Arsyi seorang wanita sederhana, menjalani pernikahan penuh hinaan dari suami dan keluarga suaminya. Puncak penderitaannya terjadi ketika anaknya meninggal dunia, dan ia disalahkan sepenuhnya. Kehilangan itu memicu keberaniannya untuk meninggalkan rumah, meski statusnya masih sebagai istri sah.
Hidup di tengah kesulitan membuatnya tak sengaja menjadi ibu susu bagi Aidan, bayi seorang miliarder dingin bernama Rendra. Hubungan mereka perlahan terjalin lewat kasih sayang untuk Aidan, namun status pernikahan masing-masing menjadi tembok besar di antara mereka. Saat rahasia pernikahan Rendra terungkap, semuanya berubah... membuka peluang untuk cinta yang sebelumnya mustahil.
Apakah akhirnya Arsyi bisa bercerai dan membalas perbuatan suami serta kejahatan keluarga suaminya, lalu hidup bahagia dengan lelaki baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 19.
Rendra mengepalkan tangannya di atas meja, urat di pelipisnya menegang. Dadanya sesak, pikirannya penuh bayangan buruk. Ia meraih ponsel dengan tangan bergetar, namun sebelum sempat menekan nomor, dering masuk lebih dulu.
Cepat-cepat ia angkat. “Halo, Daniel?”
“Nona Raisa ada bersama saya,” suara Daniel terdengar berat, tergesa. “Dia hampir menembak dirinya sendiri, setelah menembak Jerry. Tapi untunglah, saya berhasil menghentikannya tepat waktu. Apa yang harus saya lakukan, Tuan?”
Daniel bukan orang sembarangan, pria itu adalah mata-mata Rendra di keluarga Jerry. Orang dalam yang selama ini diam-diam mencuri dokumen penting untuk menghancurkan lawan. Tapi kali ini, situasi berbeda. Raisa bergerak di luar rencana, dengan niat nyawa dibayar nyawa.
“Bagaimana kondisi mentalnya?” tanya Rendra tajam.
“Saya sudah menyuntikkan obat penenang. Tuan juga tahu, sebelum menerima tugas ini... saya sudah mempelajari kehidupan Nona Raisa. Jadi tenang saja, saya tahu bagaimana menanganinya.”
“Jaga dia,” ucap Rendra dalam, menahan gejolak di dadanya. “Sepertinya Raisa sudah bertekad meninggalkanku, bisakah kau mengurusnya untuk saat ini?”
“Tidak masalah,Tuan. Tapi sepertinya, keluarga Jerry tidak akan tinggal diam. Jerry adalah pewaris utama keluarga dan kini dia mati, mereka akan memburu Nona Raisa. Lebih baik, untuk sementara ini... Nona disembunyikan. Jika Tuan izinkan, saya sendiri yang akan melindunginya. Bisakah urusan saya sebagai mata-mata di keluarga Jerry ditunda?”
Rendra terdiam sejenak, napasnya berat. “Kau yakin bisa menangani Raisa? Dia terlihat kuat, tapi jiwanya masih hancur. Aku khawatir dia akan tetap berusaha mengakhiri hidupnya.”
Daniel menjawab mantap, “Saya menerima tugas ini karena hutang budi pada Tuan Rio. Saya berjanji, akan menjaga Nona Raisa dengan seluruh jiwa saya.”
Rendra menutup mata, menarik napas panjang. “Baiklah, aku percayakan Raisa padamu. Jika terjadi apa-apa, segera hubungi aku. Jangan khawatir soal biaya, kartumu akan selalu penuh. Pastikan... Raisa mendapat yang terbaik. Belikan dia makan enak, dan apa pun yang bisa membuatnya bertahan.”
“Siap, Tuan. Saya akan membawanya ke desa, jauh dari kota. Disana akan tenang dan tidak mudah dilacak. Kalau saya membawa Nona Raisa ke luar negeri, catatan penerbangan bisa jadi jejak.”
“Asal sinyal komunikasi lancar, aku setuju. Kau harus memberikan laporan padaku setiap hari. Jika aku menghubungi, tidak boleh ada hambatan.”
“Baik, Tuan.”
Panggilan pun terputus, Rendra meletakkan ponsel dengan gerakan tegas lalu menatap para penjaga yang masih berada di ruangan.
“Untuk saat ini, Raisa aman. Saat situasi memungkinkan, kalian akan aku kirim ke tempatnya dan lindungi dia. Ini adalah kesempatan terakhir untuk kalian, jika kalian gagal melindunginya lagi... nyawa kalian taruhannya!"
"Baik, Tuan." Jawab mereka serentak, lalu mereka segera bergegas keluar.
Beberapa saat kemudian, pintu terbuka. Arsyi melangkah masuk dengan wajah cemas. “Bagaimana? Apa Raisa baik-baik saja?”
Rendra memijit pelipisnya lalu menatap Arsyi dengan mata lelah, ia menggeleng pelan. “Raisa tidak baik-baik saja, tapi dia ada di tangan orang yang paling bisa kupercaya. Kenapa kamu di sini? Kamu tidak bersama Aidan?”
