NovelToon NovelToon
Regresi Sang Raja Animasi

Regresi Sang Raja Animasi

Status: sedang berlangsung
Genre:Menjadi Pengusaha / Bepergian untuk menjadi kaya / Time Travel / Mengubah Takdir / Romantis / Romansa
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Chal30

Kael Ardhana, animator berusia 36 tahun yang hidupnya hancur karena kegagalan industri, tiba-tiba terbangun di tubuhnya saat berusia 18 tahun… di tahun 1991. Dengan seluruh pengetahuan masa depan di tangannya, Kael bertekad membangun industri animasi lokal dari nol, dimulai dari sebuah garasi sempit, selembar kertas sketsa, dan mimpi gila.

Tapi jalan menuju puncak bukan sekadar soal kreativitas. Ia harus menghadapi dunia yang belum siap, persaingan asing, politik industri, dan masa lalunya sendiri.
Bisakah seorang pria dari masa depan benar-benar mengubah sejarah… atau justru tenggelam untuk kedua kalinya?

Yuk ikutin perjalanan Kael bersama-sama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chal30, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 14

Bulan kedua produksi adalah fase paling intensif. Frame demi frame mulai tergambar dengan ritme yang lebih konsisten, tapi tantangan baru muncul setiap hari seperti jamur di musim hujan.

Pagi itu, Kael menemukan Dimas duduk di mejanya dengan kepala tertunduk, tangan kanannya dibalut perban putih yang sudah sedikit kotor.

"Mas, kenapa tangannya?" tanya Kael sambil menghampiri dengan cepat, nada khawatir langsung terdengar jelas di suaranya yang biasanya tenang.

"Kesiram air panas tadi pagi. Gak sengaja. Gue lagi bikin kopi, terus… ya gitu deh." Dimas menjawab sambil tersenyum hambar, berusaha terlihat santai tapi raut wajahnya menunjukkan dia menahan sakit.

"Lu udah ke dokter?"

"Belum. Gak parah kok. Cuma lecet dikit."

Kael langsung menarik tangan Dimas dengan lembut, memeriksa perban yang mulai basah karena rembesan cairan dari luka. "Ini harus diobatin. Sekarang kita ke puskesmas. Gak ada alasan."

"Tapi kerjaannya—"

"Kerjaannya bisa nunggu. Kesehatan lu gak bisa ditawar. Ayo." Kael memotong dengan nada tegas yang tidak memberi ruang untuk debat, tangannya sudah menarik Dimas untuk berdiri.

Rani yang mendengar percakapan mereka, langsung mengambil tas dan kunci motor. "Gue anterin. Kalian berdua naik motor gue. Mas Dimas duduk di tengah biar tangannya gak keguncang."

Di puskesmas, perawat yang memeriksa luka Dimas mengernyit dengan ekspresi yang membuat Kael semakin khawatir. "Ini lumayan dalam. Harusnya langsung diobatin dari tadi pagi. Kenapa baru sekarang dateng?"

"Maaf, Bu. Saya kira gak parah," jawab Dimas sambil meringis ketika perawat mulai membersihkan lukanya dengan antiseptik yang perih sekali.

"Beruntung belum infeksi. Tapi ini harus istirahat minimal seminggu. Jangan dipake kerja berat. Apalagi kalau pegang pensil atau benda tajam terlalu lama. Nanti lukanya bisa terbuka lagi." Perawat memberikan instruksi sambil membalut ulang dengan perban bersih yang rapi.

Kael dan Rani saling pandang dengan ekspresi yang sama, khawatir tentang timeline produksi, tapi lebih khawatir tentang Dimas.

"Gue gak bisa gak kerja seminggu, Kael. Kita lagi sprint fase produksi . Kalau gue berhenti, kalian bakal kewalahan." Dimas berbicara begitu mereka keluar dari puskesmas, nada suaranya penuh dengan rasa bersalah yang berat.

"Mas Dimas, dengerin gue baik-baik." Kael berhenti di tengah jalan, menatap Dimas dengan tatapan serius yang jarang ia tunjukkan. "Lu itu aset paling berharga di studio. Bukan karena skill gambar lu, meskipun itu juga penting. Tapi karena lu salah satu founding member. Kalau lu sampe cacat permanen gara-gara maksa kerja, gue gak akan bisa memaafkan diri gue sendiri. Mendingan kita mundur deadline sebulan daripada lu kehilangan kemampuan buat gambar selamanya."

Dimas terdiam, air matanya tiba-tiba mengalir tanpa bisa ditahan lagi. "Gue cuma… gue cuma gak mau jadi beban buat kalian."

Rani memeluk Dimas dari samping dengan lembut, suaranya bergetar ketika bicara. "Mas Dimas, lu gak pernah jadi beban. Lu selalu jadi tulang punggung kita. Sekarang giliran kita yang support lu. Istirahat aja. Kita bisa atur ulang timeline."

