NovelToon NovelToon
Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu / Action / Cinta Terlarang / Mafia / Romansa / Balas Dendam
Popularitas:100
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 8: MARCUS SANG MENTOR

Keesokan harinya.

Marcus membawa Alex ke tempat tinggalnya—sudut terpencil di kolong jembatan yang sama, tapi lebih tersembunyi. Ada terpal plastik yang dipasang untuk melindungi dari hujan, kardus-kardus yang lebih tebal untuk alas tidur, bahkan ada kompor kecil yang dibuat dari kaleng bekas.

"Ini rumahku," kata Marcus sambil menyalakan api di kompor kecil itu. "Tidak banyak, tapi lebih baik dari tidur di lantai dingin."

Alex duduk di atas kardus, masih memeluk boneka beruangnya. Matanya mengamati tempat ini—jauh lebih layak dibanding sudut gelap tempat ia tidur selama ini.

Marcus memasak sesuatu di atas api—air dalam kaleng yang sudah ia isi dengan sisa sayuran dan sepotong daging yang entah dari mana.

"Kamu sudah berapa lama tidak makan beneran?" tanya Marcus tanpa menoleh, matanya fokus pada masakan improvisasi itu.

"Tiga hari. Atau empat. Aku lupa."

Marcus mengangguk, tidak berkomentar. Beberapa menit kemudian, ia menuangkan sup sederhana itu ke dalam mangkuk plastik retak, menyerahkannya pada Alex.

"Makan. Pelan-pelan. Kalau terlalu cepat, kamu akan muntah."

Alex menatap mangkuk itu—sup hangat yang mengepul, aroma daging yang membuat air liurnya keluar tanpa sadar.

Tangannya gemetar ketika mengambil mangkuk itu.

Ia menyesap sedikit.

Hangat. Asin. Rasanya... seperti hidup.

Air mata jatuh ke sup itu tanpa ia sadari.

"Terima kasih," bisiknya, suaranya serak.

Marcus duduk di seberangnya, juga makan sup dari kaleng langsung. "Jangan berterima kasih. Ini bukan kebaikan. Ini investasi."

Alex mengangkat kepalanya, bingung.

"Aku akan melatihmu," kata Marcus sambil menyeruput supnya. "Tapi kamu harus bayar aku dengan cara jadi murid yang baik. Jangan manja. Jangan mengeluh. Dan jangan pernah bilang kamu tidak bisa."

Alex mengangguk pelan.

Mereka makan dalam diam. Tapi ini diam yang nyaman—berbeda dengan kesunyian mencekam yang Alex rasakan selama tiga minggu terakhir.

Setelah selesai, Marcus mengambil mangkuk Alex, membersihkannya dengan air hujan yang ia tampung di ember.

"Sekarang tidur," kata Marcus. "Besok kita mulai."

"Mulai apa?"

Marcus tersenyum—senyum tajam seperti pisau. "Mengubahmu dari anak lemah jadi pejuang."

Hari pertama latihan.

Alex terbangun ketika langit masih gelap. Marcus sudah terjaga, duduk bersila, matanya terpejam—seperti sedang meditasi.

"Bangun," kata Marcus tanpa membuka mata. "Kita mulai."

Alex bangkit, tubuhnya masih sakit di mana-mana—tulang rusuk yang retak, luka bakar di tangan, memar di sekujur tubuh.

"Aku... aku masih sakit," kata Alex pelan.

"Musuhmu tidak akan peduli kamu sakit atau tidak," jawab Marcus, kali ini membuka matanya—tajam seperti elang. "Mereka akan bunuh kamu saat kamu lemah. Jadi kamu harus belajar bertarung meski tubuhmu hancur."

Marcus berdiri, mengambil posisi bertahan. "Serang aku."

Alex menatapnya bingung. "Apa?"

"Serang aku. Pukul aku sekuat yang kamu bisa."

Alex ragu. Tapi ia melangkah maju, mengangkat tangannya yang gemetar, lalu memukul—

Marcus menangkap tangannya dengan mudah, memelintirnya, membuat Alex terjatuh dengan wajah mencium tanah.

"Lemah," komentar Marcus datar. "Lagi."

Alex bangkit, mencoba lagi.

Hasilnya sama—ia terjatuh dalam satu detik.

"Lagi."

Jatuh lagi.

