Anzela Rasvatham bersama sang kekasih dan rekan di tempatkan di pulau Albrataz sebagai penjaga tahanan dengan mayoritas masyarakat kriminal dan penyuka segender.
Simak cerita selengkapnya, bagaimana Anz bertahan hidup dan membuktikan dirinya normal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ruang Berpikir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12_Penjelasan
“Keliling APA?” Menatap melotot pada Anz.
“Ih matanya, serem tahu,” menunjuk wajah Abi.
“Kau Anz, mau kemana ha? Semalam pingsan, apa kau gak sadar?” Tanya Anto.
“Dan infus, lu kemanakan?” Sambung tanya Felix.
“Itu,” menunjuk infus yang telah Anz non-aktifkan, botol sekaligus tali yang masih bergelantungan pada tempatnya. “Aku tidak selemah itu. Aku sudah sembuh kembali,” ucap tegas Anz.
...***...
Anz duduk tenang di atas ranjang, melihat susunan huruf yang menjadi kata yang kemudian menjadi kalimat, kalimat yang bermakna. Fokus pandangan mata Anz terus menatap buku bacaan milik Abi. Selembar demi selembar kertas itu terus bergantian. “Sayang. Ayok kita jalan-jalan!” mengulurkan tangan, yang langsung disambut Anz dengan memberikan senyuman manisnya, meletakkan buku si atas bantal tidurnya.
“Bi, bukumu masih kupinjam sebentar lagi ya. Belum selesai bacaanku,” berucap dan pandangan mata melihat Abi yang sedang merapikan rambutnya di hadapan cermin lemari.
Abi menggangguk mengiyakan yang kemudian berjalan keluar barak mengikuti yang lain yang sudah keluar duluan.
Dinginnya udara masih menyerang kulit mereka meski sinar cahaya matahari mulai menyinari semenjak dua jam yang lalu. Pandangan mata mereka sibuk menatap kiri dan kanan memperhatikan para napi-napi itu yang sudah dengan aktivitas mereka masing-masing dan kadangkala, pandangan mereka ke atas, melihat burung-burung yang berterbangan indah. Tidak lupa pula sesekali mereka melihat ke bawah, melihat jalanan yang sedang mereka tapaki.
Di antara tapakan langkah yang mereka tapaki, tidak ada satu suara yang terdengar dari mereka, namun di tengah-tengah perjalanan mereka, Will malah bersuara, bertanya “ini kita, jalan-jalannya kemana? Di luar atau di dalam?”
Lantas sembilan pasang mata itu menatap Will bingung.
“Aduuhhh Will kusayang,” memegang kepalanya sendiri “bila mengajukan pertanyaan setidaknya harus logis dong. Iya kita akan jalan-jalan keluar lah, nah ini, bagaimana ceritanya jalan-jalan ke dalam. Ke dalam mana sayang, dalam hatiku? Tidak mungkin. Aku masih normal,” ucap panjang kali lebar Sulaiman dan juga tangannya yang memperagakan tangannya bagaikan waria.
Pandangan mata mereka kini beralih pada Sulaiman semua.
“Apaan sih!” ucap Will, merapatkan kulit keningnya, menatap risih pada Sulaiman.
Anz tidak terlalu mempedulikan Sulaiman, jika sudah bermulut puitis tidak akan habis. Pandangan mata Anz sibuk menatap sekeliling dan tangannya tidak terlepas mengandeng tangan Albert.
Anz menaikkan sebelah alisnya memperhatikan antara napi laki-laki dan napi perempuan, tidak pernah bersama, duduk ataupun berkegiatan dengan sesama jenisnya, tidak pernah bercampur. Ah, laki-laki dan perempuan kan memang harus di pisah, batin Anz menegaskan namun insting Anz menyatakan lain, mereka bukan di pisah tapi terlihat memang seperti memisahkan diri, saling menatap bagaikan musuh.
Anz yang terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri tidak memperhatikan dimana sudah keberadaannya kini.
Bangunan dua lantai mereka masuki bersama, kedinginan cuaca tergantikan dengan kehangatan suhu ruangan. Meja panjang, menghadap pintu terlihat dengan tulisan yang tertera Administrasi. Sisi kiri dan kanan ruang terdapat kursi tunggu.
Suara decitan terdengar sekaligus dengan suara Anz yang berkata “aww,” memegang lutut dan melihat kursi panjang diperuntukan untuk tamu menunggu, sedikit telah berubah posisi.
“Guna mata hanya sebagai hiasan kepala,” celutuk Abi, melihat Anz sekilas.
Anz membalas melihat Abi, namun hanya sebentar dan langsung fokus pada rasa sakitnya itu.
