NovelToon NovelToon
Anjani Istri Yang Diremehkan

Anjani Istri Yang Diremehkan

Status: tamat
Genre:Poligami / Janda / Selingkuh / Tamat
Popularitas:1.7M
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

Uang miliaran di rekening. Tanah luas. Tiga ratus pintu kontrakan.

Anjani punya segalanya—kecuali harga diri di mata suaminya dan keluarganya.

Hari ulang tahunnya dilupakan. Status WhatsApp menyakitkan menyambutnya: suaminya disuapi wanita lain. Dan adik iparnya dengan bangga menyebut perempuan itu "calon kakak ipar".

Cukup.

"Aku akan tunjukkan siapa aku sebenarnya. Bukan demi mereka. Tapi demi harga diriku sendiri."

Dan saat semua rahasia terbongkar, siapa yang akan menyesal?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 10

Anjani menatap layar ponselnya. Air matanya menetes perlahan. Bohong kalau ia tak sakit hati. Anjani juga manusia—punya rasa, punya luka. Kurang apa dirinya selama ini pada Riki dan keluarganya?

Tiba-tiba, sebuah notifikasi masuk. Nomor tak dikenal mengirimkan foto. Tangan Anjani gemetar saat membukanya. Gambar itu memperlihatkan Riki sedang berciuman mesra dengan Lusi.

“Mas... kamu sudah sejauh ini, ya?” bisik Anjani dengan suara bergetar. “Kamu bilang masih cinta sama aku, nyatanya kamu berciuman dengan Lusi... Kamu memang mencintainya, bukan karena perjodohan, tapi karena pilihanmu sendiri.”

Air matanya tak tertahankan. Ia memeluk bantal dan menangis—tanpa suara, tanpa teriakan. Itulah Anjani, perempuan yang pantang meratap histeris. Tapi sakit itu tetap nyata, menyesakkan di dada.

Ia bangkit menuju kamar mandi, mengambil air wudhu. Lalu bersimpuh di atas sajadah. Dalam hening, ia curahkan semua keluh kesah pada Sang Pemilik Hati. Dua tahun yang sia-sia, bersama lelaki yang tak benar-benar mencintainya. Lelaki yang berlindung di balik dalih ‘berbakti pada orang tua’ untuk mengkhianati.

Selesai berdoa, Anjani mengambil ponsel dan menelpon sahabatnya, Wulan.

“Halo, Beb. Ada apa?” suara Wulan terdengar ceria dari kamar mewahnya.

“Bisa bantu aku urus perceraian dengan Riki?” tanya Anjani, menahan tangis.

Wulan menarik napas panjang. “Tentu. Mau besok aku langsung uruskan akta cerainya?”

“Memangnya bisa?” Anjani terkejut.

“Orang kaya mah bebas, Anjani. Tinggal aku telpon nyokap, pasti ditekan tuh yang pegang berkasnya,” sahut Wulan terkekeh.

Anjani terkekeh kecil, terhibur. “Tapi jangan pakai cara curang, ya. Kecuali kalau mereka duluan yang main kotor.”

Setelah bercerita dengan Wulan, Anjani merasa lega. Padahal, Wulan sudah beberapa kali menawarinya posisi CEO di perusahaan ayahnya. Namun Anjani selalu menolak. Ia ingin dihargai karena kompetensi, bukan koneksi. Sikap itulah yang membuat Wulan begitu nyaman bersahabat dengannya.

...

"Nina... Nani... bangun!" teriak Mirna dari dapur, suaranya membelah pagi seperti alarm darurat.

Di kamar, dua gadis remaja itu menggeliat malas di balik selimut.

"Berisik banget sih ibu kita," gerutu Nina, memeluk bantal menutupi wajah.

"Ibu kamu kali," sahut Nani sambil menguap lebar.

"Ih, awas lo kualat. Galak-galak juga ibu kita," celetuk Nina sambil tertawa pelan.

Alih-alih bangun, mereka malah ngerumpi santai. Sementara itu, Mirna di dapur sudah hilang kesabaran. Tapi, seperti biasa, akhirnya ia menyerah dan memilih fokus pada memasak.

Suara dentingan alat masak di dapur diperdengarkan seperti konser rock n roll. Wajan dibanting pelan ke kompor, spatula diketukkan keras ke piring. Semuanya serba gaduh. Ia berharap ada yang peka.

Di kamar, Riki membuka mata dengan malas. Tangannya meraba ke sisi kasur—kosong. Tak ada Anjani. Tak ada aroma sabun favorit istrinya, tak ada jejak langkah kecil dari sandal rumah kesayangan wanita itu.

"Anjani... kemana kamu? Aku rindu kamu," gumamnya, suara nyaris tercekat.

