Karena dendam pada Seorang pria yang di yakini merebut wanita pujaannya sejak kecil, Alvino Maladeva akhirnya berencana membalas dendam pada pria itu melalui keluarga tersayang pria tersebut.
Syifana Mahendra, gadis lugu berusia delapan belas tahun yang memutuskan menerima pinangan kekasih yang baru saja di temui olehnya. Awalnya Syifana mengira laki-laki itu tulus mencintainya hingga setelah menikah dirinya justru mengetahui bahwa ia hanya di jadikan alat balas dendam oleh sang suami pada Kakak satu-satunya.
Lalu, apakah Syifana akan terus bertahan dengan rumah tangga yang berlandaskan Balas Dendam tersebut? Ataukah justru pergi melarikan diri dari kekejaman suaminya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurma Azalia Miftahpoenya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nasehat Kak Ara
Syifana kini hanya bisa menangis di pangkuan kakak laki-lakinya. Dia yang berulah dan sang ibu yang menjadi korban. Penyesalan kini hanya sia-sia, karena keadaan sang ibu semakin memburuk.
Sang ibu yang awalnya hanya di rawat di ruang rawat inap, kini justru berpindah ke IGD. Beberapa dokter spesialis turut memeriksa wanita paruh baya yang masih tetap menggunakan hijab meski dalam keadaan tidak sadar.
"Bang, bagaimana jika hal buruk terjadi pada ibu?" tanya Syifana lirih, air mata tetap mengalir dari mata sayunya.
Ali mengelus puncak kepala sang adik yang berada di pangkuannya. "Kamu jangan berkata seperti itu, Syifa. Berdoa saja pada Allah, agar ibu di berikan kesehatan seperti sedia kala." Ali menghapus air mata yang membasahi pipi chubby sang adik dengan tangannya sendiri.
Gadis remaja itu menggeleng cepat. "Ini semua salah Syifa! Kalau saja Syifa tidak berulah, ibu tidak akan seperti ini." Syifana bangkit dari posisinya, gadis itu berlari menjauhi sang kakak yang masih duduk di tempatnya.
Saat Ali hendak beranjak, Ara dengan cepat meraih pergelangan tangan suaminya. Wanita cantik dengan perut buncit itu menggelengkan kepalanya.
"Biar aku saja, Sun. Syifana butuh ketenangan sekarang," ujar Ara dengan lembut.
Ali dalam keadaan dilema, antara mengejar sang adik atau tetap menunggu dokter selesai memeriksa sang ibu. Ayah Hendra kini tengah berada di mushola rumah sakit untuk mendoakan istrinya. Dengan terpaksa Ali menyetujui sang istri.
Setelah mendapat ijin dari suaminya, Ara kini berjalan dengan susah payah. Walaupun kandungannya baru memasuki trismester kedua, akan tetapi dokter mengatakan bahwa janin yang berada di perutnya tidak hanya satu.
Insting mafia yang masih melekat padanya membawa Ara ke arah sebuah toilet, dia yakin jika adik iparnya itu memang pergi ke tempat itu. Ara mengetuk pintu begitu yakin bahwa sang adik ipar memang ada di dalam sebuah bilik yang pintunya dalam keadaan tertutup.
Ketukan pintu tidak membuat gadis remaja itu membuka pintu toilet. Dia tengah menangis di dalam sana. Akan tetapi orang yang mengetuk pintu semakin lama semakin tidak sabaran. Dengan agak merasa kesal, Syifana menghapus air mata di pipinya dengan kasar. Gadis itu membuka pintu toilet dan mendapati kakak iparnya tengah berdiri di depan pintu.
"Kakak." Syifana memeluk Ara begitu erat.
Saat ini dia merasa dunianya runtuh, dia terlalu menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi pada ibu kandungnya. Walaupun keluarganya sama sekali tidak ada yang mengatakan semua ini adalah kesalahannya, gadis itu sudah lebih dari merasakan akibat dari kecerobohannya.
Ara dengan lembut mengelus punggung bergetar sang adik. Berusaha untuk memberi kekuatan pada gadis berusia muda itu untuk kuat menghadapi kenyataan. Begitu merasa sang adik sudah lebih tenang. Ara melerai pelukannya, dia menatap dalam netra berair sang adik. Mata yang sejak kedatangannya tadi selalu berlinang air mata.
"Kamu jangan seperti ini, Sayang. Kasihan Ayah dan Abang kalau kamu seperti ini. Kita harus saling menguatkan, bukan justru sibuk dengan kesibukan sendiri-sendiri." Ara mengambil tissue di dalam tas selempang miliknya.