“Aku cemas, jadi ingin tahu langsung tentang Raisa.”
“Jangan khawatir, fokuslah pada Aidan… dan pada hubungan kita. Aku harus menyelesaikan perceraian ini lebih dulu, sebelum aku bisa menikahimu. Kamu tidak keberatan, kan?”
Arsyi tersenyum tipis, suaranya lembut. “Tentu saja tidak. Untuk sekarang, sebaiknya Bang Rendra urus dulu soal Raisa. Soal pernikahan kita, bisa nanti... kita tidak perlu terburu-buru.”
Rendra menggeleng, tatapannya dalam. “Kamu salah, aku memang tidak ingin menunda pernikahan kita. Aku ingin segera menjadikanmu... sah jadi istriku. Tapi benar, masih ada yang harus kuselesaikan lebih dulu. Kita harus menunggu waktu yang tepat...”
Arsyi mengangguk pelan. “Kalau begitu, aku tidak akan mengganggu lagi. Aku akan menemani Aidan, Bang Rendra juga jangan lupa istirahat... aku tak ingin melihatmu jatuh sakit. Kita harus kuat, demi terus mendukung Raisa.”
Rendra menatap Arsyi dengan lembut, lalu tersenyum samar. “Terima kasih… untuk perhatianmu pada Raisa.”
Arsyi hanya tersenyum sekilas, lalu pamit keluar. Suasana ruangan kembali sepi, namun hati Rendra tetap penuh gejolak. Ia tahu, badai sebenarnya baru saja dimulai. Kali ini, sepertinya keluarga Jerry akan menyerangnya.
.
.
.
Malam itu di sebuah mobil hitam, Raisa bersandar lemah. Matanya sayu, bekas air mata masih terlihat jelas di pipinya. Pakaian pelayan yang ia kenakan kini berantakan, masker terlepas hanya menyisakan wajah yang pucat dan kosong. Obat penenang yang disuntikkan Daniel membuat tubuhnya terasa ringan, seolah melayang di antara sadar dan tidak.
Daniel melirik dari kaca spion, ekspresinya datar tapi sorot matanya tajam penuh kewaspadaan. Ia melajukan mobil keluar dari kota, menembus jalan-jalan sepi yang semakin gelap menuju arah pegunungan.
“Tidurlah, Nona,” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan. “Perjalanan masih jauh.”
Raisa hanya menoleh sedikit, Daniel sudah menjelaskan identitas dirinya pada wanita itu. Bibir Raisa bergetar, suaranya nyaris tak terdengar, “Aku… seharusnya mati, aku ingin bersama Rio. Kenapa kau menghentikanku…?”
Daniel mengepalkan tangannya di setir, namun suaranya tetap tenang. “Karena Tuan Rio tidak akan pernah menginginkan Nona mati seperti itu. Nona harus bertahan… kalau tidak demi dirimu sendiri, maka demi dia.”
Air mata Raisa jatuh lagi lalu ia menutup mata, tubuhnya menyerah pada kantuk yang berat.
Mobil melaju semakin jauh dari keramaian kota. Lampu-lampu mulai jarang, digantikan kabut tipis yang turun dari perbukitan. Di kejauhan, jalan kecil berliku menuntun mereka menuju desa yang tersembunyi... seakan terputus dari dunia luar.
Sesampainya di sebuah rumah kayu sederhana yang dikelilingi pepohonan rindang, Daniel mematikan mesin. Suasana hening, hanya suara jangkrik dan desir angin malam. Ia keluar, lalu dengan hati-hati menggendong Raisa yang masih terlelap.
“Selamat datang di tempat persembunyianmu, Nona. Di sini, dunia tidak akan menemukanmu.” Bisik lelaki itu dengan tatapan penuh kelembutan.
Namun, Daniel tahu keluarga Jerry pasti akan mulai bergerak. Dia harus tetap waspada dan berhati-hati, jika tidak ingin desa terpencil ini berubah menjadi medan perburuan.
Di ambang pintu rumah Daniel berhenti sejenak, menatap wajah Raisa yang damai dalam tidurnya.
“Selama aku masih bernapas, tidak ada seorang pun yang akan menyentuhmu.”
____
Malam itu, kediaman keluarga Jerry diselimuti kabut duka yang pekat. Keheningan berubah menjadi jeritan batin yang menyesakkan, seolah setiap dinding rumah itu ikut meratap. Jerry adalah anak pertama, kebanggaan keluarga. Sosok yang selalu mereka lindungi, meski harus mengorbankan Rio. Kini malah terbujur kaku... tanpa nyawa.
Kesedihan seketika berbalik menjadi amarah. Mereka murka, tidak rela pewaris utama keluarga jatuh begitu saja. Balas dendam menjadi satu-satunya bahasa yang tersisa. Namun saat kebenaran dicari, kegelapan menyambut. Semua rekaman CCTV malam itu lenyap, rusak seolah ada tangan licik yang dengan sengaja menghapus jejak.
Satu-satunya fakta yang tertinggal hanyalah tubuh dingin Jerry yang terbujur kaku, meninggalkan bara amarah yang menunggu untuk diledakkan.