Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.
Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.
Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.
Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 — Festival Panen
Festival Panen adalah perayaan terbesar Desa Awan Jingga. Selama tiga hari, desa itu bersinar di bawah ribuan lampion sutra merah, menggantung dari setiap atap dan dahan pohon, mengubah malam menjadi sore yang hangat. Udara dipenuhi aroma wangi dari dupa persembahan, makanan yang dimasak dengan rempah-rempah gunung, dan musik erhu yang merdu.
Namun, di tengah kemeriahan itu, Mei Lan merasa seolah sedang berjalan di atas tali tipis. Ia mengenakan gaun sutra terbaiknya, berwarna jade lembut yang ditenun oleh Nona Yuhe, menonjolkan keanggunannya yang pendiam. Ia harus terlihat sempurna, karena malam ini adalah malam Persembahan Kain Sutra, dan juga malam di mana Kepala Desa Liang secara tidak resmi akan mendorong pertunangannya dengan Putra Pedagang Cheng.
Mei Lan berdiri di samping Nona Yuhe, di alun-alun yang kini ramai. Di depannya, di atas meja altar, tergeletak Kain Sutra Cahaya Bintang yang ia tenun—kain perak yang tipis dan berkilauan, bebas dari cacat. Keindahan kain itu adalah simbol kesetiaannya pada desa, dan juga rantai yang mengikatnya.
“Kau terlihat secantik kainmu, Gadis Manis,” bisik Nona Yuhe, membelai pipi Mei Lan. “Ingat, lisanmu harus lebih kuat dari sutra yang Kau tenun. Kau bisa menolak mereka.”
“Mereka tidak akan membiarkan saya, Nona Yuhe,” jawab Mei Lan, matanya menyapu kerumunan, mencari-cari sesuatu—atau seseorang—yang ia tahu tidak seharusnya ia cari. Sejak insiden serigala dua hari lalu, Rho Jian menghilang sepenuhnya. Ia tidak mengambil air, ia tidak terlihat di batas hutan.
Ia merindukan ketidakhadiran Jian. Merindukan tatapan dinginnya, dan rindu pada rasa protektif yang ia tunjukkan saat mengusir serigala.
Kepala Desa Liang, dengan perutnya yang buncit dan jubah sutra yang mahal, berdiri di samping altar. Di sampingnya, berdiri Putra Pedagang Cheng—seorang pria muda yang terlalu rapi, terlalu percaya diri, dengan senyum yang tidak jujur.
“Malam ini, kita merayakan panen yang melimpah dan berkah para leluhur!” seru Kepala Desa Liang, suaranya lantang. “Dan kita berterima kasih kepada tangan terampil yang telah mempersembahkan Kain Sutra Cahaya Bintang ini—Mei Lan!”
Tepuk tangan terdengar. Mei Lan membungkuk, menahan senyum palsu.
“Dan karena berkah itu harus diteruskan,” lanjut Kepala Desa Liang, menatap tajam ke arah Mei Lan, “Saya senang mengumumkan bahwa segera setelah festival ini, kita akan memulai negosiasi untuk menyatukan keluarga penenun kita dengan keluarga pedagang terkemuka, memastikan kemakmuran abadi Desa Awan Jingga!”
Kepala Desa Liang tidak secara eksplisit mengumumkan pertunangan, tetapi maksudnya sangat jelas. Para wanita tua berbisik riang, dan Putra Pedagang Cheng tersenyum puas, melangkah maju dan mencoba meraih tangan Mei Lan.
“Mei Lan, kehormatan ini akan menjadi milikmu,” katanya, suaranya meremehkan.
Mei Lan menarik tangannya dengan cepat, sebuah gerakan halus yang hanya terlihat oleh Nona Yuhe. “Kehormatan saya terletak pada pekerjaan saya, Tuan Cheng. Bukan pada siapa yang saya nikahi.”
Tuan Cheng tersinggung, tetapi sebelum ia bisa membalas, Shan Bo melangkah maju. Ia terlihat marah, wajahnya memerah.
“Kepala Desa!” seru Shan Bo. “Mei Lan telah menolak lamaran saya. Dia tidak ingin menikah! Jangan paksakan dia pada pedagang kota yang bahkan tidak mengerti bagaimana menanam sebatang padi!”
Kerumunan menjadi heboh. Shan Bo telah menunjukkan keberanian yang tidak terduga. Kepala Desa Liang murka.
“Shan Bo! Duduklah! Kau mabuk oleh kecemburuan!” bentak Kepala Desa Liang. “Ini demi kepentingan desa! Dia adalah wanita yang telah membawa aib karena pertunangannya yang batal! Dia harus segera menikah untuk membersihkan nama keluarganya!”