Dengan langkah lesu, ia pergi ke kamar mandi. Sesampainya di sana, matanya menyipit—lantai basah, wastafel berantakan, handuk tergeletak sembarangan.

"Tak ada yang peduli kamar mandiku sekarang. Padahal aku ini sumber keuangan mereka," desahnya pelan.

Ia mandi dalam diam. Air hangat tak sanggup meredakan hampa di dadanya. Dulu, Anjani selalu memastikan handuk diganti dua hari sekali, sabun terisi penuh, bahkan menyiapkan air hangat jika ia pulang lembur.

Kini? Sepi. Dinginnya lebih dari sekadar suhu.

Keluar dari kamar mandi, Riki mendesah. Biasanya baju kerja sudah siap disetrika, tergantung rapi. Sekarang, ia harus memilih sendiri dari tumpukan baju lusuh.

"Sudah tiga hari... tak ada yang memperdulikan baju-bajuku," geramnya dalam hati. "Apa aku berhenti kerja saja dan urus hidupku sendiri? Tapi kalau aku berhenti, pasti direndahkan lagi. Kadang aku merasa aku ini cuma mesin uang."

Dengan malas, ia mengenakan baju yang belum disetrika. Saat keluar kamar, matanya menangkap ibunya yang bolak-balik dari dapur ke ruang makan, menyiapkan sarapan. Sementara ayahnya, Adi, santai duduk di sofa sambil merokok dan bermain ponsel.

Riki mendengus, lalu melangkah ke kamar adik-adiknya.

“Dor! Dor! Dor!” Ia mengetuk pintu dengan keras.

“Keluar gak kalian! Kalau gak, aku dobrak!” bentaknya.

Adi menoleh, heran. “Ada apa sih, Ki?”

“Bapak gak lihat? Ibu bulak-balik masak sendirian, tapi anak gadis ini masih tidur!”

Nina dan Nani keluar dengan wajah ketakutan.

“Abang gak mau lihat kalian kesiangan lagi! Kalian ini perempuan, harusnya bangun pagi. Lihat Anjani, atau ibu!”

“Sudah, Riki, jangan marahi anak-anakku!” bentak Adi.

“Terus aku bukan anak Bapak?” sentak Riki, matanya memerah.

“Sudah... sudah! Kalian jangan ribut. Cepat duduk dan sarapan!” kata Mirna mencoba menengahi.

Di meja makan, hidangan sederhana tersaji: nasi, mie goreng, dan telur ceplok kecil.

Riki duduk, menahan kecewa.

“Dulu Anjani selalu masak makanan sehat. Sekarang kembali ke zaman sulit lagi,” batinnya getir.

Nina dan Nani duduk. Adi menyusul dengan wajah masam. Mereka diam, menghela napas hampir bersamaan melihat makanan yang ada.

“Rasa nasinya beda, ya?” tanya Nani.

“Iya, kayak beras raskin,” timpal Nina.

“Bu, masa beli beras raskin?” tanya Adi tak percaya.

Brak!

Mirna meletakkan sendok dengan keras.

“Kalian ini keterlaluan! Gak pernah menghargai kerja keras! Sudah tinggal makan saja, masih menghina. Mau makan enak? Sini, kasih uang dapur!”

“Iya, kalian harusnya hargai ibu,” timpal Riki, walau dalam hati ia sendiri sebenarnya juga ingin protes.

“Bu, bajuku tolong dimasukin laundry, ya,” kata Riki.

“Iya, maafkan ibu. Ibu capek banget. Ibu cuma nyuci baju Bapak dan baju ibu sendiri,” ucap Mirna lirih.

“Bang, minta uang dong buat tugas kuliah,” pinta Nina.

“Malas abang ngasihnya,” jawab Riki dingin.

“Kenapa, Bang?”

“Baju abang aja gak kalian cuci, kenapa abang harus ngasih uang?” balasnya ketus.

“Riki, jangan pelit sama anak-anakku!” geram Adi.

“Pak… pagi ini Bapak berbicara seolah aku ini bukan anak Bapak. Hanya mereka anak Bapak.”

Riki berdiri, mengambil tas kerja, dan meninggalkan ruang makan.

Mirna menatap tajam ke arah suaminya. Nina dan Nani pun berdiri, bersiap ke kampus dengan wajah kesal. Adi tetap duduk, sisa sarapan masih di piring, tapi tak lagi menggoda. Yang tersisa hanya dingin, sunyi, dan perasaan kosong.

Rumah itu kini benar-benar terasa berbeda—tanpa Anjani.

.......

Pagi itu, langit Jakarta tampak kelabu. Mendung menggantung rendah seolah turut menanggung beban yang menggelayut di hati Anjani. Ia berdiri di depan gedung Pengadilan Agama Jakarta Selatan, tangannya menggenggam erat map biru berisi berkas-berkas yang ia siapkan semalaman. Pandangannya menatap bangunan itu lama, sebelum akhirnya menelan ludah.

