Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."
Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.
Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.
Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.
Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
Derit ringan dari tas kecil Karmel memecah ketegangan di kamar itu saat dia merogohnya dengan gugup. Ponselnya berdering dengan nada khusus yang dia atap untuk Bima. Nama itu bersinar di layar, seperti pengingat dunia nyata yang mencoba menembus gelembung ruang terpisah ini.
MAS BIMA.
"Hallo, Mas..." suara Karmel terdengar terburu-buru, sedikit lebih tinggi dari biasanya, saat dia mengangkat telepon.
"Kamu di mana, Mel?" tanya Bima dari seberang, suaranya tenang namun penuh perhatian.
"Aku..." Otak Karmel berpacu mencari alasan yang masuk akal. Pandangannya melirik Renzi yang masih duduk di sofa, matanya mengawasi dengan intens. "Aku di luar, Mas. Tadi Ibu telpon. Di dalam suaranya berisik." Bohongnya terasa kaku di lidahnya sendiri.
Tanpa peringatan, kehangatan tubuh Renzi tiba-tiba menyelimuti punggungnya. Lengan pria itu melingkari pinggangnya dari belakang, menahannya dengan erat. Karmel menahan napas, tubuhnya menjadi kaku. Nafas Renzi yang hangat mengenai kulit lehernya yang terbuka, menciptakan gelombang rasa yang bertentangan—kenangan lama yang tak diinginkan dan kemarahan yang menyala.
"Kamu di sebelah mana? Biar aku ke situ," tawar Bima, tidak mendeteksi sesuatu yang aneh.
"Aku..." Karmel mencoba bicara, tapi nafasnya tercekat saat Renzi menurunkan kepalanya, menempelkan bibirnya pada bahu Karmel. Bukan ciuman, tapi sebuah ancaman diam-diam. Tangan Renzi mulai bergerak perlahan di perutnya, telapak tangannya yang panas terasa melalui kain gaun tipisnya. Setiap jari seolah menorehkan klaim kepemilikan.
"Aku di toilet, Mas..." desis Karmel, berusaha keras menahan desahan nafasnya yang mulai tidak beraturan. Jantungnya berdebar kencang, ditampar oleh kehadiran Renzi dan upayanya untuk berbicara normal dengan Bima. "Sebentar lagi aku balik."
"Oke, aku tunggu di mini bar ya," kata Bima.
"I... iya," jawab Karmel, kata terakhirnya hampir terputus saat Renzi menggigit lembut kulit bahunya, sebuah sentuhan yang penuh muatan dan provokatif.
Begitu panggilan berakhir, Karmel melepaskan diri dengan kasar, berbalik menghadapi Renzi dengan wajah memerah oleh amarah dan rasa malu.
"Apa-apaan sih kamu!" teriaknya, suaranya bergetar. Tangannya mengepal, siap untuk menyerang atau membela diri.
Tapi Renzi sudah bergerak lebih cepat. Sebelum Karmel bisa mundur, tangannya yang kuat menarik tubuh ramping Karmel mendekat, menghilangkan semua jarak antara mereka. Dan kemudian, tanpa amaran, tanpa permintaan maaf, dia menurunkankan mulutnya ke atas mulut Karmel.
Ciuman itu bukan ciuman yang lembut atau penuh kerinduan. Ini adalah serangan—brutal, mengklaim, dan penuh dengan amarah yang terpendam. Bibir Renzi menghantam bibir Karmel dengan kekerasan, gigi mereka nyaris bertabrakan. Tangannya meremas sisi wajah Karmel, memaksanya untuk diam, sementara tubuhnya menindihnya ke arah dinding terdekat.
Karmel melawan. Tangannya mendorong dada Renzi, kukunya mencakar lengan pria itu. Kepalanya bergerak keras ke samping, memutus kontak untuk sesaat, hanya untuk Renzi segera mengejarnya, menangkap bibirnya lagi dengan lebih kejam. Ada rasa logam di mulutnya—mungkin bibirnya yang terluka.
"Lepas!" teriak Karmel di antara ciuman paksa itu, suaranya teredam oleh mulut Renzi.
