey, salah satu teman kuliah mereka yang cukup dekat dengan Keisha.
Keisha mengerutkan kening. "Rey, kenapa lo tiba-tiba ngomong gitu?"
Rey mengangkat bahu. "Gue denger gosip soal lo dan Raka, tapi gue nggak peduli. Yang gue lihat, lo bener-bener peduli sama dia. Dan gue kira, kalau lo butuh bantuan buat ngebagi waktu Raka, mungkin gue bisa bantu handle kerjaan dia di kafe beberapa malam dalam seminggu."
Raka tampak terkejut. "Seriusan, Rey? Lo mau bantuin?"
"Serius. Gue nggak ada kerjaan juga. Lagian, kalo bisa bantu temen, kenapa nggak?" jawab Rey santai.
Keisha merasa hatinya hangat. Dukungan dari Rey adalah hal yang tidak disangka-sangka tapi sangat membantu. "Makasih, Rey. Gue nggak tahu gimana cara balas budi ke lo."
"Nggak usah mikirin balas budi. Cuma jaga janji lo buat bantu Raka, itu udah cukup," Rey menepuk punggung Raka, membuat suasana menjadi lebih ringan.
Dengan adanya bantuan dari Rey, mereka mulai menyusun rencana. Raka akan fokus pada persiapan tes, sementara Rey akan mengambil beberapa shift di kafe, dan Keisha tetap membantu mengatur jadwal belajar dan pekerjaan mereka. Meskipun masalah belum sepenuhnya terpecahkan, setidaknya mereka merasa lebih kuat karena tahu tidak berjuang sendirian.
Namun, di balik kebersamaan itu, ada perasaan lain yang tumbuh. Keisha menyadari bahwa semakin ia berusaha membantu Raka, semakin ia merasa terikat padanya. Dan di sisi lain, Raka juga mulai menyadari betapa pentingnya kehadiran Keisha dalam hidupnya. Tetapi mereka belum punya keberanian untuk mengungkapkannya.
Di tengah-tengah kesibukan mereka, ada satu pertanyaan besar yang mulai muncul di benak Keisha: apakah mereka hanya teman yang saling membantu, atau ada sesuatu yang lebih?
Hari-hari berikutnya semakin padat bagi mereka bertiga. Keisha, Raka, dan Rey menjalani rutinitas yang teratur; Raka sibuk dengan persiapan tes, Rey mengambil beberapa shift di kafe, dan Keisha memastikan jadwal mereka berjalan lancar. Di antara semua kesibukan itu, perasaan antara Keisha dan Raka semakin sulit diabaikan, meskipun keduanya masih enggan mengungkapkannya.
Suatu malam, saat sedang belajar di kafe, Keisha duduk di seberang Raka yang sibuk membaca buku referensi. Rey sedang di belakang meja kasir, mengatur beberapa pesanan.
"Rak, lo udah belajar bagian ini?" tanya Keisha sambil menunjuk bab yang tampak tebal dan rumit. "Gue nemu soal yang mirip kayak yang lo bilang kemarin."
Raka mendongak, senyum kelelahan terpancar di wajahnya. "Belum, gue baru mau mulai ngebaca. Aduh, otak gue udah mulai nge-pause kayaknya."
Keisha tersenyum geli. "Santai, kita break dulu sebentar, yuk? Gue beliin kopi buat lo, tapi dengan satu syarat."
"Apa tuh?" Raka menatapnya penuh penasaran.
"Lo harus janji abis ini fokus, nggak ada alasan buat ngantuk-ngantuk lagi. Deal?" Keisha mengulurkan tangan, seakan mereka sedang melakukan perjanjian bisnis besar.
Raka terkekeh dan menjabat tangan Keisha. "Deal."
Sambil menunggu pesanan kopi, Keisha berpikir tentang perasaannya yang semakin dalam terhadap Raka. Dia tahu dia tidak bisa selamanya memendam semuanya, tapi dia juga takut kalau pengakuan itu malah akan merusak persahabatan mereka.
Tak lama, Rey datang menghampiri dengan nampan di tangannya. "Kopi pesanan kalian, satu Americano buat Raka yang mau melek, dan satu latte manis buat Keisha yang selalu manis."
Keisha tertawa mendengar candaan Rey. "Makasih, Rey. Lo bener-bener baik mau bantuin kita semua."
"Nggak masalah," balas Rey dengan santai. "Tapi, gue mau ngomong sesuatu ke kalian berdua." Dia menaruh nampan di meja dan menatap mereka bergantian. "Gue liat kalian ini udah kayak... ya, lebih dari sekadar temen. Dan gue bukan orang yang suka muter-muterin omongan, jadi gue mau nanya langsung: kalian sebenarnya ada rasa nggak sih satu sama lain?"
Pertanyaan Rey membuat Keisha dan Raka membeku. Mereka saling pandang, terkejut dan bingung harus menjawab apa. Keisha merasa pipinya mulai memerah, dan Raka tampak mencari-cari kata-kata yang tepat.
