Arkan, seorang pria kaya dan berkuasa dengan kepribadian yang dingin dan suka mengontrol orang lain, terjebak dalam permainan cinta dengan Aisyah, seorang wanita muda yang cantik dan berani. Aisyah memiliki tujuan tertentu untuk Arkan, dan ia akan melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya.
Arkan memiliki rencana untuk Aisyah, tetapi seiring berjalannya waktu, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda terhadap Aisyah. Ia mulai mempertanyakan perasaan dirinya sendiri dan mencoba untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di dalam hatinya.
Aisyah sendiri juga memiliki rahasia yang tidak diketahui oleh Arkan. Ia memiliki tujuan untuk membalas dendam kepada orang yang telah menyakiti keluarganya, dan Arkan menjadi bagian dari rencananya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhamad Wirdan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
36
Pintu ruang Arkan kembali digedor dari luar, kali ini lebih keras—seakan seseorang memaksa masuk tanpa peduli etika atau keamanan kantor.
DUKK! DUKK!
Arkan memandang pintu itu dengan napas tertahan, namun Darin justru melangkah mundur selangkah, matanya tajam memantau arah suara tersebut.
“Ini tidak baik…” gumam Darin.
Arkan mengepalkan tangan. “Siapa yang ada di luar sana? Apa mereka yang kau maksud?”
Darin tidak menjawab. Ia hanya memberi isyarat agar Arkan menjauh dari pintu.
Suara napas berat terdengar dari balik pintu, disusul suara seseorang mencoba memutar gagang pintu dengan paksa.
“Pak Arkan! Bapak di dalam?!” suara sekretarisnya terdengar gugup, napasnya terengah-engah.
“T-Tolong buka—orang ini… dia… dia memaksa—”
“BUKA PINTUNYA!”
Suara berat itu terdengar begitu kuat hingga membuat Arkan merinding. Pintu berguncang keras.
Arkan berbalik ke arah Darin. “Kita harus bantu sekretaris saya. Dia dalam—”
“Tidak.” Darin menahan lengannya. Pegangannya kuat, sangat kuat untuk seseorang yang tampak begitu tenang.
“Kau tidak mengerti. Orang itu bukan datang untuk sekretarismu. Dia datang untuk kamu.”
Pintu kembali ditendang.
BRAK!
Kali ini lebih kuat, lebih dekat untuk jebol.
Arkan menelan ludah. “Kalau begitu kita tidak bisa terus di sini.”
Darin mengangguk cepat. “Benar. Ada pintu belakang di ruangan ini, bukan?”
Arkan menoleh ke sisi ruangannya—ke pintu kecil yang jarang dipakai.
“Ya. Untuk akses darurat.”
“Bagus. Kita keluar lewat sana.”
Tanpa menunggu, Darin menarik Arkan menuju pintu kecil itu. Namun sebelum Arkan sempat membuka kunci pintu darurat tersebut, sebuah suara menggelegar dari depan.
DOORRRR!
Pintu utama akhirnya terbuka paksa. Sekretaris Arkan menjerit kecil, terdorong ke samping. Seorang pria besar berjaket gelap muncul, wajahnya tertutup sebagian oleh masker hitam. Sorot matanya liar, tajam… dan tidak asing.
Arkan menegang.
“Aku mengenal mata itu…” gumamnya tanpa sadar.
Darin menoleh cepat. “Jangan tatap dia terlalu lama.”
Pria besar itu melangkah masuk, tubuhnya memenuhi ambang pintu.
Tidak ada basa-basi.
Tidak ada salam.
Hanya tatapan penuh amarah yang tertuju langsung pada Arkan.
“Arkan Pradipta…”
Suaranya rendah, berat, dan penuh kebencian.
Arkan merinding.
“…kau akhirnya muncul.”
Arkan hanya sempat menahan napas ketika Darin bergerak cepat, berdiri di depan Arkan seperti tameng.
“Waktunya habis,” kata Darin tajam. “Kita pergi. Sekarang.”
Pria besar itu melangkah ke depan, menghampiri mereka dengan kecepatan yang mengejutkan tubuh sebesar itu.
Tanpa menunggu lebih lama, Darin meraih gagang pintu darurat dan mendorongnya hingga terbuka.
“Arkan, keluar!” serunya.
Arkan ragu sepersekian detik—sebelum pria besar itu menggeram dan melangkah lebih cepat.
Arkan akhirnya berlari keluar.
Darin menutup pintu itu separuh, menghadang pria besar itu, lalu berteriak:
“Arkan! Untuk melindungi Aisya—JANGAN TUNGGU AKU!”
Arkan terdiam sesaat, hatinya mencelos.
Suara benturan keras terdengar dari balik pintu.
BRUGHH!
DUKKK!
Darin sedang menahan pria besar itu sendirian.
Arkan menegang, ingin kembali, namun langkah kakinya justru membeku di tempat.
“Darin…!”
“PERGI!” teriak Darin dari balik pintu. “Jika mereka menangkapmu, Aisya tidak akan pernah aman!”
Tenggorokan Arkan terasa panas, seperti menelan bara.
Ia menatap koridor sempit di depan—jalan menuju tangga darurat.
Di balik pintu, suara benturan semakin keras.
Seseorang berteriak marah.