Kata ‘aib’ itu menusuk Mei Lan seperti belati. Air matanya mulai menggenang. Rasa malu yang ia rasakan selama bertahun-tahun kini diumumkan di depan seluruh desa. Mei Lan merasa benang takdirnya benar-benar putus.
Tiba-tiba, keheningan menyelimuti alun-alun.
Jian muncul.
Ia berjalan keluar dari bayangan gang di sebelah balai desa. Ia masih mengenakan jubah gelapnya, yang membuat sosoknya terlihat mencolok di antara lampion-lampion yang berwarna merah cerah. Langkahnya tenang dan pasti, seperti harimau yang memasuki kandang domba.
Semua orang terdiam. Pria asing itu—Pengikat Takdir—kini muncul di tengah-tengah puncak perayaan.
Jian tidak memperhatikan siapa pun kecuali Mei Lan. Ia berjalan langsung menuju altar. Tidak ada emosi di wajahnya, tetapi setiap gerakannya memancarkan otoritas yang dingin dan menakutkan, jauh melampaui otoritas seorang kepala desa mana pun.
Kepala Desa Liang, meskipun takut, berusaha menunjukkan keberaniannya. “Siapa Kau?! Kembali ke gudangmu, asing! Jangan ganggu festival kami!”
Jian tidak menjawab. Ia berjalan melewatinya, matanya terkunci pada Mei Lan.
Mei Lan hanya bisa menatapnya. Kehadiran Jian seolah menghilangkan semua kebisingan dan ketakutan di sekitarnya.
Jian berhenti di depan Mei Lan, berdiri tegak dan tinggi. Ia mengabaikan semua orang, termasuk Shan Bo yang kini memelototinya, dan Tuan Cheng yang mundur dengan takut-takut.
Jian menatap Mei Lan, dan kali ini, ia tidak menyembunyikan kelembutan yang terpendam di matanya. Kelembutan yang hanya diperuntukkan bagi Mei Lan.
“Kau tidak perlu membersihkan aibmu,” kata Jian, suaranya rendah dan serak. Hanya Mei Lan yang bisa mendengarnya dengan jelas, tetapi keheningan di alun-alun membuat setiap kata terasa menggema.
“Kehormatanmu ada di benang sutra ini,” lanjut Jian, menunjuk pada Kain Cahaya Bintang di altar. “Dan aib tidak bisa menempel pada apa yang begitu murni.”
Ia kemudian melakukan sesuatu yang membuat Mei Lan terkejut: Jian mengangkat tangannya dan dengan lembut membelai helai rambut yang jatuh di samping pipi Mei Lan.
Sentuhan itu singkat, tetapi memiliki dampak yang luar biasa. Itu adalah sentuhan yang jauh lebih intim daripada upaya Tuan Cheng untuk meraih tangannya. Sentuhan itu adalah pernyataan kepemilikan.
“Aku sudah memberitahumu, aku tidak akan bertanya dua kali,” bisik Jian, matanya kini memancarkan tekad yang keras.
Ia kemudian berbalik dan menatap Kepala Desa Liang, tatapan itu dingin dan mematikan. Aura prajuritnya keluar sepenuhnya, menguasai alun-alun.
“Dia bukan milikmu untuk ditukar,” kata Jian, suaranya kini ditujukan kepada semua orang. “Aku adalah orang asing. Aku membawa masalah yang kalian takutkan. Aku bisa membawa kehancuran yang kalian gosipkan.”
Kepala Desa Liang gemetar. “Kau mengancam kami?”
“Tidak,” jawab Jian. “Aku memberi kalian peringatan. Biarkan gadis ini sendiri. Aku akan pergi saat Festival Panen selesai. Tapi jika kalian berani menyentuh kehormatan atau kehidupannya lagi, masalah yang kubawa akan menjadi masalah kalian. Jauhi dia. Aku adalah pelindungnya.”
Pernyataan itu—Aku adalah pelindungnya—membuat Mei Lan hampir menangis. Dia telah memilihnya. Dia telah mengumumkan dirinya sebagai perisai gadis itu, meskipun itu berarti mengundang bahaya yang lebih besar bagi dirinya sendiri.
Jian tidak menunggu tanggapan. Ia berbalik, memandang Mei Lan untuk terakhir kalinya, sebuah janji tersirat di matanya. Lalu, ia berjalan tenang meninggalkan alun-alun, kembali ke bayangan di mana ia berasal.
