Selina harus menelan pahit kenyataan di kala dirinya sudah bercerai dengan mantan suami hasil perjodohan. Ternyata tak lama setelah itu, dia menemukan dirinya tengah berbadan dua.
Selina akhirnya memutuskan untuk membesarkan bayinya sendiri, meskipun harus menjadi ibu tunggal tak membuatnya menyerah.
Berbeda dengan Zavier. Mantan suaminya yang hidup bahagia dan mewah dengan kekasihnya. Seseorang sudah hadir di hidup pria itu jauh sebelum kedatangan Selina.
Akankah kebenarannya terungkap seiring berjalannya waktu? Belum lagi Selina Kini harus terjebak dengan seorang bos yang sangat menyebalkan.
Ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1. Hari Sial
“Lin, liat deh ini…”
“Ini mantan suami kamu, lagi posting foto sama ceweknya. Caption-nya… ‘we’re ready to begin a new journey.’ Bau-baunya mau nikah nih.”
Wanita yang dipanggil Lin itu, hanya menoleh sekilas. Tatapannya datar.
“Terus?”
Emelia, menatapnya tak percaya. “Kamu nggak kaget gitu?”
“Kenapa mesti aku kaget? Toh mereka juga udah lama deket.”
Nada suara Selina terdengar tenang.
Dengan langkah pelan, Selina berdiri dari kursinya. Wanita dengan seragam hitam putih bertuliskan Lincoley Cafe itu menuju pantry, menuang air ke dalam gelas, lalu meneguknya sedikit.
“Maksudnya udah lama deket gimana? Kamu nggak pernah cerita apapun ke aku soal ini,” tanya Emel masih penasaran.
Selina menghela napas dalam. “Aku nggak mau ingat-ingat itu. Lagian dia udah jadi masa lalu aku. Ngapain repot-repot mikirin dia sama siapa.”
Emel mendekat, lalu mengusap bahu Selina pelan. “Tapi tetap aja, masih ada yang menjadi pengikat kalian. Kalau aku jadi kamu, udah aku bilang dari awal soal Rianzo ke dia. Tapi…” Emel berhenti sejenak. “Aku hargai keputusan kamu. Kamu pasti lebih tahu apa yang terbaik buat hidup kamu dan juga Ian.”
Sebagai single parent, Selina menghidupi dirinya dan putranya yang berusia enam tahun dengan bekerja sebagai karyawan di Lincoley Cafe, sebuah café berbasis luar negeri. Gajinya cukup untuk membayar kontrakan, biaya sekolah dan belanja, serta kebutuhan makan sehari-hari.
“Sayang!! Mama pulang!!” seru Selina riang begitu memarkirkan motornya di halaman rumah kontrakan sederhananya.
Pintu terbuka, namun ternyata yang muncul bukan putranya, melainkan Bi Desi, tetangga baik yang kerap membantunya menjaga Ian.
"Eh Bibi..."
“Makasih banyak udah jagain Rianzo ya, Bi. Oh iya, ini aku bawain roti boy. Tadi pak bos di kafe kasih banyak.” Selina tersenyum sambil menyerahkan bungkusan roti.
“Wah, makasih banyak Lin. Bibi pulang dulu ya, Ian di kamar lagi nonton TV,”
“Sekali lagi makasih banyak, Bi.”
“Sama-sama, besok kalau bibi nggak datang berarti sibuk.”
Setelah melepas sepatunya dan meletakkan tas, Selina mencuci tangan lalu menuju kamar. Begitu pintu terbuka, seorang bocah berambut keriting lekas bangkit dari kasur.
“Mama!!!” seru Rianzo.
Selina tak menunggu lama, segera menggendong putranya lalu membawanya ke ruang tengah.
“Gimana kerjaan Mama hari ini?”
“Baik, kayak biasa kafe selalu ramai. Nih, Mama bawain roti boy buat Ian.” Selina tersenyum sambil mendudukkan anaknya di sofa.
"Gimana juga sekolah Ian?"
“Mama… tadi di sekolah, Ian disuruh nyebutin keluarga yang Ian punya.”
Selina menoleh.
“Ian jawab apa?” tanyanya lembut.
“Ian cuma bilang punya Mama.” Suaranya lirih. “Terus… teman-teman ketawa. Mereka bilang keluarga mereka lengkap—ada Papa, Mama, kakek, nenek, kakak, adik. Sedangkan Ian cuma satu…”
Perkataan itu membuat Selina yang hendak membuka kotak roti terhenti.
"Tapi kata Ian, Mama Ian bilang kalau Mama bisa jadi Papa, bisa jadi Nenek, bisa jadi Kakek, atau jadi temen. Pokoknya Mama itu paket lengkap, bisa jadi apa aja.”
Selina tersenyum miris mendengarnya. Hatinya terasa perih. Ia berusaha mati-matian menahan air mata agar tidak jatuh di depan putranya.
“Kamu sedih?” tanya Selina lembut, tangannya mengangkat dagu anak itu agar menatapnya.
Bocah itu menggeleng cepat. “Ian nggak sedih, karena kalau Ian sedih, Mama juga sedih.”
Kata-kata sederhana itu sukses membuat pertahanan Selina runtuh. Ia lekas memeluk putranya erat, mengecup berkali-kali ubun-ubun-nya. Dalam hatinya, ia terus-menerus menggumamkan kata maaf.
•
•
“Ian… udah, Nak, mandinya. Udah jam tujuh!”