Sekali melangkah ke dalam, hidupnya akan berubah. Bukan sekadar status, tapi arah baru yang akan ia tempuh seorang diri.

“Ya Allah... kuatkan aku,” bisiknya lirih.

Langkahnya mantap memasuki gedung. Di balik wajah tenang itu, ada hati yang pernah remuk—tak pernah membayangkan akan sampai di titik ini. Tapi inilah kenyataannya. Pernikahan yang dulu ia jaga sepenuh hati, kini hanya menyisakan luka.

Di ruang informasi, seorang petugas menyambut dengan senyum profesional.

“Selamat pagi, ada yang bisa dibantu, Bu?”

“Saya... mau mendaftarkan gugatan cerai,” ucap Anjani, pelan namun tegas.

Petugas itu mengangguk dan menyerahkan selembar formulir.

“Silakan isi data ini, Bu. Kalau semua berkas lengkap, bisa langsung kami proses hari ini juga.”

Anjani duduk di bangku panjang, mengambil pena dari tas. Satu per satu kolom ia isi: nama lengkap, nama suami, tanggal pernikahan, alamat. Hingga sampai di kolom yang membuat tangannya sempat berhenti.

“Sebutkan alasan gugatan cerai.”

Ia menghela napas panjang. Ingatannya melayang pada dua tahun pernikahan yang awalnya indah, lalu berubah menjadi kesepian. Ia teringat malam-malam penuh tangis karena Riki lebih memilih membela keluarganya. Hinaan dari ibu mertuanya, sindiran dari ipar-iparnya, dan luka paling dalam—saat mereka semua sepakat menyambut kehadiran orang ketiga ke dalam rumah tangganya.

Dengan tangan yang sedikit bergetar, ia menulis:

“Kurangnya tanggung jawab suami, tidak adanya kejelasan arah rumah tangga, tekanan serta penghinaan berulang dari keluarga suami, dan perselingkuhan suami.”

Selesai menulis, ia menatap berkas itu sejenak, lalu menyerahkannya ke petugas.

“Berkas Ibu sudah lengkap. Kami akan menghubungi untuk jadwal sidang perdana,” ujar petugas.

“Terima kasih,” ucap Anjani pelan.

Saat berjalan keluar dari ruang pendaftaran, tiba-tiba—

“Bruk!”

Seorang anak kecil menabraknya.

“Momy... tolong... ada monster,” lirih anak itu, matanya berkaca-kaca.

Anjani langsung jongkok dan memeluknya. Anak itu tampak ingin digendong, dan Anjani mengangkat tubuh mungil itu tanpa ragu.

“Anjaaa!” terdengar suara teriakan seorang pria.

Anjani menoleh. Seorang lelaki tinggi mengenakan jas hitam berlari ke arahnya.

“Rizki?” gumamnya, kaget.

“Anja, sini nak!” seru Rizki.

Anjani terperangah. “Hah? Kenapa dia memanggilku... nak? Memangnya aku anaknya?”

Belum selesai ia mencerna, terdengar suara perempuan lain meneriakkan nama yang sama.

“Anjaa!”

Anak di pelukannya semakin erat merapatkan pelukan.

“Tolong Momy... ada monster,” bisiknya lagi.

“Viona, sudahlah. Dia takut sama kamu,” ucap Rizki dengan nada lelah.

“Tapi hak asuh jatuh padaku!” bentak perempuan yang kini berdiri di sisi Rizki.

“Iya, tapi kamu lihat sendiri... dia ketakutan. Kemarin kamu ke mana saja? Sekarang, setelah kita cerai, kamu ngotot mau ambil hak asuh?” balas Rizki tajam.

Melihat pertengkaran itu, Anjani akhirnya angkat suara.

“Sebaiknya kalian tidak bertengkar di depan anak kecil.”

“Diam kamu!” bentak Rizki dan Viona bersamaan.

Anjani tertegun. Tapi anak itu—Anja—hanya memeluknya lebih erat, seolah menemukan tempat yang paling aman di dunia ini.