Seseorang mengerang.
Arkan memejamkan mata sedetik.
Lalu ia berlari.
Ia tidak tahu ke mana Darin ingin membawanya.
Ia tidak tahu siapa pria besar tadi.
Ia tidak tahu siapa “mereka”.
Tapi satu hal ia tahu:
Aisya dalam bahaya. Dan ia akan melakukan apa pun untuk melindunginya.
Arkan menuruni tangga darurat dengan napas terengah-engah, namun pikirannya hanya tertuju pada satu hal:
Aisya harus aman. Apapun harganya
ARkan berlari menuruni tangga darurat, namun langkahnya terasa berat—seolah setiap anak tangga menahan kakinya, memaksanya menoleh kembali ke arah Darin yang masih berada di dalam.
Suara benturan keras masih terdengar samar dari balik pintu ruangannya.
BRUGHH!
DUK!
KRAKK!
Masing-masing bunyi itu membuat jantung Arkan mencelos.
Darin sendirian menghadapi pria besar itu… pria yang tatapannya terasa begitu familiar, namun Arkan tidak tahu dari mana.
Arkan menghentikan langkahnya di tengah tangga.
Ia menarik napas dalam-dalam, menempelkan punggungnya ke dinding dingin.
"Aku harus kembali. Aku nggak bisa membiarkan Darin sendirian…"
Namun begitu ia hendak naik kembali, suara Darin menggema dari jauh—seakan menembus dinding beton.
“ARKAN! JANGAN KEMBALI! INI PERINTAH!”
Suara itu begitu keras dan tegas hingga menghentikan kaki Arkan.
Ia mengetatkan rahangnya.
“Apa maksudmu perintah…” Arkan berbisik pada dirinya sendiri. “Siapa kau sebenarnya, Darin?”
Suara benturan kembali terdengar, kali ini lebih dekat.
BRUGHH!!
Arkan tersentak.
Tiba-tiba seseorang mendorong pintu darurat dari lantai di atasnya—pintu itu terguncang, membuat Arkan menatap ke atas dengan mata membesar.
TAP… TAP… TAP…
Suara langkah kaki.
Bukan suara Darin.
Karena langkahnya berat. Kasar. Tidak berusaha sembunyi.
Arkan menelan ludah.
"Dia mengejar aku."
Arkan menoleh cepat ke bawah. Tangga masih panjang, tapi ia tidak punya pilihan.
Ia kembali berlari, kali ini lebih cepat, hampir melompat dua anak tangga sekaligus. Napasnya tersengal, tapi adrenalin memaksanya untuk terus bergerak.
Di belakangnya—
BRAK!
Pintu darurat didobrak dari lantai atas.
Suara derap langkah itu mulai turun.
Semakin dekat.
Arkan mempercepat langkahnya.
Ketika ia hampir mencapai pintu lantai bawah, ponselnya tiba-tiba bergetar di saku. Arkan mengabaikannya. Namun ketika ia meraih pintu bawah tangga—
Ponsel kembali bergetar.
Kali ini lebih lama.
Dengan rasa takut, Arkan merogohnya sambil tetap berjaga.
Layar ponsel menyala.
Aisya menelepon.
Arkan tertegun, dadanya seperti diremas.
“Aisya… sekarang? Kenapa dia menelepon sekarang?”
Ia mengangkat telepon itu dengan tangan gemetar.
“A–Aisya? Kamu di mana? Kamu aman?!”
Suara Aisya terdengar… tetapi bukan suara lembutnya yang biasa.
Terdengar gemetar. Panik. Ketakutan.
“Arkan… Arkan… jangan pulang.”
Darah Arkan seperti membeku.
“Apa? Kenapa?! Aisya, apa yang terjadi?!”
Suara Aisya pecah.
“Arkan… mereka sudah di sini…”
Arkan hampir menjatuhkan ponselnya.
“APA?! Siapa yang di sana?! Aisya, bicara!!”
Suara benturan terdengar dari ujung telepon.
Suara barang pecah.
Suara seseorang berteriak marah.
Aisya menjerit kecil.
“Arkan—lari! Jangan biarkan mereka menangkap—”
Telepon langsung terputus.
Arkan terpaku.
Dia menatap layar ponsel yang tak lagi menunjukkan panggilan aktif.
Napasnya tercekat.
Matanya memanas.
Pikirannya langsung kacau.
“Aisya… Aisya dalam bahaya…? Mereka sudah di rumah…?”
Dan sebelum Arkan sempat memutuskan langkah apa berikutnya—
TUGGG!
Seseorang melompat dari lantai atas tangga, mendarat keras di lantai beberapa anak tangga di atas Arkan.
Arkan menatapnya sambil mundur perlahan.
Pria besar itu.
Yang tadi mencoba menerobos ruangannya.
Matanya menyala penuh amarah.
Ia tersenyum miring dari balik masker.
“Ketemu juga,” katanya sambil turun selangkah demi selangkah.
Arkan mundur.
Pria itu menunduk sedikit, seperti predator yang siap menerkam.
“Sudah waktunya kau ikut kami, Arkan.”
Arkan memandang pintu di belakangnya.
Jaraknya hanya beberapa meter.
Dia harus memilih.
Kabur… atau bertarung.