Pemahaman yang salah mengenai seorang anak, pada akhirnya akan membuat hati anak terluka, dan memilih jalannya sendiri untuk bahagia.
Bahkan parahnya, seorang anak harus merasa jika rumah yang ia tinggali, lama kelamaan berubah menjadi neraka baginya.
Seorang gadis bernama Mirelia, hidup di keluarga yang semuanya adalah seorang pengusaha meski bukan pengusaha yang sukses. Ayahnya memiliki beberapa toko bangunan yang lumayan terkenal, juga selalu mendapatkan omset yang jauh dari cukup. Ibunya adalah penjual kue kering online yamg juga sudah banyak memiliki langganan, bahkan ada beberapa selebriti yang memesan kue darinya. Kakaknya juga seorang gadis yang cantik, juga sangat membantu perkembangan toko sang Ayah.
Mirelia? Gadis itu hanya mengisi peran sebagai anak yang manja. Bahagiakah? Tidak! Dia ingin melakukan banyak hal yang bisa membuat orang tuanya bangga, tapi sialnya dia selalu saja gagal dalam meraih usahanya.
Suatu ketika, seorang pria datang dengan tujuan untuk dijodohkan dengan Mirelia, tapi masalahnya adalah, sang kakak nampak jatuh hati tanpa bisa disadari Mirelia lebih cepat.
Akankah laki-laki itu mengubah hidup Mirelia? Ataukah dia akan menjadi pasangan kakaknya?
Lalu, bagaimana Mirelia menemukan kebahagiannya? Bagaimana Mirelia bisa menunjukkan sesuatu yang mampu membuat orang tak lagi menganggapnya manja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dewi wahyuningsih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I Have to go!
" Mire, kau tahu bagaimana Ayah kan? "
Mire menatap manik mata Derel yang nampak kecewa dengan hal yang dia anggap membanggakan. Sedih? Mungkin itu masih ia rasakan, tapi yang lebih Mire rasakan saat ini adalah kekecewaan yang semakin dalam seolah tak mungkin lagi ada obat yang mampu menyembuhkan, dan bisa saja ini akan dia ingat seumur hidupnya.
" Aku hanya melukis, bukan mencuri, kenapa Ayah, Ibu dan kakak harus marah? "
" Bukankah melukis juga prestasi? " Drago bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Mire dan menyerahkan sebuah paper bag untuknya.
" Ibuku menyuruh memberikan ini untukmu. "
Mire menerima itu dengan wajah datarnya.
" Terimakasih. "
" Aku pergi dulu, ada hal yang harus aku kerjakan. "
Mire tersenyum miris.
" Kau pergi saat aku kembali? "
Drago mengeryit menatap Mire.
" Aku datang karena memang harus memberikan itu, karena kau sudah pulang, dan aku sudah memberikannya padamu, jadi aku harus apa lagi? "
Mire mengangguk dengan senyum kelu.
" Baik, aku sudah mengerti. "
Mire beranjak pergi meninggalkan Drago yang masih saja menatap bingung.
Apakah dia salah paham dengan sesuatu?
Mire meletakkan dengan hati-hati piala kemenangannya di sebelah piala pertama yang dia dapatkan sebelumnya. Sudah tidak ingin menangis lagi meski dia masih saja merasakan sedih dan kecewa. Benar, hatinya boleh saja merasakan semua itu, tapi hidup juga harus tetap berjalan. Berhenti mengasihani diri sendiri, majulah dan jangan takut bangkit meski banyak sekali rintangan.
Makan malam keluarga, biasanya akan sangat menyenangkan, tapi tidak dengan apa yang dirasakan Mire. Sungguh dia tidak tahu bagaimana perasaan Ayah, Ibu, dan juga kakaknya.
" Derel, Bagaiamana pekerjaanmu hari ini? " Tanya Ayah yang merasa meja makan terlalu hening.
" Semuanya lancar, Ayah. "
" Syukurlah, bagaimana dengan Ibu? "
" Masih seperti biasanya. "
Mire tersenyum miris dengan wajah yang menunduk menatap makanan dipiring nya. Tahu, Ayahnya lagi-lagi ingin menunjukkan bahwa tidak ada tempat dihatinya untuk Mire kalau tidak bisa mengikuti keinginannya.
" Oh, iya! Derel besok pagi-pagi bisa antar Ibu dulu tidak? Ibu harus berbelanja bahan-bahan kue yang sudah habis."
" Baik, Ibu. " Derel tersenyum lalu kembali menikmati makan malamnya.
" Mire, besok mau ikut Ibu juga tidak? " Ajak Ibu yang merasa sedih juga Mire tidak di anggap oleh Ayahnya sendiri.
" Tidak, bu. "
Ibu Ana memaksakan senyumnya, sebentar dia melihat lagi wajah Mire yang masih menunduk menganduk-aduk makanannya sedari tadi.
" Mire, perlu Ibu masak mie instan? Sepertinya kau tidak menyukai makanan malam ini ya? " Tanya Ibu.
" Suka kok, tidak udah repot-repot. " Ibu Ana sontak terdiam, rasanya sungguh tidak biasa dengan Mire yang sekarang ini hingga ia merasa hampa.
" Mire, uang mingguanmu nanti kakak transfer saja ya? Kakak sedang tidak pegang yang cash. " Ucap Derel seraya menjauhkan piringnya karena makanannya sudah habis.
