Suatu kesalahan besar telah membuat Kara terusir dari keluarga. Bersama bayi yang ia kandung, Kara dan kekasih menjalani hidup sulit menjadi sepasang suami istri baru di umur muda. Hidup sederhana, bahkan sulit dengan jiwa muda mereka membuat rumah tangga Kara goyah. Tidak ada yang bisa dilakukan, sebagai istri, Kara ingin kehidupan mereka naik derajat. Selama sepuluh tahun merantau di negeri tetangga, hidup yang diimpikan terwujud, tetapi pulangnya malah mendapat sebuah kejutan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miracle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penolakan Elno
Kara sudah memasukkan dua lamaran kerja di kafe dan minimarket. Ia berharap dari dua tempat, ada salah satunya yang bisa memperkerjakan dirinya.
Selagi menunggu wawancara, Kara berdiam diri di rumah. Kadang-kadang juga ia berkumpul bersama tetangga. Dari yang Kara tahu, ada beberapa ibu rumah tangga yang menjadi pembantu harian di rumah orang kaya. Kara tertarik untuk itu, tetapi Elno tidak mengizinkan.
"Sudah dapat kerja belum?" tanya Bu Warni.
"Belum, Bu. Lagi nunggu, nih," jawab Kara.
"Keponakan Ibu kerja di Hongkong. Lima tahun di sana sudah dapat bangun rumah dan beli tanah di kampung. Ini katanya mau beli mobil."
"Oh, ya, kerja apa memangnya?" tanya Kara.
"Jadi pengasuh orang tua. Kalau dapat majikan baik, hidup kita makmur. Keponakan Ibu enggak mau pulang saking betahnya," ucap Bu Warni.
"Caranya ke sana bagaimana?" Kara tertarik dengan obrolan ini.
"Ada yang bawa. Agen penyalur tenaga kerja. Kamu mau? Kebetulan nanti keponakan Ibu cuti pulang. Nanti Ibu kabarin gimana?"
"Jadi, Ibu mau balik ke kampung?"
"Besok rencananya," jawab Warni.
"Boleh, deh, Bu. Saya tanya-tanya dulu tentang kerjanya," kata Kara.
"Nanti Ibu kasih tau. Paling harus disiapkan paspor, visa. Oh, kalau kamu tau bahasa asing lebih hebat lagi."
"Kara mau, Bu. Kalau bahasa inggris, Kara jago."
"Iya. Ibu akan kasih tau kalau kamu tertarik buat ke luar negeri," ucap Warni.
Senyum Kara terbit ketika melihat Elno dari kejauhan. Ia pamit pulang kepada Warni dan menyambut kedatangan Elno.
Elno mematikan mesin motor dan membuka helm. "Asik ngobrol kayaknya."
Kara tersenyum. "Cuma ngobrol biasa."
"Aku bawain kamu es boba."
Elno menyerahkan satu kantong berisi dua gelas es boba cokelat. Kara senang hati menyambutnya. Suasana panas memang cocok menikmati minuman dingin.
Keduanya masuk rumah. Elno melepas tas ransel, lalu duduk di lantai. Begitu juga Kara yang mendaratkan tubuhnya di samping sang suami.
Elno meraih es boba cokelat dari tangan Kara, lalu menyeruputnya. Rasa dingin dan manis ia rasakan ketika air itu menjumpai indra perasa dan tenggorokannya.
"Sayang, aku ingin kerja di luar negeri," ucap Kara.
Elno terbatuk-batuk. Dengan cepat Kara mengusap punggung belakang suaminya. Elno seruput lagi minuman dinginnya, barulah ia tenang.
"Kamu bilang apa?" tanya Elno.
"Mau kerja di luar negeri," jawab Kara.
"Jauh amat. Mau kerja apa di sana?"
"Katanya jadi pengasuh orang tua. Gajinya gede, loh," ucap Kara.
"Kamu tau dari mana, sih? Tiba-tiba saja punya keinginan kerja di luar negeri."
"Keponakan bu Warni kerja di Hongkong. Dia sukses di sana. Bisa beli rumah, sawah, mobil di kampung. Aku mau juga gitu," tutur Kara.
"Jangan aneh-aneh, deh, Sayang. Masa kamu tega buat ninggalin aku. Hongkong itu jauh di sana. Aku enggak bisa mengantarmu dengan motorku," ucap Elno.
"Kalau aku kerja kita bisa buat rumah. Beli mobil, punya tabungan buat usaha nanti."
Elno menggaruk kepalanya. "Aku enggak izinin kamu. Nanti juga aku lulus kuliah bisa dapat kerja layak."
"Prosesnya lama, Sayang. Kalau langsung dapat kerja enak. Kamu harus melamar lagi terus mulai dari nol."
"Pokoknya aku enggak mau kamu keluar negeri. Aku enggak mau ditinggal sendiri. Titik!" ucap Elno, lalu bangkit dari duduknya dan melangkah ke kamar.