"Rey, ini bukan waktunya buat..." Raka mencoba bicara, tapi Rey memotong.
"Nggak, Rak. Ini justru waktunya. Lo nggak bisa selamanya ngelakuin ini terus, pura-pura biasa padahal jelas banget kalo lo sayang sama Keisha." Rey menatap Raka serius. "Dan lo, Keish... gue tau lo juga ada rasa buat dia."
Keisha menunduk, jantungnya berdebar kencang. "Rey, kita... kita cuma mau fokus buat ngebantu Raka lulus tes ini. Masalah perasaan, mungkin nanti kita bisa bicarain."
"Kenapa harus nanti?" Rey tersenyum kecil, tapi matanya penuh pengertian. "Kadang, ada hal-hal yang nggak bisa lo tunda. Dan kalau kalian nunggu terlalu lama, bisa aja kesempatan itu hilang."
Keisha merasa dadanya sesak mendengar kata-kata Rey. Dia berusaha mencari alasan untuk mengalihkan topik, tapi tidak bisa. Akhirnya, dia menatap Raka, berharap menemukan jawaban di matanya.
Raka menarik napas dalam-dalam. "Keish, gue..." Suaranya bergetar, dia tampak kebingungan. "Gue nggak tahu harus mulai dari mana, tapi yang jelas, gue bersyukur banget lo ada di sini buat gue. Tanpa lo, gue mungkin udah nyerah dari dulu. Dan... gue nggak mau nyakitin lo, atau ngebebanin lo lebih dari ini."
Keisha menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. "Rak, lo nggak pernah ngebebanin gue. Gue ngelakuin semua ini karena gue peduli sama lo. Karena lo penting buat gue."
Rey memperhatikan dengan senyum puas. "Nah, akhirnya keluar juga dari mulut kalian." Dia berdiri, bersiap kembali ke meja kasir. "Gue tinggal dulu ya, biar kalian ngobrol lebih lanjut. Kalau butuh kopi tambahan, tinggal bilang."
Setelah Rey pergi, suasana menjadi lebih hening, tapi kali ini bukan hening yang canggung. Keisha dan Raka saling menatap, dan perlahan senyuman muncul di wajah mereka.
"Jadi... kita ini apa, Keish?" tanya Raka pelan, seakan takut menghancurkan momen itu.
Keisha tertawa kecil, meski matanya berkaca-kaca. "Mungkin kita bisa mulai dengan jujur sama perasaan kita. Gue nggak tau apa yang bakal terjadi nanti, Rak. Tapi... gue mau kita tetep ada di sisi satu sama lain."
Raka mengangguk, senyum lega terukir di wajahnya. "Gue juga, Keish. Gue nggak janji semuanya bakal jadi gampang, tapi gue janji bakal coba semampu gue buat selalu ada buat lo. Dan bukan cuma karena lo bantuin gue, tapi karena... gue sayang sama lo."
Keisha merasa seolah ada beban berat yang terangkat dari dadanya. Akhirnya, mereka bisa jujur satu sama lain, meskipun ini baru awal dari semua masalah yang mereka hadapi. Tapi setidaknya, mereka tidak lagi harus memendam perasaan mereka sendiri-sendiri.
---
Esok harinya, suasana di kampus terasa berbeda bagi mereka berdua. Keisha dan Raka berangkat bersama, dan kali ini tanpa perlu menahan perasaan mereka. Namun, tantangan berikutnya sudah menunggu. Tes yang harus dihadapi Raka semakin dekat, dan mereka tahu itu akan menentukan banyak hal.
Di tengah semua persiapan itu, tiba-tiba Keisha menerima telepon dari ibunya. "Keisha, nanti malam pulang ke rumah, ya. Kita harus bicara."
Nada suara ibunya terdengar serius, dan Keisha merasakan firasat tidak enak. Sepanjang hari, ia berusaha menutupi kekhawatiran itu dari Raka. Tapi pada akhirnya, Raka bisa melihatnya.
"Keish, ada apa? Lo keliatan nggak tenang dari tadi siang," tanya Raka sambil menggenggam tangan Keisha dengan lembut.
Keisha menarik napas panjang. "Gue nggak tau, Rak. Nyokap tiba-tiba minta gue pulang. Kayaknya ada sesuatu yang penting."
Raka mengangguk, memahami kekhawatiran Keisha. "Kalau lo butuh gue buat nemenin, gue siap kapan aja."
Keisha tersenyum tipis. "Makasih, Rak. Tapi kali ini, mungkin gue harus hadapin sendiri dulu."
Sore itu, Keisha merasa hatinya bercampur aduk. Di satu sisi, dia senang akhirnya bisa jujur dengan perasaannya ke Raka. Tapi di sisi lain, kekhawatiran tentang apa yang menunggunya di rumah membuat pikirannya tak tenang. Ia tahu, perjalanan mereka berdua masih panjang, dan mungkin saja ada badai yang lebih besar di depan. Tapi satu hal yang pasti, sekarang ia tidak lagi harus menghadapinya sendirian.