" Berhentilah membuang-buang uang untuk hal tidak penting, kuliah dia kan Ayah yang bayar, mencari uang itu tidak mudah. Kalau dia mau uang, seharusnya dia tahu kalau harus bekerja. "
" Ayah! " Bentak Ibu Ana pelan.
Mire terdiam sebentar, menjauhkan piringnya yang masih saja utuh makanannya.
" Lusa aku akan berangkat ke Australia. "
" Apa?! " Derel menatap kaget, begitu juga dengan Ibu Ana dan Ayah Luan.
" Mire, apa yang kau bicarakan? " Ibu Ana bertanya dengan wajah kaget.
" Pergilah kalau kau mampu membayar ongkosnya, karena kami masih tidak sanggup membiayai permintaanmu itu. " Ujar sang Ayah dengan wajah acuhnya.
" Aku bukan meminta, tapi aku memberi tahu. "
Ibu Ana menggeleng tidak setuju.
" Mire, hanya karena kau marah mana boleh kau seperti ini?! Lupakan saja, nanti kalau kami sudah punya cukup uang, kita akan pergi kesana untuk berlibur. " Ibu Ana menatap Mire dengan tegas.
" Ibu, terimakasih untuk niat Ibu. Tapi aku pergi ke Australia untuk mengikuti kelas melukis yang aku dapatkan tiketnya dari kemenangan lomba. "
Ayah membanting sendok dan garpunya di atas piring dan membuat mereka semua kompak terkaget.
" Pergilah sana! Tapi jangan harap akan uang kepada kami. "
Mire menelan Salivanya sendiri, mencengkram kuat kedua lututnya sebelum kembali menyuarakan apa yang ada di pikirannya.
" Tidak apa-apa, Ayah. Aku bisa membiayai diriku sendiri. "
" Sekarang bisa bicara dengan mudahnya, lihat saja nanti kalau sudah sampai disana, kau pasti akan merengek setiap hari meminta kami mengirimkan uang. "
" Perlombaan melukis tingkat nasional aku memenangkan empat puluh dua juta, dari lomba kemarin aku mendapatkan dua puluh juta, dari sebelumnya aku sering di minta melukis wajah teman-teman di kampus, dan mereka membayar ku dua ratus sampai dengan tiga ratus ribu. Guruku juga sudah beberapa kali membeli lukisanku, aku juga menjual lukisanku yang aku titipkan di galery samping sekolah. Aku tidak tahu akan cukup atau tidak, tapi aku janji tidak akan menghubungi Ayah, Ibu, juga kakak apalagi meminta uang. Jadi jangan khawatir, aku akan membuat kalian damai, dan janjiku adalah satu, aku tidak akan kembali sampai aku benar-benar sukses. " Mire bangkit dari duduknya, menghela sebentar lalu berjalan meninggalkan Ayah, Ibu, dan kakaknya yang masih kebingungan di meja makan.
Ibu Ana menyeka air matanya, lalu bangkit dari duduknya.
" Ini adalah hasil dari sikap kejam mu, kau membuat Mire ku menjadi seperti ini, kau membuat dia memiliki tekat untuk hidup jauh dariku, jujur saja, aku hampa tanpa Mire yang manja dan selalu mengandalkan ku. Aku tidak tahu hasil apa yang sebenarnya kau harapkan, tapi selamat karena telah membuat putriku tidak lagi nyaman bersama keluarganya sendiri. " Ibu Ana berjalan meninggalkan Ayah Luan dan Derel yang terdiam karena masih tidak tahu dengan harus bagaimana sekarang ini.
Ibu Ana berdiri di depan pintu kamar Mire, sebenarnya dia juga paham bahwa dia juga bersalah karena ikut menentang apa yang diinginkan putrinya, dia pikir Mire akan mengerti seiring berjalannya waktu, tapi justru Mire semakin bertekad.
Tok Tok
Ibu Ana mengetuk pintu sebelum masuk ke dalam kamar Mire, lalu menggerakkan handle pintu, dan menunggu Mire membukakan pintu karena Mire mengunci pintunya dari dalam.
" Mire, tolong buka pintunya ya? "
" Ada apa, bu? "
" Boleh kita bicara sebentar? "
Mire terdiam sesaat, lalu membuka lebar-lebar pintunya agar Ibu Ana bisa masuk ke kamarnya. Sejenak Ibu Ana mematung melihat koper di atas tempat tidur yang sudah mulai diisi pakaian.
" Mire, kau sungguh akan berangkat? " Ibu Ana menatap Mire dengan tatapan tak rela.
" Iya, aku kan sudah bilang, bu. "
" Mire,bisakah tidak usah pergi? "
More yang tadinya ingin meraih baju untuk dia masukkan kedalam koper kini berhenti sesaat lalu menatap Ibunya.
" Maaf, Ibu. "
" Kau sungguh yakin? " Ibu Ana kini menahan tangis dengan mata yang tengah menatap Mire.
" Ibu, ketika Ayah, Ibu, juga Kakak mendorongku melakukan apa yang kalian katakan, aku tidak bisa merasakan kebahagiaan Ibu, tolong maafkan aku yang egois dan memilih untuk berada di jalanku yang aku yakini akan berakhir dengan bahagia. "
Bersambung
udh tau jln ceritanya,tapi tetep aja meweek,,sumpaah banjir air mata gue thor..aq tau gimna sakit ny mire,krn aq jg merasakan apa yg dia rasakan 😭