Kael mengangguk sambil menepuk bahu Dimas dengan lembut sekali, takut menyakiti. "Mulai hari ini, lu official cuti seminggu. Gue mau lu istirahat total. Gak boleh pegang pensil. Gak boleh mikirin kerjaan. Lu fokus ke recovery aja."

"Tapi—"

"Gak ada tapi. Ini perintah dari bos lu," potong Kael dengan senyum kecil yang membuat suasana sedikit lebih ringan.

Mereka mengantarkan Dimas pulang ke kontrakannya, memastikan dia punya persediaan makanan dan obat yang cukup. Rani bahkan memasak bubur ayam dan menaruhnya di kulkas kecil Dimas yang sudah penuh dengan barang-barang acak.

"Lu jaga diri baik-baik ya, Mas. Kalau ada apa-apa, langsung telepon ke wartel terus minta sambungin ke studio. Kita bakal langsung dateng." Rani berpesan dengan nada seperti kakak yang khawatir dengan adiknya, matanya menatap Dimas dengan penuh perhatian.

Dimas mengangguk sambil tersenyum lemah. "Makasih, Ran. Makasih, Kael. Gue… gue bersyukur punya kalian."

Kembali ke studio, suasana terasa berbeda. Kursi Dimas kosong, mejanya rapi tanpa tumpukan sketsa seperti biasa. Semua orang merasakan ketiadaan-nya dengan jelas.

"Timeline kita harus direvisi. Kita kehilangan salah satu animator utama untuk seminggu. Itu artinya kita harus mendistribusikan kembali beban kerja." Kael mengumumkan saat meeting dadakan sore itu, suaranya tetap tenang tapi ada kekhawatiran yang tersembunyi di balik nadanya.

"Gue bisa ambil sebagian kerjaan Mas Dimas. Gue udah cukup familiar sama style-nya," ucap Agus sambil mengangkat tangan, matanya menunjukkan keseriusan yang tidak main-main.

"Gue juga bisa bantuin. Background bisa gue percepat kalau gue fokus tanpa distraksi." Sari menambahkan dengan suara pelan tapi penuh tekad yang kuat.

Kael menatap mereka berdua dengan perasaan bangga yang membuncah. "Kalian yakin? Beban kerja bakal nambah lumayan banyak."

"Kita tim, Mas Kael. Kalau ada yang jatuh, yang lain harus bantu berdiri. Itu kan yang selalu Mas Kael ajarin?" Agus menjawab dengan senyum tipis yang tulus, membuat Kael merasa haru sampai hampir tidak bisa menyembunyikannya.

"Oke. Tapi dengan syarat, kalau kalian mulai kewalahan, langsung bilang. Gue gak mau ada yang sakit lagi. Kita kerja dengan tempo yang berkelanjutan, bukan sprint sampai kolaps." Kael menekankan dengan nada tegas tapi penuh perhatian yang tulus.

Seminggu berikutnya adalah ujian bagi seluruh tim. Tanpa Dimas, dinamika kerja berubah. Agus harus step up dan mengambil tanggung jawab yang lebih besar dari biasanya. Sari bekerja lebih lama dari jam normalnya, meskipun Kael beberapa kali menyuruhnya pulang, tapi dia tetap bertahan karena merasa ini adalah kesempatan untuk membuktikan dirinya.

Kael sendiri kembali turun langsung ke lantai produksi, menggambar frame yang seharusnya ditangani Dimas, melakukan quality check yang lebih sering, dan memastikan tidak ada yang terlalu terlalu banyak pekerjaan.

Malam Jumat, mereka semua masih di studio meskipun seharusnya sudah pulang dari sore. Kael menemukan Sari tertidur di mejanya dengan pensil masih di tangan, kepalanya bersandar di tumpukan kertas gambar yang baru setengah jadi.

Ia mengambil selimut tipis dari lemari kecil di pojok ruangan, lalu menyelimuti Sari dengan lembut sekali agar tidak membangunkannya. Pensil di tangan Sari ia ambil pelan-pelan dan taruh di meja.

"Kerja keras banget lu, Sar. Tapi jangan sampe sakit. Kita butuh lu tetap sehat," bisiknya pelan sambil tersenyum melihat wajah Sari yang terlihat damai dalam tidur.

Rani yang baru keluar dari kamar mandi dengan wajah basah sehabis cuci muka, melihat Kael menyelimuti Sari. "Lu peduli banget sama semua orang, Kael. Kadang gue khawatir lu lupa peduli sama diri lu sendiri."

Kael menoleh dan tersenyum tipis sambil berjalan menghampiri Rani. "Gue gak bisa gak peduli. Mereka semua udah kayak keluarga gue sendiri. Kalau ada yang sakit atau sedih, rasanya kayak kehilangan bagian dari diri gue."

