Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.
Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.
My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20
Dua bulan. Enam puluh hari yang mengubah lanskap emosional mereka dengan cara yang tak pernah sepenuhnya bisa dipahami oleh Rayyan. Seperti sungai yang secara perlahan mengikis tebing batu, kehadiran Jessy yang gigih—kini dalam wujud yang lebih lembut—telah mulai melunakkan benteng pertahanannya.
Perubahannya tidak dramatis, tetapi halus dan signifikan. Jessy Sadewo, yang dulu bersenjatakan senyum sinis dan tatapan merendahkan, kini lebih sering terlihat tersenyum—bukan yang penuh kemenangan, melainkan senyum kecil yang tulus, seringkali ditujukan padanya. Arogansinya telah menyusut, digantikan oleh sebuah kerentanan yang membuatnya justru semakin memesona. Dia tidak lagi menjadi tukang bully yang kejam; Rayyan pernah menyaksikannya sendiri, dengan rasa takjup yang terpendam, bagaimana Jessy membantu seorang mahasiswi tahun pertama yang kebingungan menemukan ruang kuliah. Itu adalah pemandangan yang mustahil dua bulan lalu.
Nilai-nilainya, yang dulu nyaris tenggelam, kini meroket. Rayyan, dengan kesabarannya yang dingin namun tak pernah goyah, adalah mentornya. Dan Jessy, dengan kecerdasan bawaan yang lama terpendam oleh kemalasan dan privilege, ternyata adalah murid yang cepat tangkap. Ada kebanggaan tersendiri yang Rayyan rasakan, meski tak pernah diucapkan, setiap kali Jessy berhasil memecahkan soal rumit atau mendapatkan nilai A.
Keluarga Sadewo pun telah berubah menjadi sebuah tempat yang nyaris… normal baginya. Rumah megah itu tidak lagi terasa seperti museum yang menakutkan, melainkan sebuah rumah dengan ritme dan kehangatannya sendiri.
Suatu sore, seusai sesi belajar di paviliun, Gio—si adik yang energik—langsung menyergap begitu Rayyan melangkah masuk ke ruang keluarga.
"Mas Rayyan, main PS lagi yuk!" pinta Gio, mata remaja itu berbinar penuh harap. Ini sudah menjadi ritual mingguan mereka.
Sebelum Rayyan sempat membuka mulut, Jessy yang sedang merebahkan diri di sofa velvet dengan textbook di pangkuannya, langsung menyergak. "Main PS mulu, bikin otak bodoh tau nggak!" serunya, tapi nadanya lebih pada keluhan kakak yang kesal, bukan hardikan.
Gio hanya menyeringai, tak tergoyahkan. "Otak aku sama Mas Rayyan sih encer. Emang kakak," ledeknya dengan polosnya, sambil melirik Jessy dengan tatapan penuh tantangan.
Wajah Jessy langsung memerah. "Gio! Gue hajar lo ya!" ancamnya, melemparkan bantal sofa ke arah adiknya yang dengan lincah menghindar.
Rayyan hanya menyaksikan pertengkaran kakak-beradik itu dengan diam, sebuah sensasi aneh berdenyut di dadanya. Dia tidak terbiasa dengan keributan seperti ini, dengan kehangatan yang kacau dan penuh kehidupan. Di keluarganya yang hanya berdua, sunyi adalah satu-satunya suara. Tapi di sini, di tengah teriakan Gio dan rengekan Jessy, dia justru merasa… diterima. Sebuah senyum sangat samar, hampir tak terlihat, menyentuh sudut bibirnya sebelum dengan cepat menghilang.
Keheningannya segera dipotong oleh suara lembut Lina. "Makan malam dulu, Yan."
"Terima kasih, Bu," balas Rayyan dengan sopan, mengangguk pada wanita elegan yang kini memandangnya dengan kasih sayang yang tidak disangka-sangkanya.
Mereka berpindah ke ruang makan. Meja marmer panjang dipenuhi hidangan lezat di atas piring-piring berpinggiran emas. Krystal dan perak berkilauan di bawah lampu gantung. Rayyan duduk di antara Jessy dan Gio, sementara Adi Sadewo duduk di seberangnya.
Saat makan malam berlangsung, Adi—dengan kacamata baja dan postur pemimpinnya—memandang Rayyan. "Jadi, bagaimana prospekmu setelah lulus nanti, Yan?" tanyanya, bukan sebagai interogasi, tapi sebagai seorang mentor yang peduli.
Rayyan menegakkan badannya. Inilah momen yang dia tunggu-tunggu, sebuah pencapaian yang murni berasal dari usahanya sendiri, terlepas dari nama Sadewo.
"Saya sudah diterima bekerja, Pak," ujarnya, suaranya tenang namun penuh keyakinan.
