Bagaimana perasaanmu jika jadi aku? Menjadi istri pegawai kantoran di sudut kota kecil, dengan penghasilan yang lumayan, namun kamu hanya di beri uang lima puluh ribu untuk satu minggu. Dengan kebutuhan dapur yang serba mahal dan tiga orang anak yang masih kecil.
Itulah yang aku jalani kini. Aku tak pernah protes apalagi meminta hal lebih dari suamiku. Aku menerima keadaan ini dengan hati yang lapang. Namun, semua berubah ketika aku menemukan sebuah benda yang entah milik siapa, tapi benda itu terdapat di tas kerja suamiku.
Benda itulah yang membuat hubungan rumah tangga kami tak sehat seperti dulu.
Mampukah aku bertahan dengan suamiku ketika keretakan di rumah tangga kami mulai nampak nyata?
Jika aku pergi, bisakah aku menghidupi ke tiga anakku?
Ikuti perjalanan rumah tangga ku di sini. .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Luka Yang Dalam
"Ini salahku, Yu. Jangan salahkan Winda. Aku yang membawanya ke dalam rumah tangga kita. Bukan dia yang masuk, salahkan aku."
Aku tersenyum kecut.
Plak!
Aku menampar pipi Anang sekuat-kuatnya. Pipinya langsung terlihat memerah. Nafasku memburu dengan cepat.
Plak!
Kembali aku melayangkan tamparan di pipi yang belum terpukul. Aku menahan sekuat tenaga agar air mataku tak melaju.
"Rasa sakit yang kamu terima barusan tidak sebanding dengan rasa sakit yang aku terima. Hampir tujuh tahun aku menjadi istri mu dan mengabdikan diriku hanya pada keluarga mu, ini yang aku terima?"
Anang diam menatapku dengan iba. Aku yakin, wajahku pasti terlihat mengenaskan sekarang.
"Jangan sentuh aku! Aku jijik!" teriakku dengan lantang. "Dan untuk kamu, Winda, aku berikan dengan ikhlas laki-laki ini padamu. Aku sumbangkan dia padamu, ambil dia. Ambil sampah ini dari ku. Mudah-mudahan kalian selalu di beri kebahagiaan dan ya, aku berharap anak kalian tidak tahu asal-usul bagaimana dia lahir. Kasihan sekali jika dia tahu, dia lahir dari hasil zina orang tuanya."
"Maaf, Ayu. Aku dan mas Anang tidak Zina. Kami sah suami istri secara agama. Kami menikah siri tepat saat anak ketiga mu lahir.
Duar!
Jantungku terasa runtuh, dadaku terasa sangat sakit, aku merasa oksigen di ruangan ini tidak ada, entah kemana perginya. Kedua kakiku lemas hingga tak bisa menopang beban tubuh ku.
Anang berjalan menghampiri ku yang sudah terduduk di lantai dengan sisa tenaga yang ada. Amarah dan kepercayaan diriku untuk memberi pelajaran mereka sirna begitu saja. Aku seperti melupakan tujuan ku datang ke sini. Aku lupa maksudku mengubah penampilan se sempurna ini.
Aku mengangkat tangan saat Anang duduk di sebelahku. Aku tahu, dia mungkin akan memberikan penjelasan mengapa dia melakukan ini. Aku mendongak, menatap lekat-lekat manik mata yang dahulu sering aku rindukan.
"Sudah cukup, aku rasa memang saatnya kita harus pisah. Akan aku urus surat perpisahan kita." Aku bangkit dan berjalan cepat keluar kamar terkutuk itu. Niat hati ingin menguliti mereka malah aku yang terkuliti.
Aku sempat mendengar Anang dan Winda berdebat sebentar sebelum Anang memenggil dan mengejarku. Aku tak hiraukan panggilannya, aku terus berjalan sekuat tenaga. Rasanya badanku mendadak lemas, perut yang tak terisi sejak siang ditambah dengan kenyataan pahit yang baru saja aku dengar menambah kesengsaraan hidupku saja.
"Dek, tunggu sebentar, dek," ucapnya menghadang langkahku dan meraih tanganku, dengan cepat aku menipisnya kasar. Padahal aku sudah dekat dengan mobil Jaka terparkir, namun Anang berhasil menghadang langkahku.
"Aku minta maaf ya, aku tahu aku salah. Nggak seharusnya aku berbuat begini. Tolong jangan tinggalkan aku. Beri aku kesempatan, akan aku tinggalkan Winda. Kita mulai dari nol, janji aku akan membahagiakan kamu, dek. Please, buat anak-anak kita."