Tapi Renzi tidak mendengarkan. Ciumannya semakin dalam, lidahnya memaksa masuk, menaklukkan, menghukum. Ini adalah ciuman yang penuh dengan pesan-pesan yang tidak terucap: Kau masih milikku. Kau tidak boleh lari. Aku masih mengendalikanmu.
Karmel terus berjuang, tetapi tubuhnya mulai kelelahan. Di tengah kekerasannya, ada sesuatu yang mengkhianatinya—kenangan ototnya akan sentuhan ini, keakraban dari napas ini. Itu membuatnya semakin marah, pada dirinya sendiri, pada kelemahan yang tersisa.
Akhirnya, dengan sisa kekuatan, Karmel mengangkat lututnya, mendaratkan pukulan tumpul ke paha Renzi. Pria itu mengerang kesakitan, cengkeramannya mengendur cukup lama bagi Karmel untuk melepaskan diri. Dia terhuyung mundur, nafasnya tersengal-sengal, bibirnya bengkak dan berdenyut. Matanya yang berapi-api menatap Renzi, yang sekarang berdiri dengan sedikit membungkuk, wajahnya keruh oleh rasa sakit dan sesuatu yang mirip dengan kepuasan.
"Jangan pernah sentuh aku lagi," desis Karmel, suaranya parau namun penuh tekad.
Renzi menyeka sudut mulutnya dengan punggung tangan, senyum tipis yang mengerikan muncul. "Tubuh kamu masih merespon aku dengan baik, Mel."
Kata-kata itu seperti tamparan kedua. Karmel berbalik, mengambil sepatunya dan tas kecilnya, lalu berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Renzi sendirian di ruangan yang penuh dengan sisa-sisa pertempuran mereka. Tapi meski tubuhnya pergi, rasa ciuman paksa itu masih melekat, mengingatkannya bahwa dalam perang ini, garis antara benci dan keinginan terkadang sangat tipis—dan Renzi adalah ahli dalam mengaburkan batas-batas itu.
***
Pakaian Renzi akhirnya kembali, dibawa oleh petugas laundry dengan kereta dorong perak kecil. Jas tuxedo hitam dan celana trousers tergantung rapi di dalam garment bag plastik bening, bersih, rapi, dan beraroma lembut seperti kapur barus dan setrika panas.
Renzi mengambilnya, membuka kantong plastik dengan gerakan kasar yang hampir merobeknya. Dalam diam, Karmel mengamati dari sudut kamar, berharap pria itu akan segera berpakaian dan pergi.
Tapi seperti yang sering terjadi, Renzi—jenius dalam membaca grafik saham dan merancang strategi bisnis yang rumit—ternyata canggung dalam hal-hal praktis seperti ini. Dia memasukkan kaki ke dalam celana, menariknya, tetapi kancing dan retsleting di bagian pinggang tampak membingungkannya. Jarinya yang biasanya lincah memegang pena atau mengetik di keyboard, kini terlihat kaku.
Dia mencoba memasang kancing kecil itu, tetapi jempol dan telunjuknya tak seirama. Ekspresi wajahnya yang biasanya dingin, kini sedikit berkerut oleh konsentrasi dan ketidaksabaran.
Karmel menghela napas. Tanpa disadari, kakinya sudah melangkah mendekat. "Sini aku benerin," ucapnya pendek, suaranya datar.
Dia mengambil alih, jari-jarinya yang terlatih dengan cepat mengancingkan dan meretsleting celana itu. Gerakannya efisien, otomatis, seperti melakukan ritual yang sudah dilakukan ribuan kali. Dalam diam, ingatannya melayang ke masa lalu—ke apartemen lamanya, di pagi hari sebelum Renzi pergi kerja. Dia selalu membantunya merapikan dasi, mengancingkan manset, atau membereskan kerah yang melipat ke dalam. Itu adalah rutinitas intim yang dulu ia lakukan dengan rasa sayang, bukan keterpaksaan seperti sekarang.