Suasana di meja makan langsung berubah. Semua mata tertuju padanya. Jessy berhenti memainkan garpunya, matanya membesar.
Adi menyandarkan tubuhnya ke kursi, lipatan serbet di pangkuannya. "Jadi kamu udah diterima kerja?" tanyanya, memastikan. Sebuah kebanggaan tersembunyi terpancar dari matanya yang tajam.
"Iya, Pak." Rayyan mengangguk. "Beberapa waktu lalu saya mengikuti tes online di PT. Energi Dinamika Nusantara."
PT. Energi Dinamika Nusantara. Nama perusahaan energi terbesar dan paling bergengsi di negara itu. Sebuah nama yang berbicara tentang kompetisi ketat dan prestise.
Adi mendengus, terkesan. "Jadi kamu lulus tesnya dan diterima bergabung di sana?" tanyanya sekali lagi, seolah ingin mendengar pengakuannya sekali lebih.
Rayyan mengangguk lagi, kali ini lebih mantap. "Iya, Pak."
Seketika itu, Adi Sadewo—sang raja bisnis yang biasanya dingin dan terukur—langsung bertepuk tangan. Suara tepukannya yang keras dan tegas bergema di ruangan yang hening. Sebuah senyum lebar, langka dan tulus, menghiasi wajahnya.
"Saya sudah tau kalau kamu memang jenius," pujinya, suara baritannya penuh rasa bangga. Dia menghela napas, sebuah helaan lega yang dalam. "Tadinya, sebenarnya saya berniat memasukkan kamu ke salah satu cabang kantor saya." Diakuinya, sebuah tawaran yang akan dijamin membuat siapa pun langsung sukses. "Tapi," lanjutnya, menatap Rayyan dengan penuh respek, "kalau ini pilihan terbaik buat kamu, saya sangat mendukung."
Itu adalah pengakuan tertinggi. Sebuah restu yang tidak hanya diberikan sebagai calon mertua, tetapi sebagai sesama pejuang di dunia bisnis. Rayyan merasakan dadanya dipenuhi oleh rasa syukur yang membuncah. Keluarga ini, dengan segala kemewahannya, telah memberinya sesuatu yang lebih berharga daripada uang: pengakuan dan dukungan tanpa syarat.
Dari sampingnya, sebuah sentuhan halus menarik perhatiannya. Tangan Jessy yang hangat dan lembut menyelip ke bawah meja, menemukan tangannya. Jari-jarinya yang manicure dengan sempurna mengeratkan genggaman pada jemarinya yang kokoh.
"Kamu hebat," bisiknya, suaranya lirih dan penuh kekaguman, hanya untuknya.
Rayyan membiarkan tangannya tergenggam, merasakan kehangatan itu merambat dari kulitnya ke seluruh tubuhnya. Dia melihat ke arah Jessy. Cahaya lampu kristal memantul di mata hazelnya yang berbinar, memancarkan kebanggaan dan cinta yang tak terbendung. Dalam diam, dia membalas genggamannya, sebuah sentuhan balasan yang singkat namun penuh arti.
Dia merasa bersyukur. Bersyukur diterima di keluarga terpandang ini, di meja makan mewah ini, dengan orang-orang yang kini menganggapnya sebagai bagian dari mereka.
Tapi kemudian, seperti bayangan dingin yang mengintai di balik tirai kemewahan, sebuah pertanyaan menggigit pikirannya, mengusik kebahagiaan yang baru saja dia rasakan.
Lalu bagaimana dengan Ibu?
Bagaimana caranya membawa Jessy—dengan latar belakangnya yang megah, masa lalunya yang arogan, dan segala paradoksnya—ke hadapan Maryam, wanita sederhana yang hidupnya dihabiskan di balik oven dan kedai roti? Bagaimana mungkin dia bisa menyatukan dua dunia yang bagai minyak dan air ini tanpa melukai hati wanita yang telah mengorbankan segalanya untuknya?
Kepalanya terasa berat. Di satu sisi, ada karpet merah masa depan yang terbentang di PT. Energi Dinamika Nusantara dan pelukan hangat keluarga Sadewo. Di sisi lain, ada sebuah kedai roti sederhana dan seorang ibu yang menantinya dengan harapan yang mungkin terlalu besar untuk dipenuhi.
Dan di tengah-tengahnya, ada dirinya—Rayyan Albar—terjebak di antara dua kutub cinta yang sama-sama kuat, sama-sama mengikat, dan sama-sama menuntut pengorbanan.
***
Suara ketukan yang berirama dan tak sabar mengganggu kesunyian kamar kos Rayyan yang sempit. Bunyinya nyaring, memecah konsentrasinya yang sedang terpusat pada deretan kode program di layar laptop.
