NovelToon NovelToon
After The Fall

After The Fall

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: ARQ ween004

Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.

Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.

Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.

Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.

Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.

Dan dia adalah sosok itu...

Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

masa pemulihan

Tiga minggu telah berlalu sejak hari ketika Viora pertama kali membuka mata.

Musim hujan sudah berganti, namun aroma lembut antiseptik itu masih menempel di ingatannya — seperti bayangan samar yang menegaskan bahwa ia pernah berada di antara hidup dan mati.

Langit sore di atas atap Rumah Sakit Brawijaya tampak bersih, seolah baru saja dicuci hujan. Beberapa burung gereja hinggap di pagar balkon, berkicau ringan, mengisi udara dengan kehidupan yang lembut.

Viora duduk di kursi roda, selimut putih menutupi kakinya yang masih lemah. Rambutnya kini lebih pendek — dipotong oleh perawat — dan tubuhnya tampak lebih kurus. Namun di matanya, ada sesuatu yang baru: cahaya tekad yang pelan-pelan menggantikan ketakutan.

Claretta berdiri di belakang kursi roda, menatap putrinya dengan senyum yang hangat.

“Udara sore ini enak, kan?” tanyanya lembut.

Viora menoleh perlahan, menatap wajah ibunya yang setia mendampingi. “Iya, Ma… rasanya segar,” jawabnya pelan. “Aneh, ya. Kayak baru pertama kali ngerasain udara begini.”

Claretta tersenyum, matanya basah tapi penuh syukur.

“Kamu memang seperti baru lahir lagi, Sayang.”

Mereka terdiam sejenak, menikmati nyanyian burung dan bisikan angin yang mengelus rambut Viora.

Di bawah sana, beberapa pasien tampak berjalan pelan di halaman rumah sakit. Dunia terus bergerak — dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Viora benar-benar merasakan bahwa ia masih menjadi bagian dari dunia ini.

°°°

Keesokan harinya, dokter datang dengan senyum ramah.

“Hasil pemeriksaan terakhir bagus, Nona Viora. Tubuhmu merespons dengan sangat cepat. Minggu depan kamu sudah boleh pulang — tapi tetap kontrol rutin, ya?”

Claretta menatap suaminya, matanya berkilat lega, lalu beralih ke wajah putrinya. “Dengar itu, Sayang? Kamu bisa pulang…” ucapnya dengan suara bergetar.

Viora menunduk sedikit, senyum tipis muncul di bibirnya. “Pulang…” gumamnya pelan, seolah masih tak percaya bahwa kata itu kini miliknya lagi.

---

Hari kepulangan itu akhirnya tiba.

Rumah sakit terasa lebih ramai dari biasanya, tapi bagi keluarga Walker, hari itu adalah lembar baru kehidupan setelah hampa yang menyiksa.

Perawat sibuk menyiapkan berkas-berkas, sementara Zevan dan Zegra menunggu di lobi dengan wajah yang nyaris tak bisa menyembunyikan rasa bahagia.

Begitu pintu lift terbuka dan kursi roda Viora muncul, keduanya refleks berdiri.

“Lihat siapa yang akhirnya bisa keluar dari tempat itu,” ujar Zevan mencoba bercanda, walau suaranya terdengar serak.

Viora menatap salah satu kembarannya dan tersenyum lemah. “Kangen, ya?”

Zegra cepat mengusap ujung matanya, menutupi air mata yang hampir jatuh. “Ya iyalah, dasar. Rumah sepi banget tanpa celotehan lo tiap pagi.”

Tawa kecil pecah di antara mereka — tawa yang hangat, tapi terasa sedikit asing sekarang. Seolah mereka semua tahu, tak ada yang benar-benar sama lagi.

Mobil hitam keluarga Walker meluncur perlahan meninggalkan halaman rumah sakit.

Dari kursi belakang, Viora menatap pemandangan kota yang melintas di balik kaca jendela. Gedung-gedung tinggi, pepohonan, hingga sisa aroma hujan yang masih menggantung di udara — semuanya terasa baru, seakan dunia telah berubah bentuk tanpa menunggunya.

“Papa…” panggilnya pelan.

Leonard, yang menyetir di depan, menoleh sebentar. “Iya, Sayang?”

“Kalau aku… berubah, Papa takut nggak?”

Claretta menoleh cepat, menatap wajah anaknya yang masih pucat. “Berubah gimana maksudnya, Nak?”

Viora menatap keluar jendela lagi, suaranya nyaris seperti bisikan. “Entahlah. Kadang aku merasa bukan Viora yang dulu. Ada hal-hal yang pengen aku lupain… tapi juga ada hal-hal yang terasa terlalu jelas, padahal aku nggak tahu itu apa.”

Claretta menggenggam tangan putrinya dengan lembut. “Itu hal yang wajar, Sayang. Luka yang dalam butuh waktu buat sembuh. Ingatanmu nggak hilang — cuma belum pulih sepenuhnya.”

Leonard menambahkan pelan, “Yang penting, kamu tetap Viora kami. Itu nggak akan pernah berubah.”