Kara mengembuskan napas panjang. Keinginannya untuk mengubah derajat rumah tangga gagal karena Elno tidak menyetujui rencana itu.
...****************...
Tiga minggu kemudian, bu Warni datang dari kampung dengan membawa sang keponakan. Kara tergiur melihat penampilan glamor dari wanita yang berumur dua puluh enam tahun. Kedua tangannya berderet gelang serta cincin emas.
"Kenalin keponakan Ibu. Namanya Susi. Kamu tanya-tanya tentang pekerjaan di sana," kata Warni.
"Iya, Bu," ucap Kara. Lalu, beralih kepada Susi. "Aku Kara." Sembari mengulurkan tangan.
Susi menyambut uluran tangan itu sembari tersenyum. "Susi. Kamu mau kerja di Hongkong jadi pengasuh? Biar aku bantu. Agen aku resmi. Jangan takut. Kalau ada apa-apa selama di sana, bisa minta tolong sama kedutaaan."
"Aku mau," ucap Kara, meski Elno melarang.
"Aku hubungi agen tenaga kerjanya. Kamu harus siapkan persyaratan, seperti KTP, kartu keluarga, surat izin suami, surat nikah, ijazah. Nanti nunggu lagi. Bukan langsung berangkat," kata Susi.
"Berapa lama?" tanya Kara.
"Setengah tahun. Nanti akan ada pelatihan lagi. Kalau kamu bagus belajarnya, pasti dapat kerjanya cepat," ucap Susi.
"Aku pandai bahasa inggris," kata Kara.
"Bagus itu. Lebih bagus lagi bahasa mandarin. Pokoknya tenang saja. Biasanya orang kaya di sana lebih mau sama pengasuh yang pandai bahasa asing."
"Aku mau," kata Kara. "Aku mau mengubah nasib keluarga. Bisa punya rumah, mobil sama tabungan."
"Aku juga betah. Nanti mau berangkat lagi. Majikanku baik di sana. Mau cari duit buat modal usaha sama pendidikan anakku," kata Susi.
Usai berbincang bersama Susi, Kara pulang. Ia tidak sabar menunggu kedatangan Elno dari kampus. Kara sudah memutuskan untuk bekerja di luar negeri.
Tidak lama, Elno pulang. Seperti biasa Kara menyambutnya dengan senyum. Tapi kali ini lebih lebar dan manis. Elno tahu pasti ada sesuatu yang membuat hati istrinya berbunga-bunga.
"Kamu kenapa?" tanya Elno.
"Keponakan bu Warni datang. Susi namanya. Penampilannya mewah, Sayang. Emas yang dia pakai banyak," kata Kara.
"Enggak takut dijambret, tuh?"
Kara tertawa. "Aku mikirnya begitu. Katanya, di rumah saja baru dipakai. Pas di jalan, disimpan."
"Terus? Kamu mau jadi seperti dia?"
"Izinin aku kerja. Aku bisa bantu kamu buat bayar uang kuliah. Kita bisa beli rumah, tabungan buat usaha. Agen penyalurnya juga resmi, kok," tutur Kara.
"Tega kamu! Jadi, aku ditinggalin sendiri? Berapa lama kamu di sana? Bukan sehari atau sebulan. Kita akan terpisah selama bertahun-tahun, Kara," ucap Elno, lalu melanjutkan. "Kamu enggak puas dengan hidupmu sekarang? Aku minta maaf karena enggak bisa kasih hidup yang layak buat kamu."
"Maksud aku baik. Aku ingin kita hidup dengan layak saja. Sampai kapan kita harus tinggal di rumah sewa ini? Aku juga enggak langsung berangkat. Menunggu lagi selama setengah tahun."
"Terserah kamu! Aku pusing berdebat masalah ini. Lama-lama aku enggak betah di rumah."
Kara melangkah masuk kamar dengan membanting pintu. Elno menghela napas panjang atas kelakuan istrinya. Mana mungkin Elno mengizinkan istrinya pergi merantau di negeri orang. Ia tidak ingin berpisah dari Kara. Sungguh Elno tidak sanggup.
"Sayang," seru Elno.
"Aku enggak mau ngomong," sahut Kara dari dalam kamar.
"Aku mau keluar. Mau dibawain makanan enggak?"
"Memangnya kamu punya duit? Uang listrik dan air saja belum dibayar."
"Ini mau dibayar. Aku bawaian ayam goreng mau?" tanya Elno membujuk.
"Aku mau yang ada di mal."
Elno menggaruk kepalanya. Ia menjejalkan tangan ke saku celana. Uang yang ada cuma cukup buat bayar tagihan rumah.
"Kalau uangnya cukup aku beliin," ucap Elno.
Bersambung
penuh makna
banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dari cerita ini.
sampai termehek-mehek bacanya
😭😭😭😭🥰🥰🥰
ya Tuhan.
sakitnya