Dia mengalihkan pandangannya dari layar, matanya yang lelah menatap jam dinding murah yang tergantung di dinding kosong. Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam.
"Siapa sih jam segini ketok-ketok," gumamnya dalam hati, rasa kesal yang wajar muncul. Malam Minggu biasanya adalah waktunya untuk menyendiri, mengisi ulang tenaga setelah sepekan beraktivitas.
Namun ketukan itu tak kunjung berhenti, semakin mendesak, seakan-akan si pengetuk yakin betul ada orang di dalam.
"Iya... Iya... Sabar!" gerutunya keluar, suara baritannya terdengar lebih dalam karena sedikit iritasi. Dia menyimpan pekerjaannya, bangkit dari kursi kayu yang reyot, dan berjalan pelan menuju pintu.
Saat dia membuka pintu, dunia seolah terhenti sejenak.
Deg.
Jantungnya berdebar kencang, bukan karena takut, tapi karena kejutan yang tak terduga.
Jessy Sadewo berdiri di sana, memenuhi bingkai pintu yang sempit dengan kehadirannya yang selalu memesona. Dia mengenakan jeans ketat yang menampilkan lekuk tubuhnya yang seksi dan hoodie berwarna pastel yang terlihat mahal. Rambutnya yang biasanya tergerai sempurna, kini dikuncir sedikit acak-acakan, memberikan kesan santai yang jarang terlihat. Yang paling mencolok adalah tangannya yang penuh dengan belasan kantong plastik dari berbagai restoran dan kafe ternama, beberapa di antaranya bahkan masih menguap panas.
"Jes..." ucap Rayyan, suaranya terdagapl, tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Pikirannya langsung berpacu. Apa yang dia lakukan di sini? Di kosan khusus cowok ini?
"Surprise..." sahut Jessy, senyum lebar dan cerah menghiasi bibirnya yang merah alami. Matanya, yang seperti dua permata hazel, berbinar-binar penuh kemenangan kecil karena berhasil membuatnya terkejut.
Refleks pertama Rayyan adalah menengok kanan-kiri di koridor yang sepi, wajahnya menunjukkan sedikit kecemasan. "Kenapa?" tanya Jessy, alisnya yang tertata rapi berkerut melihat tingkah Rayyan yang waspada.
"Nanti kalau ada yang liat kamu kesini heboh. Ini kan kosan khusus cowok," jelas Rayyan, suaranya berbisik, seolah takut ada yang mendengar.
Jessy hanya mengangkat bahu, tak terganggu. "Bukannya kalau Sabtu Minggu penghuninya pada pergi ya? Cuma kamu aja yang ngedekem di sini," ujarnya, menunjukkan bahwa dia sudah mempelajari kebiasaan tempat ini. Perhatiannya yang tiba-tiba detail itu membuat Rayyan sedikit terpesona.
Dia melirik ke dalam kamar yang gelap di belakang Rayyan. "Aku boleh masuk kan?" tanyanya, suaranya tiba-tiba terdengar sedikit ragu, sebuah keraguan yang jarang muncul pada Jessy Sadewo.
Rayyan menghela napas pelan, lalu mengangguk. "Masuk, Jes." Dia membuka pintu lebih lebar, memberinya jalan.
Jessy melenggang masuk, matanya langsung menyapu sekeliling kamar yang sederhana itu. Kamar itu persis seperti yang dia bayangkan—sempit, hanya berisi satu tempat tidur single, sebuah meja belajar yang penuh dengan buku dan laptop, serta sebuah lemari pakaian kecil. Tapi semuanya rapi, bersih, dan teratur. Bau sabun mandi sederhana dan aroma kertas tua memenuhi udara, sebuah kontras tajam dengan wewangian mewah yang selalu menyertainya.
"Aku bawain makanan banyak," ujar Jessy, meletakkan semua kantong plastik itu di atas meja belajar yang sempit, nyaris menutupi seluruh permukaannya. Matanya kemudian berkeliling lagi. "Kamar kamu rapi ya. Padahal kecil begini," ucapnya, polos, tanpa maksud merendahkan.
Rayyan, yang kini berdiri bersandar di dekat pintu yang tertutup, menyeringai kecil. "Nggak sebanding sama kamar kamu ya?" sindirnya halus, tapi ada kehangatan di matanya yang biasanya dingin.
Jessy terkekeh. "Seukuran toilet kamar aku sih," godanya, jujur tanpa sadar. Lalu, dengan rasa ingin tahu, dia bertanya, "Kamu bayar berapa di sini?"
"Gratis. Ini fasilitas dari kampus," jawab Rayyan pendek, sebuah fakta yang membuat Jessy mengangguk pelan.