1
Bunda Keisha
extrapart donk... msh kurang.. /Pray/
esti kusuma
judulnya sepele, isinya wow
Ari Peny
kok diko punya data dr intelijen kamu hrs curiga anjani
Ari Peny
pasti ni diko ada rahasia
shari ayi
selamat berjuang rizki dan raka 💪💪💪💪💪💪💪💪💪💪
Hainun Hanafiah
kok kaya kisah nyata yaa..
Rika Hassan Aulia
terimakasih Thor cerita yg keren happy ending bikin seneng... coba kl sad ending g bisa tidur 👍
Ari Peny
yaaa anjani kok kalah
Memyr 67
𝖻𝖾𝗋𝗁𝖺𝗋𝖺𝗉, 𝗌𝖾𝗍𝖾𝗅𝖺𝗁 𝖺𝗒𝖺𝗁𝗇𝗒𝖺 𝗅𝗎𝗌𝗂 𝖽𝗂𝗍𝖺𝗇𝗀𝗄𝖺𝗉, 𝗋𝗂𝗄i, 𝗒𝗀 𝗃𝖺𝖽𝗂 𝗌𝗎𝖺𝗆𝗂𝗇𝗒𝖺 𝖽𝗂𝗍𝖺𝗇𝗀𝗄𝖺𝗉. 𝗍𝖾𝗋𝗎𝗌 𝗅𝗎𝗌𝗂 𝗆𝖾𝗇𝖾𝗋𝗎𝗌𝗄𝖺𝗇 𝗉𝗋𝗈𝖿𝖾𝗌𝗂 𝗃𝖺𝖽𝗂 𝗃𝖺𝗅𝖺𝗇𝗀 𝖽𝖺𝗇 𝖻𝖾𝗋𝗍𝖾𝗆𝗎 𝗌𝗂 𝗄𝖾𝗆𝖻𝖺𝗋 𝗇𝗂𝗇𝖺 𝗇𝖺𝗇𝗂, 𝗌𝖾𝗆𝗎𝖺𝗇𝗒𝖺 𝗍𝖾𝗋𝗉𝖾𝗋𝗈𝗌𝗈𝗄 𝗓𝗂𝗇𝖺, 𝗆𝖾𝗇𝗂𝗇𝗀𝗀𝖺𝗅𝗄𝖺𝗇 𝗂𝖻𝗎𝗇𝗒𝖺 𝗋𝗂𝗄𝗂 𝗌𝖾𝗇𝖽𝗂𝗋𝗂, 𝗇𝗀𝗀𝖺𝗄 𝗃𝖾𝗅𝖺𝗌.
Dedeh Dian
sungguh sangat bagus ceritanya.... makasih author
Dedeh Dian
terimakasih author...sangat sangat bagus ceritanya... terinspirasi..untuk menjadi lebih kuat.💪
Ladya
Cih nulis pake chatGPT aja bangga 😏
SOPYAN KAMALGrab: hahaha.... terimakasih KA udah mampir
total 1 replies
Memyr 67
𝗀𝖺𝗒𝖺 𝗁𝗂𝖽𝗎𝗉 𝗅𝗎𝗌𝗂? 𝗅𝗎𝗌𝗂 𝗀𝗈𝖻𝗅𝗈𝗀, 𝗆𝖺𝗎𝗇𝗒𝖺 𝗆𝗈𝗋𝗈𝗍𝗂𝗇 𝗋𝗂𝗄𝗂, 𝗇𝗀𝗀𝖺𝗄 𝗍𝖺𝗎 𝗄𝖺𝗅𝖺𝗎 𝗒𝗀 𝖽𝗂𝖽𝖺𝗉𝖺𝗍 𝗋𝗂𝗄𝗂 𝗂𝗍𝗎 𝖻𝖺𝗇𝗍𝗎𝖺𝗇 𝖽𝖺𝗋𝗂 𝗄𝖾𝗅𝗎𝖺𝗋𝗀𝖺 𝗂𝗌𝗍𝗋𝗂𝗇𝗒𝖺. 𝗍𝖺𝗉𝗂 𝖼𝗈𝖼𝗈𝗄, 𝖽𝖾𝗇𝗀𝖺𝗇 𝗄𝖾𝗅𝗎𝖺𝗋𝗀𝖺 𝗋𝗂𝗄𝗂 𝗍𝗎 𝗅𝗎𝗌𝗂. 𝗄𝖾𝗅𝗎𝖺𝗋𝗀𝖺 𝗀𝗈𝖻𝗅𝗈𝗀.
Memyr 67
𝗂𝗇𝗂 𝗌𝖺𝗆𝗉𝖺𝗂 𝗄𝖺𝗉𝖺𝗇, 𝗄𝖾𝗌𝖺𝖻𝖺𝗋𝖺𝗇𝗇𝗒𝖺 𝖺𝗇𝗃𝖺𝗇𝗂?
Alang Sari
kereen bab ini
Lina Gunawan
realita politik dn birokrasi di negeri antah berantah
Yusni
cerira yg menaruk....sesuatu yg jrg sekali ada di novel..semua dikemas dlm saty cerita walau ada jg yg typo ...semoga semakin keren lagi kedepannya
Lina Gunawan
suka bngt sm alur ceritanya, kereen thor/Good//Good/
Dessy Lisberita
anjani sekarang berkuasa dari kakenya
Alma Zhienot
nah kn Jamal lagiiiiii. awas aza kmu Jani kalo sampe mecat jamal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!