Anton selalu pulang dengan senyum hangat, perhatian yang tak berubah, dan alasan pekerjaan yang terdengar sangat wajar. Terlalu wajar, hingga Nayla tak pernah merasa perlu meragukannya.
Namun ketika satu demi satu kejanggalan kecil muncul, Nayla mulai dihadapkan pada kenyataan pahit. Pengkhianatan tak selalu datang dari sikap yang dingin, melainkan dari kehangatan yang dijaga dengan terlalu rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caracaramel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB - 1
Aroma roti panggang memenuhi dapur pagi itu, bercampur dengan wangi kopi yang baru diseduh. Cahaya matahari masuk lewat jendela besar, memantul pada meja makan kayu yang penuh dengan piring-piring kecil yang tertata rapi. Di rumah itu, pagi selalu seperti ritual kecil. Hangat, rapi, serba sederhana, namun terasa penuh.
Nayla sedang menuang jus jeruk ke gelas ketika suara langkah kaki menuruni tangga terdengar.
“Pagi, Mama cantikku,” suara Anton muncul lebih dulu daripada orangnya.
Nayla menoleh, tersenyum lebar. Suaminya muncul dengan rambut yang masih sedikit basah, kemeja putih digulung rapi, dan ekspresi segar yang selalu membuat rumah itu terasa lebih hidup.
“Pagi juga, Pak Tambang,” jawab Nayla sambil menyodorkan gelas jus. Kebetulan Anton adalah bos di salah satu perusahaan tambang besar di kota mereka. “Kalau kamu telat lagi, Dea bisa ngamuk.”
Anton tertawa kecil. “Aku tak pernah telat untuk dua perempuan favoritku.”
Seolah dipanggil, Dea muncul dari tangga, merapikan rambutnya yang ditata setengah naik. Seragam SMA-nya tampak rapi, dan wajahnya penuh energi seperti biasa.
“Mama, roti kejunya ada, kan?” tanya Dea sambil memutar badan, mencari aroma kesukaannya.
“Di sana.” Nayla menunjuk piring di meja. “Kamu pikir Mama bakal lupa makanan favorit anak semata wayang Mama?”
Dea tersenyum lebar. “Mama memang terbaik.”
Anton menepuk bahu putrinya. “Dan Papa paling tampan kan?”
Dea mendengus. “Ah, Pa. Papa tuh suka banget minta dipuji.”
“Biar semangat kerja,” jawab Anton sambil duduk.
“Tuh,” Nayla ikut bercanda, “Papa butuh pujian untuk produktivitasnya.”
Anton mengangkat alis. “Aku produktif kok tanpa pujian juga.”
Dea langsung memotong cepat, “Ma, Pa, kalian cekikikan mulu. Ingat ya, aku remaja SMA, reputasi harus dijaga. Jangan sampai teman-teman dengar orang tuaku masih romantis begini.”
“Hah? Ini belum romantis,” jawab Anton sambil meraih tangan Nayla, menciumnya pelan. “Kalau romantis itu…”
“PA!” Dea menutup wajah. “Stop, please! Mental breakdown pagi-pagi.”
Tawa mereka pecah bersamaan. Ruang makan itu terasa hangat, seperti sesuatu yang tak mungkin hancur.
****
Setelah tawa mereda, mereka mulai sarapan dengan lebih tenang.
“Aku ada ulangan fisika hari ini,” kata Dea sambil mengunyah roti. “Tapi sebelum itu, aku harus ketemu Vina dulu buat bahas proyek kelompok.”
“Oh ya? Gimana kerja kelompok kalian? Cocok sama teman-temannya?” tanya Nayla.
“Cocok! Vina asyik. Mama Vina juga baik banget waktu acara pentas musik kemarin, kan, Pa?” ujar Dea sambil memandang ayahnya.
Anton mengangguk. “Iya, Bu Lestari itu ramah sekali. Waktu itu kita ngobrol soal kerjaan sebentar.”
Nayla menimpali, “Dan dia suka bawa kue-kue itu, kan? Yang bolu pandan?”
“Iya!” Dea mengacungkan garpunya. “Bolu pandannya enak banget.”
Anton tertawa. “Jangan-jangan kamu mau pilih teman hanya karena dapet bolu enak.”
Dea menjulurkan lidah. “Namanya juga usaha memperbaiki kenyamanan hidup.”
Kembali mereka tertawa bersama. Tidak ada nada aneh, tidak ada gelombang curiga yang lewat. Semuanya begitu biasa. Begitu normal. Begitu harmonis.
***
Selesai sarapan, Anton berdiri, mengambil jasnya. “Nay, nanti aku pulang agak malam ya,” katanya sambil merapikan kerah. “Ada rapat dengan tim eksplorasi baru. Kayaknya bakal panjang.”
Nayla mengangguk. “Iya, nggak apa-apa. Hati-hati. Dan, jangan lupa makan malam meski di kantor.”
“Aku janji.” Anton mengecup kening istrinya sebentar. “Kamu jaga diri juga.”
Dea yang memperhatikan mereka dari dekat pintu memutar mata. “Mama, Papa, tolong ya! Save your romance for anniversary nanti.”