Rani menatap Kael dengan tatapan yang sulit dijelaskan, ada kekaguman, ada kehangatan, dan ada sesuatu yang lebih dalam lagi yang ia sendiri tidak sepenuhnya paham. "Lu tau gak, Kael? Lu beda dari bos-bos lain yang pernah gue denger. Lu gak cuma mikirin profit atau deadline. Lu beneran peduli sama orang-orang lu."

"Karena gue pernah kerja dengan bos yang gak peduli. Dan gue tau betapa sakitnya itu. Gue gak mau jadi orang kayak gitu," jawab Kael dengan jujur, suaranya pelan tapi penuh dengan keyakinan yang dalam.

"Makanya kita semua loyal sama lu. Makanya kita rela kerja keras kayak gini. Bukan karena takut atau karena uang. Tapi karena kita percaya sama lu. Percaya sama visi lu. Dan percaya bahwa lu bakal selalu jagain kita." Rani berbicara dengan suara yang mulai bergetar, emosinya hampir meluap tapi ia tahan dengan kuat.

Kael tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menatap Rani dengan senyum yang penuh rasa terima kasih, senyum yang mengatakan lebih banyak dari seribu kata yang bisa ia ucapkan.

Minggu berikutnya, Dimas kembali. Tangannya sudah jauh lebih baik meskipun masih harus ekstra hati-hati. Ketika ia masuk ke studio, semuanya berhenti bekerja dan memberikan tepuk tangan yang riuh.

"Welcome back, Mas Dimas!" teriak Budi sambil melompat-lompat girang seperti anak kecil yang melihat ayahnya pulang dari kerja.

Dimas tertawa dengan mata yang berkaca-kaca. "Gue kangen kalian semua. Rasanya seminggu kayak sebulan."

"Kita juga kangen lu, Mas. Studio gak lengkap tanpa lu." Agus menghampiri dan memeluk Dimas dengan hati-hati agar tidak menyakiti tangannya yang masih dalam proses penyembuhan.

Kael berjalan menghampiri dengan senyum lebar yang jarang ia tunjukkan. "Selamat datang kembali, Mas. Tapi gue mau lu kerja setengah hari dulu minggu ini. Jangan langsung full. Kita gak mau lu kambuh."

"Setuju. Gue bakal patuh. Gue udah belajar pelajaran-nya." Dimas menjawab sambil mengangkat tangan kanannya yang masih dibalut perban tipis, seolah berjanji untuk lebih hati-hati.

Malam itu, mereka merayakan dengan sederhana, makan bakso di warung langganan mereka sambil tertawa dan bercerita tentang momen-momen lucu selama Dimas tidak ada.

"Lu tau gak, Mas, Budi sampe bikin sound effect pake panci yang kayak suara orang jatuh. Kita semua ketawa sampe nangis," cerita Sari sambil tertawa mengingat kejadian itu, tangannya meniru gerakan Budi yang konyol.

"Eh, itu percobaan yang valid kok! Cuma kebetulan hasilnya… agak absurd." Budi membela diri sambil tertawa juga, wajahnya memerah karena malu tapi tetap bangga dengan eksperimennya.

Kael duduk di ujung meja, menatap tim-nya yang tertawa lepas dengan perasaan hangat yang memenuhi dadanya. Ini adalah momen yang ia rindukan, momen sederhana di mana mereka bukan hanya rekan kerja, tapi keluarga yang saling support, saling peduli, dan saling menjaga satu sama lain.

"Kita bisa. Kita pasti bisa selesaikan film ini. Karena kita punya sesuatu yang lebih penting dari skill atau teknologi, kita punya satu sama lain," bisiknya pada diri sendiri sambil tersenyum, hatinya penuh dengan syukur dan harapan yang tidak pernah padam.

1
Syahrian
🙏
Syahrian
😍🙏
Syahrian
👍🙏
Syahrian
😍
Syahrian
👍🙏
Revan
💪💪
Syahrian
Lanjut thor
Kila~: siap mang💪
total 1 replies
pembaca gabut
thorr lagi Thor asik ini 😭
±ηιтσ: Baca karyaku juga kak
judulnya "Kebangkitan Sima Yi"/Hey/
total 2 replies
pembaca gabut
asli gue baca ni novel campur aduk perasaan gue antara kagum dan takut kalo kael dan tim gagal atau ada permasalahan internal
Syahrian
Lanjut thor👍👍
Revan
💪💪💪
Revan
💪💪
Syahrian
Tanggung thor updatenya🙏💪👍
Kila~: udah up 3 chapter tadi bang/Hey/
total 1 replies
Syahrian
🙏👍👍
Kila~: makasii~/Smile/
total 1 replies
Syahrian
👍🙏
Syahrian
😍
Syahrian
👍
Syahrian
Lanjut 👍😍
Kila~: sudah up 2 chapter nih
total 1 replies
Syahrian
Lanjuut🙏
Kila~: besok up 3 chapter 😁
total 1 replies
Syahrian
Mantap💪🙏
Kila~: terimakasih bang/Rose/
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!