Kesempatan kembali ke masa lalu membuat Reina ingin mengubah masa depannya yang menyedihkan.
Banyak hal baru yang berubah, hingga membuatnya merasakan hal tak terduga.
Mampukah Reina lari dari kematiannya lagi atau takdir menyedihkan itu tetap akan terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menerima
Selama perjalanan pulang, Harlan lebih banyak diam. Dia tahu Reina tak langsung menerima pernikahan mereka.
Hanya saja dia merasa aneh pada diri sendiri yang ingin sekali memiliki gadis itu.
"Tuan," pangil Lui memecahkan lamunan Harlan.
"Maafkan saya, jika terlalu lancang ikut campur. Hanya saja, apakah Anda benar-benar ingin menikah dengan Nona Reina?"
Dalam benak Lui, lelaki itu berpikir mungkin karena muak dengan perjodohan yang selalu ayahnya atur membuat sang atasan menikah dengan wanita secara random demi membuat ayahnya tak lagi sibuk mencarikannya jodoh.
Namun saat menyelidiki masa lalu Reina, ada perasaan tak tega di hatinya jika sang atasan hanya akan mempermainkan gadis baik itu.
Akan tetapi, siapalah dia, mau bagaimana pun buruknya rencana Harlan, dia hanya mampu mengikuti keiginan Harlan.
Harlan menyandarkan kepalanya sembari memejamkan mata.
"Atur semuanya dalam waktu satu minggu Lui. Pastikan dia menerima pernikahan ini!"
Lui mencengkeram kemudinya kencang, lalu menjawab, "baik Tuan." Harlan benar-benar mengabaikan pertanyaannya.
.
.
Reina sendiri kembali dengan tubuh lemas. Perutnya memang terisi penuh tapi ia tetap merasa tak bertenaga. Karena saat ini benaknya berkecamuk memikirkan ucapan Harlan.
Siapa orang disekitarku yang akan dia sakiti? Apa dia pikir Edwin adalah kekasihku? Kalau dia mau menghancurkan Edwin aku ngga perduli. Toh di kehidupan lalu bukankah Harlan akan menghabisi Edwin dan Elyana juga.
Saat pulang dia sudah di tunggu oleh keluarganya.
"Rei, bisa kita bicara sebentar?" pinta Hendro lembut.
"Apa yang kalian inginkan dariku? Apa kalian penasaran apa aku menolak atau menerimanya?" tanya Reina sinis.
"Apa kamu menolaknya? Kamu ingin kita dibinasakan oleh Harlan?" sela Laksmana cemas.
Reina tersenyum sinis, "kamu memang pembuat masalah!"
"Apa? Kau?" Laksmana sudah mengangkat tangannya unyuk menampar Reina, untung segera dihentikan oleh Hendro.
"Cukup Mana! Tidak bisa kah kita berbicara dengan tenang? Jangan menambah situasi makin buruk," baru saja menyelesaikan kalimatnya Vivian datang dan segera meringkus Laksmana, membuat lelaki itu mengaduh kesakitan.
Meski tubuhnya lebih besar dari pada Vivian, tapi karena Vivian merupakan mantan anggota militer terlatih, tentu melumpuhkan lelaki seperti Laksmana adalah hal mudah baginya.
"Hei, siapa kamu sialan! Lepaskan aku!" pekik Laksmana kesal karena dia dijatuhkan ke lantai.
"Sekali lagi kamu berniat menyakiti nona muda kami, maka ku pastikan kamu akan mengucapkan selamat tinggal pada kedua tanganmu!"
"Nona Vivian, bisakah lepasan anak saya. Maafkan saya, saya akan pastikan tak ada yang menyentuh Reina," bujuk Hendro.
"Lagi-lagi Anda hanya bisa membual Tuan Hendro. Harusnya sejak tadi Anda memberi peringatan pada seluruh penghuni rumah Anda siapa Nona Reina. Tapi apa yang Anda lakukan? Anda hanya bisa meminta maaf saat semuanya terlambat, membosankan!"
"Hei siapa kamu berani bicara kurang ajar pada ayahku—"
Vivian langsung meninju wajah Laksmana hingga lelaki itu mengeluarkan banyak darah dari mulutnya.
Suara memekik dari para wanita membuat suasana terasa makin tegang. Nyaringnya suara pukulan itu membuat ngeri siapa pun yang mendengarnya.
Entah berapa gigi Laksmana yang tanggal akibat pukulan Vivian.
Vino sebagai dokter bahkan merasa ngilu. Dia hanya bergeming karena tahu semua akan bertambah buruk jika mereka bertindak gegabah.
Laksmana terbatuk-batuk hingga akhirnya Vivian melepaskan pegangannya.
Reina hanya diam bergeming, meski merasa ngilu, tak urung dalam hati dia bersyukur, setidaknya ada yang bisa memberi pelajaran pada Laksmana agar tak berbuat kasar lagi padanya.