Anton menjahili putrinya dengan mengacak rambutnya. “Biarin. Biar Papa kelihatan keren.”
“Keren di mana?” Dea mengelak sambil merapikan rambut lagi. “Nanti Papa yang telat antar aku.”
“Oh iya!” Anton menepuk dahi. “Ayo, nona cantik. Kalau sampai kamu telat, Papa harus berurusan sama guru BP.”
“Guru BP juga suka sama Papa. Mereka sering bilang Papa itu...”
“Dea,” Nayla menahan tawa. “Ayo pergi. Jangan bikin Papa besar kepala.”
Anton pura-pura tersinggung. “Aku merasa dicurangi di rumah ini.”
“Kami cuma menjaga ritme ego Papa,” sahut Dea cepat.
Ia meraih ranselnya, lalu mencium pipi Nayla. “Bye, Ma. Love you.”
“Love you too,” jawab Nayla.
Anton mendekati istrinya, memeluknya sebentar. “Sampai nanti.”
Nayla membalas pelukannya, hangat dan penuh percaya. “Sampai nanti.”
****
Mobil hitam itu perlahan keluar dari garasi. Dea melambaikan tangan dari jendela. Anton menurunkan kaca, “Nay, nanti aku kabarin kalau rapat selesai!”
“Iya!” Nayla membalas lambaian mereka sambil tersenyum.
Mobil itu melaju pergi, meninggalkan jejak cahaya pagi yang memantul dari bodinya.
Nayla berdiri cukup lama di depan pagar.
Anton dan Dea akhirnya menghilang di tikungan jalan kompleks. Nayla masih berdiri di depan pagar beberapa detik sebelum akhirnya masuk kembali ke rumah.
Nayla membereskan meja makan sambil bersenandung kecil, kebiasaan yang muncul hanya ketika hatinya ringan. Suasana dapur masih menyimpan sisa tawa mereka tadi, membuat rumah itu terasa hangat bahkan setelah dua penghuninya pergi.
Nayla merapikan piring, menutup botol selai, lalu menatap ke luar jendela. Matahari naik perlahan, mengisi ruang itu dengan cahaya lembut.
Ketika dia sedang mencuci piring, ponselnya berbunyi.
Dea:
Ma, aku lupa. Mama nanti bisa cek buku tugas kimia di kamar aku? Aku kayaknya naruhnya sembarangan.
Nayla tersenyum membaca pesan itu.
Nayla:
Bisa, nanti Mama cari. Fokus sekolah dulu.
Tidak butuh waktu lama sebelum balasan datang.
Dea:
Okieeee Love u Ma ❤️
Nayla menggeleng kecil. “Anak itu, kalau sama aku manisnya kebangetan,” gumamnya sendiri sambil tertawa.
****
Setelah membereskan dapur, Nayla menyiram tanaman di teras belakang. Pekarangan itu adalah ruang pelariannya. Anton dulu yang menyiapkannya, membangun kotak tanam kayu dan menanamkan bunga-bunga pertama bersama Nayla saat baru pindah ke rumah ini. Mereka pernah bercanda bahwa bunga-bunga itu tumbuh jauh lebih cepat daripada mereka menghadapi masalah hidup. Tapi kenyataannya, hidup mereka berjalan mulus-mulus saja.
Tidak pernah ada pertengkaran besar, tidak pernah ada drama yang membuat mereka harus saling menjauh. Perbedaan kecil ada, tapi tidak cukup berarti untuk diceritakan.
Saat dia sedang menyiram tanaman, ponselnya kembali berdering, kali ini panggilan.
“Assalamualaikum,” jawab Nayla setelah mengangkat.
“Waalaikumsalam,” suara di ujung sana terdengar ceria. Itu suara Rani, sahabatnya sejak kuliah. “Bu Nyai rumah tangga, lagi ngapain?”
“Nyiram tanaman.”
“Pantas nada suaramu tenang banget. Kamu tuh kalau sudah nyentuh tanaman kayak masuk dunia lain.”
Nayla tertawa. “Bilang aja kamu iri.”
“Ya jelas! Aku kalau nyiram tanaman, yang mati duluan justru tanamannya.”
“Kamu yang salah bukan tanamannya.”
“Eh iya, ngomong-ngomong, kamu sempat ketemu Anton sebelum dia berangkat?”
“Iya, seperti biasa. Kenapa?”
“Aku lihat mobil dia tadi lewat pas aku mau keluar kompleks. Mereka kelihatan ceria banget. Dea sampai ketawa-ketawa segala.”
Nayla mengangguk meski Rani tidak bisa melihat. “Iya, pagi ini lumayan rame.”
“Bagus lah. Biar aku nggak khawatir temanku ini kesepian.”
Nayla menahan senyum. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
“Bagus kalau begitu. Eh, nanti sore free kan? Aku mau mampir bentar. Ada yang mau aku ceritain.”
“Cerita atau gosip?”
“Rahasia,” suara Rani dibuat-buat misterius. “Pokoknya penting.”
“Oke, aku tunggu.”
Mereka menutup panggilan.
Nayla menaruh gembor dan membersihkan tangan dari tanah. Panggilan singkat seperti itu saja sudah cukup membuat paginya terasa lebih penuh.