Setelah celana, giliran jas. Renzi memasukkan tangannya, tetapi kerah bagian belakang jasnya terlipat ke dalam. Dia mencoba meraihnya tetapi tidak berhasil.
"Gini aja nggak bisa," gumam Karmel sambil berjalan ke belakangnya. Tangannya dengan sigap membenarkan kerah itu, merapikan lipatan kecil di bahu, menarik sedikit lengan jas agar jatuhnya sempurna. Setiap sentuhannya cepat, profesional, dan berusaha keras untuk tidak mengandung emosi.
Tapi aroma tubuh Renzi yang familiar, campuran parfum kayu dan sesuatu yang sangat maskulin, menyergap indranya. Suhu tubuhnya yang terasa melalui kain, kenangan tentang bagaimana dulu setelah membantunya berpakaian, Renzi akan menariknya ke dalam pelukan dan mencuri ciuman singkat sebelum berangkat—semua itu menerpa Karmel seperti gelombang yang tak diundang.
Untuk sesaat yang sangat singkat, mungkin hanya sedetik, tangan Karmel terhenti di pundak Renzi. Napasnya tertahan. Di cermin besar di depan mereka, tatapan mereka bertemu. Ada sesuatu yang berkedip di mata Renzi—bukan kemenangan atau kelicikan, tapi sesuatu yang lebih dalam, lebih jujur, seperti gema dari masa lalu ketika mereka masih menjadi satu tim.
Kemudian realitas menghantam. Karmel buru-buru menarik tangannya seolah tersetrum. Dia mundur beberapa langkah, menciptakan jarak aman.
"Udah. Coba lihat," ujarnya, suaranya sedikit serak.
Renzi memandangi dirinya di cermin. Jasnya sekarang sempurna, tanpa cacat. Dia tidak berterima kasih. Hanya anggukan singkat. Matanya yang dingin kembali, topengnya sudah terpasang kembali.
Dia mengambil dompet dan ponsel dari meja, lalu berjalan menuju pintu tanpa menoleh. Tangan memegang gagang pintu, dia berhenti sejenak. "Kamu tetap wanita paling cerdas dan paling menyebalkan yang pernah aku kenal, Karmel," ucapnya, suaranya datar, sebelum akhirnya keluar dan meninggalkannya sendirian.
Pintu tertutup dengan bunyi klik yang lembut. Karmel terdiam di tengah kamar, tubuhnya masih terasa hangat oleh sisa adrenalin dan... sesuatu yang lain. Dia menatap cermin, melihat bayangannya sendiri yang tampak terpukau. Bibirnya masih terasa bengkak dari ciuman paksa sebelumnya, tetapi sentuhan membantu Renzi berpakaian tadi terasa berbeda—lebih lembut, lebih rentan, lebih manusiawi.
Dia menggeleng keras, mengusir pikiran itu. Ini hanya ilusi, bisiknya pada diri sendiri. Dia tetap Renzi yang sama. Manipulator. Licik.
Dengan tekad baru, Karmel berjalan ke kamar mandi suite yang mewah. Di bawah cahaya lampu neon yang terang, dia memperbaiki riasannya yang sudah agak luntur. Dia menatap mata sendiri di cermin, mengingatkan dirinya tentang semua luka, semua penghinaan, semua ancaman. Dia memberesi rambutnya, mengoleskan ulang lipstik, dan menarik napas panjang.
Ketika dia akhirnya keluar dari kamar dan berjalan menyusuri koridor hotel yang mewah menuju kembali ke pesta, langkahnya tegas. Dia adalah Karmel Agata, Manager perusahaan tambang yang sukses, wanita yang sudah bangkit dari puing-puing hati yang hancur. Malam ini, dia akan kembali ke pesta, menemui Bima, dan melanjutkan hidupnya—tanpa Renzi.
Tapi di sudut hatinya yang paling gelap, dia tahu sesuatu telah bergeser. Kenangan tidak hanya hidup di masa lalu; kadang mereka menyelinap ke dalam sekarang, mengaburkan batas antara benci dan sesuatu yang pernah bernama cinta. Dan malam ini, Renzi sekali lagi berhasil membuatnya mengingat.