“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mh 7
Bab7
Mahira menarik napas, memejamkan mata, berusaha mengingat.
“Hubungan gue baik-baik saja, dia nggak pernah bikin masalah sama gue. Ya, walau satu tahun ini memang kami jarang ketemu. Padahal sebelumnya hampir tiap minggu kami ketemu. Dia dewasa, pengertian, selalu membimbing gue. Dia selalu jadi penengah kalau gue bertengkar sama Bapak,” ujar Mahira.
“Lu kalau ketemu Rangga ngapain aja?” tanya Doni penasaran.
“Ya nggak ngapa-ngapain lah. Ketemu, ngobrol, curhat tentang Bokap, Mak Lampir, dan sepupu-sepupu gue yang udah mulai menjauh.”
“Terus?” desak Doni.
“Ya habis ngobrol, makan. Kadang jalan di taman, ke gunung, belanja.”
“Pernah ke hotel?”
Mahira langsung menoleh tajam ke arah Doni. “Pikiran lu itu mesum ya. Gue ini walau pacaran tetap tahu batasan.”
“Oh. Ciuman pernah?”
“Nggak,” sahut Mahira ketus.
“Pelukan pernah?”
“Nggak pernah.”
“Pegangan tangan?”
“Ya jarang sih. Itu juga dia ngambek dulu, baru gue mau,” jawab Mahira.
“Berapa lama lu pacaran?”
“Lima tahun.”
“Gila, lu pacaran lima tahun, nggak pernah making love, ciuman, jarang pegangan tangan,” ujar Doni tak percaya.
Mahira mendelik. “Gue selalu menjaga nasihat Ibu gue supaya tetap bisa jaga kehormatan. Lu kira kalau melakukan perzinahan siapa yang paling rugi? Yang paling rugi itu perempuan. Masyarakat nggak pernah mau tahu penyebab perempuan hamil duluan. Mereka langsung ngejudge perempuan itu nggak bener, dikucilkan masyarakat, keluarga malu. Makanya gue selalu jaga hal itu.”
“Oh, pantes saja.”
“Apanya yang pantes?” tanya Mahira curiga.
“Ya pantes saja lu nggak dibela sama si Rangga. Gue sih curiga kalau Rangga juga ada hubungan sama adik lu itu.”
“Rangga pernah minta tidur bareng sama lu?”
“Nggak pernah sih, tapi pernah ngajak nginep di hotel. Tapi gue tolak.”
“Pernah minta ciuman?”
“Pernah, dan sering, dan selalu gue tolak.”
“Lu pernah lihat Rangga sama adik lu jalan bareng?”
“Pernah sih. Gue pernah pergoki mereka berdua di mobil, tapi gue nggak curiga sama sekali.”
“Nah. Ada kebutuhan lelaki yang bisa dipenuhi sama adik lu dan lu nggak bisa kasih ke Rangga. Lu baik, pinter, mandiri. Tapi lu nggak bisa muasin hasrat lelaki. Nah, kalau lelaki setia, dia bakal milih nunggu dan mempercepat nikah biar halal. Kalau lelaki nggak bener, tujuan pacaran itu ya tidur bareng satu kasur. Kalau nggak tidur satu kasur, ngapain coba ketemuan, jalan, nonton, padahal dia bisa nongkrong sama temen-temennya? Nah, kalau pacaran nggak tidur satu kasur, rugi dong.”
Kepala Doni langsung ditoyor Mahira.
“Pasti lu kayak gitu, ya? Pikiran lu isinya pasti bujur dan kasur,” omel Mahira. “Mesum lu.”
“Gue terlalu sibuk kerja. Gue nggak pernah pacaran. Sekali pacaran, dia nikah sama orang,” balas Doni lirih.
Terdengar gema selawat dari masjid.
“Astaga, sudah mau Subuh,” gumam Mahira.
“Iya, udah Subuh aja, ya. Sebenarnya lu mau ke mana sih?” tanya Doni.
“Gue mau cari kontrakan.”
Doni menepuk jidat. “Kenapa nggak bilang, Nona. Kalau kontrakan mah, gue juga ngontrak nggak jauh dari sini.”
Mahira mendengus. “Kenapa lu nggak bilang sih? Kalau bilang, kan kita nggak nginep di pos ronda. Mana mau digerebek warga lagi.”
“Ya, lagian lu nggak bilang juga.”
“Lu yang nggak nanya, Mahira Purnamasari?”
“Lu nggak bilang sama gue kalau lu tinggal di kontrakan, Doni,” sahut Mahira kesal.
Suasana mendadak hening. Keduanya cemberut sambil menyilangkan tangan di dada.