"Oh ya? Aku baru tau kampus punya kosan juga," gumamnya. Lalu, dengan logika bawaan sebagai putri pemilik yayasan, dia menambahkan, "Nanti aku suruh perluas deh ke Papi."
Sekali lagi, Rayyan menggeleng, sebuah senyum kecil yang tak disengaja muncul di bibirnya. "Ini udah lebih dari cukup, Jes," ujarnya, suaranya lembut, penuh syukur. Dia tidak ingin dianggap istimewa.
Pandangannya kemudian beralih ke tumpukan makanan di mejanya. Matanya membelalak. "Segini banyaknya, siapa yang mau abisin?" tanyanya, takjub.
Dengan cekatan, Jessy mulai memilah-milah makanan tersebut. "Yang ini kita makan sekarang, yang ini bisa kamu simpan," ujarnya, menunjuk beberapa bungkus. Lalu, dia melihat sekeliling. "Mana kulkas kamu?"
Rayyan terdiam sejenak sebelum menjawab, "Nggak punya kulkas."
Jessy terdiam. Matanya menunjukkan pemahaman, tapi juga sebuah tekad. "Hmm..." gumamnya, sambil tangan sudah meraih ponsel mahalnya dari saku hoodie.
Melihat jari-jari Jessy yang terawat itu mulai menari di atas layar, Rayyan langsung waspada. "Jangan beli kulkas!" serunya, mencoba mencegah kebiasaan Jessy yang selalu menyelesaikan masalah dengan uang.
Tapi Jessy hanya bergeleng pelan, senyum kecil yang nekat bermain di bibirnya. Dia sudah menekan tombol panggilan. "Mbok, kulkas kecil yang nggak dipake, tolong keluarin ya. Kasih Pak Asep, suruh kirim ke alamat yang aku kirim," perintahnya singkat. Percakapan singkat itu selesai dalam hitungan detik, dan Jessy menutup telepon dengan puas sebelum Rayyan bisa memprotes lebih lanjut.
"Jes... nggak usah lah," ucap Rayyan, rasa tidak enak terpancar jelas dari raut wajahnya yang tegang.
Jessy mendekatinya. "Nggak papa. Itu kulkas lama, tapi masih bagus kok. Sayang nggak dipake," jelasnya, berusaha meyakinkan. Matanya menatap Rayyan, tiba-tiba menjadi serius. "Kamu udah terlalu banyak kasih aku," bisik Rayyan, merujuk pada semua bantuan, pelajaran, dan mungkin, hatinya.
Jessy tersenyum, sebuah senyum yang lembut dan tulus, berbeda dari senyum kemenangan atau genitnya yang biasa. "Karena aku sayang kamu," ucapnya, polos dan langsung. Keberaniannya untuk mengungkapkan perasaan begitu terbuka, membuat Rayyan terpana.
Lalu, dengan spontanitas khasnya, Jessy bertanya, "Aku boleh cium kamu nggak?"
Pertanyaan itu menggantung di udara yang tiba-tara terasa panas. Rayyan menatapnya, melihat cahaya lampu neon kamarnya yang redup memantul di mata Jessy yang penuh harap dan keberanian. Dinginnya mulai mencair, digantikan oleh sebuah kehangatan yang hanya bisa dibangkitkan oleh gadis ini. Sebuah senyum tipis, jarang terlihat, akhirnya merekah di bibirnya yang biasanya tegas. Dia mengangguk. Sebuah persetujuan yang diberikan tanpa kata-kata.
Dan sebelum dia sempat mempersiapkan diri, Jessy sudah mendekat. Tapi Rayyan, yang mengira hanya akan mendapat ciuman di pipi, terkejut ketika Jessy tanpa ragu menempelkan bibirnya yang lembut dan hangat pada bibir Rayyan.
Seketika, semua suara di luar—deru motor yang lewat, suara televisi dari kamar sebelah—menghilang. Hanya ada mereka. Aroma parfum mahal Jessy bercampur dengan udara sederhana kamar kos itu. Rayyan, yang awalnya kaku, perlahan-lahan menanggapi. Tangannya yang awalnya tergantung di samping tubuh, naik dan dengan lembut merengkuh pinggang Jessy, menariknya lebih dekat. Ciuman itu bukan lagi sebuah kejutan, melainkan sebuah pertemuan—hangat, penuh rasa rindu setelah seminggu terpisah, dan penuh dengan segala perasaan yang tak terucap yang telah mereka bangun selama dua bulan ini. Di kamar kosnya yang sempit dan sederhana, dengan tumpukan makanan mewah di atas meja, Rayyan Albar akhirnya membiarkan dirinya tenggelam sepenuhnya dalam gelombang yang bernama Jessy Sadewo.
kudu di pites ini si ibu Maryam