Aku tersenyum miring mendengar kata-katanya. "Tidak ada maaf untuk kesalahan sebesar ini. Kamu menikah siri, punya anak dari pernikahan kamu ini, kamu membahagiakan istri sirimu dan menelantarkan istri sah mu. Istri yang sudah memberimu tiga orang anak, istri yang sudah rela diam di perlakukan tidak baik oleh ibu mertuanya, istri yang terima suaminya apa adanya, istri yang dengan suka rela mengorbankan waktunya dan tenaganya untuk menjadikan keluarganya berkecukupan. Tidak akan kamu temui wanita seperti aku. Kamu, menikah lagi dengan Winda, karena kamu merasa dia bisa jaga dan merawat dirinya? Tidak seperti aku yang tidak bisa mengurus diriku sendiri? Iya kan? KENAPA KAMU NGGAK KASIH AKU WADAH SEPERTI WINDA? Aku juga bisa menjaga diriku sendiri, merawat tubuhku, dandan demi kamu. Kamu lihat aku sekarang? LIHAT AKU! Ayu yang ada di depan kamu sekarang jauh berbeda dengan Ayu yang ada di rumah kan? Mau tahu kenapa? Karena aku mampu dan aku punya uang untuk membuat diriku cantik seperti ini. Kamu tuntut aku cantik setiap saat, setiap waktu, tapi kamu nggak kasih aku uang, nggak kasih aku waktu, kasih sayangmu nggak ada. Kamu pikir cantik nggak butuh modal? Kamu pikir dengan modal sabar saja bisa buat aku cantik? Dan ya, kenapa baru sekarang kamu ingat anak-anak? Kenapa pas kamu melakukan hal menjijikkan kamu nggak ingat?" Aku mencerca Anang dengan berjuta kalimat yang membuatnya mati kutu. Dia hanya diam di tempat dengan rasa bersalah yang sudah kadaluwarsa.
"Iya aku minta maaf, iya aku salah. Aku tahu apa yang aku lakukan tidak akan bisa membuat sakit hati kamu akan sembuh. Tapi setidaknya beri aku kesempatan untuk mengobati luka mu."
"Nggak ada obat untuk luka yang kamu ciptakan, luka yang sudah terlalu dalam. Sakit ini nggak akan pernah bisa sembuh, kamu berikan aku sejuta keindahan dan kenangan manis, tapi kamu juga berikan aku sejuta sakit dalam waktu bersamaan. Kamu ingat kata-kata yang pernah kamu ucapkan ke aku? Kita tidak akan bisa menggenggam dua barang sekaligus dalam satu tangan. Letakkan salah satunya sebelum dia hancur tak berbekas. Kamu lupa dengan kata-kata kamu sendiri? Aku sudah menyerah, aku akui aku kalah dan saatnya aku pergi." Aku berbalik badan dan mulai melangkah.
"Aku masih cinta sama kamu, dek. Aku menikahi Winda karena dia hamil anakku. Aku nggak sungguh-sungguh mencintainya. Cinta aku masih buat kamu seutuhnya, hati dan hidup aku hanya buat kamu."
Aku menghela nafas panjang sebelum berucap. "Tidak akan ada yang kedua jika kamu mencintai aku. Lupakan semunya, kita mulai lembaran hidup baru dengan kehidupan yang sudah masing-masing. Terima kasih untuk tiga tahun saat kita masih pacaran, kamu begitu memanjakan aku seperti kamu memanjakan Winda. Terimakasih juga untuk hampir tujuh tahun pernikahan yang membuat ku cukup terbuka untuk menilai sosok pria yang aku anggap sebagai bahuku. Sekali lagi terima kasih, dan maaf jika aku tak bisa menjadi seperti yang kamu ingini. Aku rasa, perjalanan kita terhenti di sini. Selamat tinggal." Sekali lagi aku bicara panjang lebar, namun tak menghadap wajahnya.
Aku melangkah dengan kembali berlinang air mata. Aku tak munafik, hatiku sangat sakit menerima kenyataan ini. Padahal tadi aku sudah berusaha untuk menata hati dan jiwaku agar tetap tenang saat menghadapi suamiku bercinta dengan jalangnya. Tapi rupanya wanita yang aku anggap ****** bukan orang lain di hidup suamiku. Suamiku? Ah rasanya tak pantas lagi aku menyebutkan nama itu.
Aku masih terus melangkah saat telingaku masih menangkap panggilan dari Anang. Aku berjalan bertambah cepat, entah mengapa mobil Jaka yang tadi aku lihat begitu dekat denganku, sekarang nampak sangat jauh.
"Ayo kita pergi dari sini, mas!" ajak ku begitu masuk ke dalam mobil. Suaraku masih bergetar menahan tangis.
"Bisa pindah ke depan, Yu?" kata Jaka tiba-tiba.
"Kenapa?" tanyaku masih dengan menunduk menyembunyikan mataku yang mungkin susah memerah dan bengkak.
"Duduk aja dulu. Kita teman kan?"
Ah iya, baru saja beberapa hari yang lalu kita sepakat untuk menjadi teman. Hari dimana aku bertemu dengannya untuk yang kedua kalinya, di situlah kami mulai sepakat kami adalah teman.
ceritanya sperti di dunianya nyata.