Wanita bergaun sepanjang betis itu membersihkan sisa jejak air mata yang menghiasi wajah cantik adik iparnya. Setelah selesai dengan membersihkan wajah sang adik. Ara menggandeng tangan Syifana berjalan keluar dari toilet. Gadis cantik itu hanya menurut kemana sang kakak membawanya.
Ara membawa Syifana ke sebuah taman mini di rumah sakit itu. Mereka mencari bangku yang kosong untuk mereka duduk. Akan tetapi di taman itu hanya ada satu bangku kosong di tengah-tengah taman yang dekat dengan sebuah air mancur buatan.
"Duduk, Sayang." Ara menuntun Syifana untuk duduk di sana.
Setelah membantu Syifana duduk, Ara juga ikut duduk di samping gadis cantik itu. Kini pandangan Syifana kosong walaupun terlihat seperti sedang memandang air mancur yang ada di depannya.
"Syifa." Ara menyentuh bahu Syifana untuk menyadarkan gadis itu.
Ketika sadar dari lamunannya tentang sang ibu, Syifana menoleh ke samping. Dia menatap kakak iparnya yang juga terlihat sangat lelah.
"Kamu sayang sama ibu?" tanya Ara.
Gadis itu hanya mengangguk sebagai tanda bahwa dia menyayangi ibunya. Sebenarnya tanpa bertanyapun Ara sudah sangat paham bahwa gadis manja itu sangat menyayangi ibunya. Terbukti di usia 17 tahun, Syifana masih saja tidak malu jika bermanja pada ibunya di depan teman-temannya.
"Kamu sayang ayah?" tanya Ara lagi.
Lagi-lagi hanya anggukan yang di berikan oleh Syifana, membuat Ara tersenyum tipis. Ara mengambil kedua tangan adik iparnya itu dan menggenggam erat.
"Kamu sayang Abang, dan Kak Ara?" tanya Ara sekali lagi.
"Syifa sayang kalian, bahkan Baby A-A, Syifa sayang kalian semua."
Mendengar jawaban dari adik iparnya itu, Ara melepaskan salah satu tangannya untuk mengelus pipi sang adik.
"Kami juga sayang sama kamu, Syifa. Kalau kamu down seperti itu, bagaimana kami akan menguatkan diri kami sendiri? Kami hanya akan fokus untuk menguatkan Syifa, padahal ibu lebih perlu doa dan optimis dari Syifa." Ara menghentikan ucapannya.
Menarik nafas dalam lalu menghembuskan perlahan. Ara menarik tangan Syifana yang masih dia genggam dan menaruh di atas perut buncitnya.
"Kamu tahu, Baby A-A sedih melihat onty kesayangan mereka seperti ini."
Kali ini Syifana menatap perut buncit sang kakak. Benar, mungkin twins A akan sedih jika mereka mempunyai seorang Tante yang cengeng seperti dirinya. Menyadari ucapan sang kakak adalah benar, Syifana menghapus air matanya dengan kasar. Gadis itu berusaha tersenyum di sela-sela tangisannya.
"Maafin onty, Sayang. Onty janji enggak akan nangis lagi," ujar Syifana.
Gadis itu bangkit dari duduknya dan bersimpuh di kaki sang kakak. Wajah cantiknya kini berhadapan langsung dengan perut buncit kakak ipar yang tengah mengandung keponakannya. Dengan perlahan, Syifa mendekatkan bibirnya pada perut buncit itu. Mengecupnya begitu lama.
Tangan Ara begitu tulus memberikan kasih sayang untuk remaja yang baru saja lulus dari bangku Sekolah Menengah Atas itu. Sebagai seorang anak yang sudah pernah kehilangan ibu, Ara sudah sangat paham bagaimana perasaan Syifana saat ini. Gadis remaja itu terpukul dan merasa takut jika sang ibu benar-benar pergi untuk selamanya.
Setelah selesai mencium keponakannya yang masih tertidur di dalam rahim kakaknya, gadis remaja itu bangkit dan kembali duduk di bangku sebelah kakak iparnya.
Syifana kembali menatap pemandangan indah di hadapannya, pemandangan yang sangat menawan jika memang di lihat dengan perasaan bahagia. Akan tetapi untuk saat ini, itu tidak berlaku. Perasaannya tetap saja berantakan jika saja tidak mendapat ketenangan dari sang kakak ipar.
Di balik sebuah pohon besar di taman itu, seseorang tengah mengamati kedua wanita yang sedang berada di sebuah bangku di tengah-tengaj taman itu.
Bersambung...