“Sayang, sayang gak apa-apa?” Mendudukkan Anz pada kursi, berjongkok, menyingkap celana Anz sebatas lutut “merah sayang.”
“Gak apa-apa sayang, nanti juga sembuh sendiri,” tersenyum lembut.
“Wiwiwiwiwiwi,” Ucap Ainsley gak jelas, bibirnya ia gerakkan cepat dan bola matanya ia putar malas kala melihat kelakuan Albert dan Anz.
Seorang pria berkulit putih memakai seragam pdl lengkap atasan biru muda, bawahannya celana berwarna dongker dan dilengkapi sepatu bot, berjalan mendekati sambil memegang banyak tumpukan kertas melewati Anz dan rekan. Wajah mulus tanpa kumis ataupun brewokan itu, sedikit tersenyum melihat kejengkelan Ainsley. Lantas ia masuk ke dalam salah satu ruangan, menyimpan tumpukan kertas itu, setelahnya baru mendekati.
Pandangan mata laki-laki berseragam pdl itu, tertuju pada Ainsley yang berdiri, sibuk sendiri membaca tulisan yang tertulis di pamplet yang tertempel di dinding, dan juga tangannya yang ia lipat di depan dada.
“Kalian petugas baru dari negara Aljazar?” menunjuk.
“Iya,” jawab Albert langsung berdiri bersikap kembali selayaknya komandan dari rekan-rekannya itu.
“Perkenalkan nama saya Batsya Oran Ahmed ajudan kepala pimpinan Lapas ini,” mengulurkan tangan dan di sambut segera oleh Albert dan juga langsung memperkenalkan dirinya dan dilanjutkan perkenalan oleh yang lain.
Setelah perkenalan semua selesai dengan menampilkan raut wajah datar Ahmed berkata tegas “kalian semua ikuti saya.”
Meja bundar memanjang dengan di sandingkan dua puluh empat kursi, sisi kiri dan kanannya, masing-masing terdapat sebelas kursi dan bagian masing-masing pojok kepala meja terdapat satu dan satu kursi lagi.
“Silahkan duduk,” menutup dinding kaca dengan menarik gorden, mengunci pintu dan ikut serta duduk di salah satu kursi di bagian pojok kepala. “Bapak Luth Saldika Pram mengatakan kalian baru mulai dinas besok kan?”
Albert dan yang lain mengangguk mengiyakan.
Ahmed membuka laptop dan menyambungkan dengan layar infokus yang kemudian menjelaskan letak geografis dan sosiologis singkat di pulau Albrataz ini sampai empat puluh menit lebih. “Untuk lebih lengkapnya, kalian bisa melihat sendiri bagaimana kelakuan manusia di sini. Saya harap kalian tidak jantungan ya,” tersenyum singkat.
“Tugas dari saya pada kalian dimulai hari ini, kalian harus keliling keluar lapas, lihat sendiri keadaannya.” Berdiam diri sejenak, mengalihkan pandangan mata pada Anz “kamu,” menunjuk “kamu sangat cantik.”
Anz tidak menjawab, hanya melihat datar seperti kebiasaanya menatap orang kecuali pandangannya pada Albert. Sedangkan Albert, wajah datarnya sudah menunjukan kemerahan menahan amarah.
Ahmed hanya melirik sekilas Albert yang sudah menggepalkan tangannya, yang ia letakkan di atas meja, yang kemudian beralih pandangan matanya kembali pada Anz “hati-hati, jaga diri baik-baik.”
“Baik pak,” jawab Anz singkat.
“Dan kamu,” menunjuk Albert “kamu juga berhati-hati diantara kalian semua ini, kamulah yang paling tampan disini. Selanjutnya kamu,” menunjuk Abi “sikap dingin, cuek dan acuhmu akan melindungimu disini namun tidak dengan ketampananmu itu.”
Abi hanya melihat Ahmed datar tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya itu.
“Kalian berdua,” menunjuk Albert dan Anz “kalian kekasih?”
Anz tersenyum singkat dan mengangguk sedangkan Albert “iya,” menjawab tegas “dia kekasihku, calon ibu dari anak-anakku.
Repot, Jawabannya iya dan tidak, monolog Abi.
“Sekarang kalian mulailah bertugas, jalan-jalan keluar, hati-hati dan jaga diri. Dunia dalam lapas dengan dunia luar lapas sangat jauh berbeda. Ingat pesan saya, jaga diri baik-baik,” ulang ucap Ahmed yang kemudian langsung mengalihkan pandangan matanya menatap layar monitor laptobnya itu kembali, setelah sebelumnya melepaskan sambungan nirkabel layar infokus sedangkan Albert dan yang lain segera berdiri dari duduknya dan melangkahkan kaki keluar.