Beginilah rutinitas mereka setiap hari. Selina selalu bangun lebih awal untuk membereskan rumah, menyiapkan sarapan, dan memastikan putranya siap berangkat sekolah. Setelah mengantar Ian ke sekolah, ia langsung menuju Lincoley Cafe, bekerja dari pagi hingga pukul sembilan malam.
Di sela jam istirahatnya, Selina akan menyempatkan diri menjemput Ian, lalu mengantarnya pulang atau membawanya ke kafe, kadang di temani Bi Desi atau hanya sendiri saja dia di rumah.
“Bentar lagi, Ma!” teriak Ian dari kamar mandi.
“Mama habisin ya telur oreknya!”
“Jangan, Mama! Ian keluar sekarang!”
Selina terkekeh geli, betapa putranya sangat protektif dengan makanan kesukaannya itu. Telur orek memang makanan favorit Ian. Sesaat, Selina teringat pada seseorang—sosok yang juga punya kesukaan yang sama. Seketika senyumnya memudar. Ingatan itu menyeretnya ke lingkaran masa lalu yang sudah ia kubur rapat.
“Mama!! Jangan habisin telurnya!” suara bocah itu memecah lamunannya.
Selina tersentak. Rupanya Ian sudah berdiri di hadapannya dengan handuk melilit pinggang. Ia buru-buru bangkit.
“Ah, nggak, Sayang. Mama cuma bercanda. Sini, Mama bantu pake seragam,” katanya sambil menggandeng tangan mungil itu.
Usai sarapan dan bersiap-siap, Selina dan Ian kini berada di atas motor pink kesayangannya, melaju pelan menuju sekolah.
Dua ibu dan anak itu kini sudah ada di depan gerbang sekolah, Selina menunduk, merapikan kerah seragam putranya.
“Ingat, jangan berantem sama teman, ya. Kalau mereka ngejek, langsung lapor ke Bu Guru. Oke?” ucapnya lembut.
“Siap, Mama!”
“Gih, sana masuk.” Selina menepuk pundaknya pelan.
Ian berlari kecil, melambaikan tangan sebelum akhirnya menghilang di balik pintu kelas. Setelahnya ia kembali menyalakan motor dan melajukan kendaraannya menuju Lincoley Cafe.
Begitu tiba di Lincoley Cafe, Selina langsung menuju ruang ganti dan mengenakan seragam hitam putih LC. Pagi ini suasana kafe masih lengang, hanya ada beberapa pelanggan yang mampir untuk sarapan atau sekadar ngopi. Biasanya, kafe akan benar-benar ramai menjelang sore hingga malam.
“Lin, bisa anter pesanan ke alamat ini nggak?” suara Emel terdengar dari balik meja bar sambil mengangkat selembar nota.
Selina yang kini tengah menyapu lantai menoleh cepat. “Kenapa nggak kamu aja sih? Aku lagi nyapu.”
Emel hanya menyengir. Dari ekspresi teman kerjanya itu, Selina sudah paham. Ia menghela napas pasrah, lalu meraih paper bag besar berlogo LC di tangan Emel.
“Ya udah, tapi gantian. Kamu yang nyapu, sampai bersih.”
“Siap, Bos,”
Selina keluar dari kafe. Di Lincoley, hanya ada enam sampai tujuh karyawan saja. Ada barista, kasir, pramusaji, bagian kebersihan, hingga pengantar pesanan. Pekerjaan sering kali saling bergantian sesuai kebutuhan, dan Selina termasuk yang jarang menolak bila diminta bantuan.
Biasanya tugas mengantar orderan memang bagian Emel. Tapi karena matahari siang itu terik menyengat, Emel sengaja menyerahkannya pada Selina—dan seperti biasa, Selina mau-mau saja.
Tak lama, ia tiba di alamat tujuan. Setelah mengetuk pintu dan menyerahkan paper bag, seorang pelanggan menyambut ramah.
“Totalnya enam puluh ribu, Mbak,”
“Nih, Terima kasih.”
“Terima kasih kembali,”
Usai mengantar pesanan, Selina kembali melajukan motor menuju kafe. Namun Baru beberapa menit perjalanan, motornya goyang, membuat Selina panik.
“Alamak! Kayaknya ban motorku kempes…”
Belum sempat mengerem, motornya oleng dan—
Brughhh!!
Tubuh Selina tersentak, jantungnya serasa mau copot. Motor itu menabrak bagian belakang sebuah mobil hitam mewah yang terparkir di pinggir jalan, mobil bermerek Mercedes-Benz itu kini lecet di bagian belakang.
Sang pemilik mobil yang ternyata ada di mobil sedang bertelepon-an dengan seseorang sontak terkejut.
“Bunyi apa itu?” tanya seseorang di seberang telepon.
“Sepertinya ada yang menabrak mobilku. Sial!” jawabnya. Ia menutup ponselnya, lalu melirik kaca spion.
Dengan gerakan cepat, pria itu keluar dari mobil. Wajahnya menegang, matanya langsung membola saat melihat bagian belakang mobil kesayangannya penyok dan lecet.
“Ya ampun… maaf, maaf, saya nggak sengaja!” Selina buru-buru turun dari motornya, tubuhnya gemeteran sekarang.
"Apa-apaan ini!?"
"Apa kamu tidak bisa mengemudikan motor dengan benar!?"
"Maafkan saya...maaf,"
Tatapan tajam pria itu menusuknya. Napasnya memburu, rahangnya mengeras.
“Ganti! Sepuluh juta. Sekarang!” bentaknya.
“Apa?!”
padahal lembek