“Gue kan perempuan, harusnya dia ngerti dong,” gerutu Mahira dalam hati.
“Dari tadi gue coba ngertiin, tapi disalahin terus. Kesel gue,” umpat Doni dalam hati.
“Terus sekarang gimana?” ucap mereka kompak.
“Cih, niruin aja,” sindir Mahira.
Doni bangkit dan meraih ranselnya. “Ayo ke kontrakan gue.”
Mahira, meski masih cemberut, akhirnya ikut berdiri.
Angin Subuh menusuk kulit, terasa dingin. Suara orang berselawat terdengar dari masjid. Embun pagi mulai turun, dan tiap hembusan napas berubah menjadi asap tipis.
Mahira berjalan sambil menggigil.
Doni spontan meraih tangan Mahira. “Peluk tangan gue,” perintahnya.
“Gak mau,” tolak Mahira sambil menghentakkan tangannya.
“Yaelah, kita ini nggak lagi pacaran kali. Kita udah sah. Lu kalau bersentuhan sama gue, dosa-dosa lu bisa rontok. Daripada lu kedinginan,” oceh Doni.
Mahira semakin menggigil. Akhirnya, dengan tangan gemetar, ia menggandeng tangan Doni.
“Tangan lu kayak batu, keras banget,” komentar Mahira.
“Apalagi punya gue, kayak plat baja.”
“Dasar gila,” desis Mahira.
Awalnya canggung, tapi akhirnya Mahira merasa nyaman. Apalagi tubuh Doni wangi.
Akhirnya mereka sampai di sebuah kontrakan. Kontrakan itu cukup eksklusif karena hanya ada delapan pintu dengan halaman yang luas, dikelilingi pagar tinggi.
Sampailah mereka di kontrakan nomor delapan.
Doni membuka pintunya. Mahira sempat mengira kontrakan pria itu pasti kotor dan berantakan, tapi ternyata tempat itu lumayan luas. Ruang tengah cukup besar, ada sofa, televisi yang lumayan besar, ruang makan, dapur, dan dua toilet—satu di kamar, satu lagi dekat dapur.
“Bagus juga kontrakannya… coba semalam langsung ke sini,” gumam Mahira.
Doni berjalan menuju kamar dan meletakkan ranselnya.
“Lu mau makan, mandi, atau mau salat?” tanya Doni.
Mahira masih duduk di sofa ruang tengah.
“Gue istirahat di sini aja.”
“Kalau mau, tiduran di kamar aja,” saran Doni.
Mahira menatap tajam.
“Kalau lu tidur di kamar, gue jamin keselamatan lu. Tapi kalau di ruang tengah, gue nggak jamin. Di sini kebanyakan yang ngontrak pria paruh baya, perut buncit… lihat cewek cantik tidur bisa langsung ngiler.”
Mahira langsung bergidik ngeri. “Ya udah, gue ke kamar.”
“Tunggu,” cegah Doni.
“Apa?” tukas Mahira waspada. “Jangan macem-macem lu. Gue tidur sambil pegang pisau lipat.”
Doni menggeleng pelan.
“Salat Subuh dulu, baru tidur.”
Mahira tersipu malu karena salah sangka.
“Ya udah, gue salat dulu.”
“Bareng aja yuk… romantis banget itu, suami-istri salat berjemaah,” ujar Doni santai.
Sebenarnya itu momen yang sering Mahira bayangkan. Imajinasi romantisnya bukan bulan madu di Italia atau hotel mewah, tapi saat suami menjadi imam dan istri jadi makmum, lalu setelah salat mencium tangan suami, bercumbu, dan masuk kamar. Dulu ia membayangkannya bersama Rangga, tapi impian itu kandas.
“Wey, nyengir-nyengir nggak jelas lu,” celetuk Doni memecah lamunan Mahira.
“Nggagetin aja sih lu,” sungut Mahira.
“Ya sudah, wudu dulu.”
“Ok,” jawab Mahira singkat.
Mahira masuk ke kamar, melihat kamar Doni yang rapi dan wangi.
“Apa benar ini kamar lelaki? Kok lebih rapi dari kamar gue,” gumamnya.
Ia melangkah ke toilet dalam kamar, mengambil wudu. Setelah itu ia mengambil mukena dari ranselnya dan memakainya. Ketika keluar, ia melihat Doni sudah menggelar dua sajadah di ruang tengah.
Mahira tersenyum tipis.
“Apa gue harus terima dia sebagai suami gue?” tanyanya dalam hati.
anak buah doni kah?
sama" cembukur teryata
tapi pakai hijab apa ga aneh