Beberapa menit kemudian mobil berhenti di depan rumah, aroma melati dari taman depan langsung menyambut — harum, lembut, dan penuh kenangan.

Viora memandangi fasad rumah itu dengan mata yang bergetar halus. Rumah ini, yang selama berbulan-bulan hanya hadir dalam mimpi, kini kembali nyata di hadapannya.

Langkah pertamanya di ambang pintu terasa berat. Setiap sudut rumah seolah memanggil ingatannya.

Foto keluarga di dinding, piano kecil di ruang tamu, boneka kelinci lusuh di rak kaca — semuanya tampak akrab, namun ada yang berbeda.

Ada sesuatu yang hilang. Bagian dari dirinya yang terasa masih tertinggal di suatu tempat yang belum ia pahami.

°°°

Malam pun tiba...

Malam harinya, setelah semua tertidur, Viora duduk di balkon kamarnya. Angin malam menyapu lembut wajahnya. Di tangannya, tergenggam sapu tangan putih dengan bordir huruf R.

Ia tak tahu kenapa benda itu terasa penting — hanya tahu bahwa setiap kali melihatnya, dadanya terasa sesak.

Ia menatap langit, menarik napas dalam-dalam.

“Aku… pernah punya seseorang, ya?” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.

Pertanyaan itu melayang bersama angin, tak ada jawaban. Hanya rembulan yang menggantung tinggi di langit, seolah diam-diam menyimpan rahasia yang belum saatnya terungkap.

Angin malam terus berhembus pelan, membawa aroma melati dari taman depan. Viora masih duduk di balkon kamarnya, jemarinya memainkan sapu tangan putih dengan bordir huruf R di ujungnya — benda yang entah mengapa selalu membuat hatinya terasa berat.

Matanya menatap jauh ke arah langit, seakan mencoba menemukan sesuatu di antara cahaya bintang yang berpendar sayup. Di wajahnya, ketenangan itu seperti tirai tipis yang menyembunyikan ribuan tanya.

Ia tak menyadari bahwa di bawah sana — di balik bayang pepohonan dan pagar rumah yang berlapis besi hitam — ada seseorang yang memperhatikannya diam-diam.

Sosok itu berdiri bersandar di sisi tembok, mengenakan hoodie hitam dengan tudung yang menutupi sebagian wajahnya. Dari kejauhan, hanya sinar redup lampu jalan yang menyingkap sedikit rahangnya yang tegas, serta mata tajam yang menatap ke arah balkon dengan tatapan yang sulit diartikan.

Beberapa detik ia hanya berdiri, membiarkan pandangannya terhenti pada sosok gadis itu — yang kini hidup kembali di bawah cahaya bulan.

Udara dingin malam berembus di antara mereka, namun di matanya ada hangat yang lama tak muncul.

Perlahan, bibirnya terangkat membentuk senyum tipis — senyum lega yang menahan seribu emosi yang tak sempat terucap.

“Terimakasih udah bertahan...” Gumamnya pelan, hampir tak terdengar.

Ia mengepalkan tangan di saku Hoodie nya, seperti berusaha menenangkan sesuatu yang bergemuruh di dadanya. Sorot matanya yang tajam berubah lembut sesaat, menatap wajah pucat Viora yang diterpa sinar bulan.

Selama berminggu-minggu ia hanya bisa mendengar dan memperhatikan dari kejauhan — tentang gadis yang terbaring di ranjang, antara hidup dan mati.

Dan malam ini, melihatnya duduk kembali di balkon, menghirup udara malam seperti dulu… itu sudah lebih dari cukup.

Ia menunduk sejenak, napasnya membentuk kabut tipis di udara dingin.

“sekali lagi... Makasih karena bertahan,” ucapnya lirih — lalu melangkah mundur, perlahan, menembus kegelapan yang menelan sosoknya begitu saja.

Namun sebelum benar-benar pergi, ia sempat menatap sekali lagi ke arah balkon. Tatapan yang penuh rindu dan kelegaan. Tatapan seseorang yang sudah terlalu lama bersembunyi di antara bayangan.

Dari atas, Viora masih menatap langit, tak menyadari bahwa ada mata yang barusan menjaga nya dengan begitu diam dan tulus.

***

1
Mar lina
pasti Agler
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
Mar lina
siapa ya
sosok misterius itu???
Mar lina
bener Rafka ada main sama sahabat Viola
lanjut thor
Yunita Aristya
kok aku merasa friska ada main sama rafka🤭
ARQ ween004
Aku update tiap hari jam delapan ya! makasih yang udah mampir 🫶 tinggalkan jejak kalian di kolom komentar sini ya! biar aku tambah semangat nulisnya, hhe...

love u sekebon buat para readers ku🫶🫶
Madie 66
Aku jadi bisa melupakan masalah sehari-hari setelah baca cerita ini, terima kasih author!
ARQ ween004: makasih kembali, makasih udah baca cerita ku dan aku juga senang kalau kalian suka🫶🫶
total 1 replies
Carlos Vazquez Hernandez
Dapat pelajaran berharga. 🧐
Kelestine Santoso
Menguras air mata
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!