Entah aku harus bersyukur atau enggak karena perlakuan kamu ini Tuan Harlan. Aku bingung, menolakmu sama saja aku pun binasa. Menerimamu aku yakin aku juga binasa. Tapi apa mungkin tak akan seburuk itu?
Di masa lalu, istrimu berselingkuh dengan suamiku. Tapi di masa sekarang akulah istrimu, lalu kejadian seperti apa kalau memang aku akan mati ditanganmu?
Apa mungkin hal itu tak akan terjadi? Aku ngga punya pilihan. Apa aku harus mencoba menerima pernikahan aneh ini?
Hendro memilih diam meski batinnya terenyuh melihat kondisi putra sulungnya. Ternyata ancaman Vivian tidak main-main, dia membuktikannya saat ini.
Dia lantas berdehem untuk mencairkan suasana, lalu kembali menatap Reina.
"Jadi ... Bagaimana keputusanmu?"
"Menurut ayah? Ayah mengharapkan apa dari permintaan Harlan?" tanya Reina ambigu.
Dia ingin tahu bagaimana sang ayah berpikir tentang keputusannya. Apa pun jawaban sang ayah tentang keputusannya, maka dia akan memilih itu.
"Kamu menerimanya?" sebenarnya Hendro menebak asal saja sebab dia melihat jika Vivian dan beberapa pengawal masih mengikuti putrinya.
Padahal yang terjadi, Reina belum menjawab permintaan Harlan, karena memang dia tak punya pilihan bagus untuk hidupnya.
"Begitukah? Apa yang membuat ayah berpikir aku menerima pernikahan ini?"
Hendro menarik napas, dia tak berpikir putrinya dengan senang hati akan menolong mereka. Ia yakin Harlan telah memberitahu perjanjian mereka dan hal itu pastilah yang selama ini putrinya inginkan, apalagi kalau bukan keluar dari keluarga Angkasa.
"Bukankah kamu ingin sekali pergi dari sini? Dia membuat perjanjian pemutusan hubungan keluarga, bukankah itu seperti yang kamu inginkan selama ini?"
Reina terkejut saat mendengar penjelasan ayahnya, tapi setelahnya dia kembali memasang wajah datar.
Dia meminta perjanjian pemutusan hubungan keluarga? Apa dia bisa membaca pikiranku?
Hendro terdiam menelisik wajah sang putri. Reina sendiri tengah sibuk dengan pikirannya dan mengabaikan raut wajah tegang keluarganya.
"Bukankah kamu senang? Anak yang selalu kamu anggap pembawa sial ini setidaknya bisa berguna untuk menyelamatkanmu dan keluargamu," balas Reina sinis.
"Rei, bukan begitu, jangan berkata—"
Reina menghentikan ucapan sang ayah dengan mengangkat tangannya. Dia dapat menebak jika ayahnya setuju dengan perjanjian itu. Hatinya memang sedikit merasa sedih, tapi hanya sesaat, setelahnya hanya kehampaan yang dia rasakan.
Entah akan seperti apa masa depannya nanti, seperti nya inilah saat perubahan itu. Mungkin konsekuensi dari pilihan yang ia ambil.
Reina berbalik dari sana, dia sudah memberi keputusan atas permintaan Harlan. Meski ini adalah pernikahan simbiosis mutualisme tapi tetap saja dia pasti memberikan pernikahan resmi padanya.
"Cih, aku ngga tahu apa yang menguntungkan untuk Tuan Harlan jika dia menikah denganku," sungut Reina yang sengaja agar Vivian mendengarnya.
Reina kesal karena Vivian bersikap seolah tak mendengar ucapannya.
"Kamu ngga mau bicara?"
"Maaf Nona, saya tak berani ikut campur dengan masalah kehidupan atasan saya. Sekarang Nona istirahat, bukankah Nona sudah membuat keputusan? Besok kita akan keluar dari rumah ini—"
"Ke-keluar? Lalu aku akan tinggal di mana? Aku ini bekerja, bagaimana dengan pekerjaanku?" cecar Reina panik.
Vivian masih dengan wajah tegasnya menjawab, "Anda masih ingin bekerja? Anda itu calon istri Tuan Harlan Dewangga, bahkan jika Anda ingin hidup tenang di luar negeri pun Tuan Harlan pasti mampu mengabulkannya!"
Reina mencibir, biarpun Harlan mampu, tetap saja dia tak mau berdiam diri di rumah Harlan. Dia tetap ingin bekerja.
"Aku ngga mau, pokoknya aku tetap mau bekerja."
"Silakan Anda sampaikan sendiri permintaan Anda pada Tuan Harlan besok," putus Vivian.
"Bertemu dia lagi?"
.
.
.
Lanjut