Kerumunan meledak dalam bisikan dan kepanikan. Kepala Desa Liang mencoba mendapatkan kembali kendali, tetapi otoritasnya telah tergores.
Mei Lan hanya berdiri di sana, memproses semua yang terjadi. Jian telah menyelamatkannya dari pertunangan yang tidak diinginkan, dari aib yang diumumkan, dengan mempertaruhkan seluruh perlindungannya sendiri.
Shan Bo mendekatinya, wajahnya pucat. “Dia… dia iblis, Mei Lan. Dia hanya akan membawamu ke neraka.”
“Dia menantang desa untuk melindungiku, Shan Bo,” balas Mei Lan, suaranya tenang. “Kau hanya menantangku.”
Ia berjalan menjauh dari alun-alun, meninggalkan semua keramaian, dan menuju jalan setapak yang mengarah ke hutan bambu. Ia harus menemuinya.
Ia menemukannya di sebuah jembatan kayu kecil yang menuju ke Gudang Padi Terkutuk. Jian sedang berdiri di sana, menatap sungai yang gelap.
“Jian,” panggil Mei Lan.
Jian berbalik. Ia tidak lagi marah, hanya lelah. “Aku sudah bilang jangan dekati aku.”
“Kau baru saja mengumumkan bahwa Kau adalah pelindungku di depan seluruh desa!” kata Mei Lan, emosinya meluap. “Kau telah mengikat takdir kita, Jian. Mengapa Kau melakukan itu? Kau bisa saja diam.”
Jian berjalan mendekatinya, perlahan. “Aku tidak tahan melihat mereka menghinamu. Aku tidak tahan melihat mereka memaksamu pada untaian benang yang rusak.”
“Tapi Kau telah membawa ancaman istana ke desa ini!”
“Mungkin ya,” Jian mengangguk, mengakui. “Tapi paling tidak, Kau akan memilih kehancuranmu sendiri. Bukan kehancuran yang mereka paksakan padamu.”
Mei Lan menatapnya, air mata kebahagiaan dan ketakutan menggenang di matanya. Ia melangkah maju, tangannya terangkat, menyentuh pipi Jian yang kasar.
“Kau tidak membawa kehancuran, Jian. Kau membawa harapan,” bisik Mei Lan.
Jian memejamkan mata, membiarkan sentuhan lembut itu. Itu adalah sentuhan paling lembut yang pernah ia rasakan, dan itu membakar jiwanya. Perisai yang ia bangun, yang terbuat dari rasa sakit dan disiplin, runtuh sepenuhnya.
Jian meraih tangan Mei Lan, menariknya ke arahnya. Ini bukan gerakan yang kasar, melainkan gerakan yang putus asa, seolah-olah ia sudah lama menahan diri.
“Kau adalah benang sutra yang paling berbahaya,” gumam Jian.
Dan di bawah cahaya samar lampion-lampion yang tersembunyi di kejauhan, di atas sungai yang berbisik, Rho Jian menunduk dan mencium Mei Lan.
Ciuman itu dingin, putus asa, dan intens. Ciuman itu adalah pelepasan dari semua ketegangan yang mereka tahan selama ini—cinta, ketakutan, dan bahaya. Rasa dingin dari bibir Jian, kontras dengan panas di bibir Mei Lan. Itu adalah ciuman antara penenun dan prajurit, antara kerapuhan dan kehancuran, antara desa dan istana.
Mei Lan membalas ciuman itu dengan semua hasrat yang ia pendam selama bertahun-tahun dalam isolasi. Itu adalah ciuman kebebasan, ciuman pilihan.
Ketika Jian menarik diri, ia menatap Mei Lan. “Ini adalah kesalahan. Kau akan menyesalinya.”
“Tidak,” balas Mei Lan, membelai garis rahang Jian. “Ini adalah satu-satunya kebenaran yang saya miliki.”
Jian menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum. Senyum itu lembut, tulus, dan penuh rasa sakit.
“Pergi,” perintah Jian, suaranya serak. “Pergi sekarang, sebelum aku tidak bisa melepaskanmu. Festival Panen selesai. Aku harus bersiap untuk pergi.”
Mei Lan tahu Jian benar. Ia mengangguk, lalu berlari pergi, kembali ke terang lampion.
Jian ditinggalkan sendirian di jembatan, tangannya menyentuh bibirnya. Ia telah membuat sebuah janji, dan ia telah membuat sebuah kesalahan. Ia telah mencium gadis yang harus ia lindungi, dan sekarang, ia harus pergi untuk menjaganya. Badai yang ia bawa kini telah dimulai.