"Lagi."

Dan lagi.

"LAGI!"

Sepuluh kali. Dua puluh kali. Tiga puluh kali.

Setiap kali Alex bangkit, setiap kali ia jatuh lagi.

Tubuhnya sudah tidak kuat. Tulang rusuknya terasa patah lagi setiap kali ia membanting tanah. Darah keluar dari bibirnya yang tergigit setiap jatuh.

"Aku... aku tidak bisa..." Alex berbaring di tanah, napasnya tersenggal.

"Tidak bisa?" Marcus berjongkok di sampingnya. "Kalau begitu mati saja sekarang. Karena kalau kamu bilang 'tidak bisa', kamu tidak akan pernah bisa balas dendam."

Alex menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku sudah coba—"

"COBA TIDAK CUKUP!" Marcus berteriak—untuk pertama kalinya ia benar-benar marah. "Kamu pikir orang yang bunuh keluargamu akan bilang 'aku sudah coba'? TIDAK! Mereka melakukan apa yang harus dilakukan! Brutal! Tanpa ampun!"

Marcus menarik kerah baju Alex, memaksanya duduk.

"Dengarkan aku baik-baik, Nak. Dunia ini tidak adil. Tidak ada yang peduli kamu lemah. Tidak ada yang peduli kamu sakit. Tidak ada yang peduli kamu menderita. Yang peduli hanya satu hal—apakah kamu KUAT atau LEMAH."

Ia melepaskan Alex, berdiri.

"Jadi putuskan sekarang. Kamu mau jadi kuat atau mau mati sebagai anak lemah yang tidak bisa melindungi keluarganya?"

Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari pisau.

Anak lemah yang tidak bisa melindungi keluarganya.

Alex mengingat Elena—teriakan Elena memanggil namanya.

Mengingat ibunya—jeritan ibunya saat terbakar.

Mengingat ayahnya—mata ayahnya yang putus asa.

Sesuatu di dalam Alex terbakar.

Ia bangkit—meski tulang rusuknya seperti ditusuk.

Mengangkat tangannya—meski tangannya gemetar hebat.

"Aku... aku tidak akan mati," desis Alex, matanya berubah—tidak lagi mata anak lima belas tahun yang ketakutan. "Aku akan jadi kuat. Aku akan bunuh mereka semua."

Marcus tersenyum. "Bagus. Sekarang serang aku. SEKARANG!"

Alex berlari, memukul dengan seluruh kekuatan yang tersisa—

Dan kali ini, Marcus harus mundur satu langkah kecil untuk menghindarinya.

"Lebih baik," komentar Marcus. "Tapi masih jauh dari cukup. Lagi."

Mereka berlatih sampai matahari terbit.

Sampai tubuh Alex benar-benar tidak bisa bergerak lagi.

Tapi Alex tidak mengeluh.

Tidak bilang "tidak bisa" lagi.

Karena ia sudah memilih.

Ia akan jadi kuat.

Atau mati mencoba.

Malam itu.

Alex berbaring di kardusnya, memeluk boneka beruang yang sudah mulai robek karena terlalu sering dipeluk.

Seluruh tubuhnya sakit—setiap inci, setiap otot, setiap tulang.

Tapi entah kenapa, rasa sakit fisik ini terasa lebih baik daripada rasa sakit hati yang ia rasakan tiga minggu terakhir.

Marcus duduk di seberangnya, menyalakan api di kompor kecil untuk menghangatkan mereka.

"Kenapa Anda menolongku?" tanya Alex tiba-tiba. "Anda bilang bukan kebaikan. Tapi... kenapa repot-repot melatih anak asing seperti aku?"

Marcus menatap api, matanya jauh—seperti melihat masa lalu yang menyakitkan.

"Karena aku melihat diriku tiga puluh tahun lalu di matamu, Nak."

"Anda bilang tadi—Anda juga kehilangan keluarga..."

Marcus mengangguk perlahan. "Istri dan anak perempuanku. Dibunuh oleh komandanku sendiri waktu aku masih di tentara. Dia... dia memperkos* istriku di depanku. Lalu bunuh anakku yang baru berusia lima tahun."

Suara Marcus bergetar—untuk pertama kalinya Alex melihat lelaki tua itu hampir menangis.

"Aku diikat, dipaksa menonton. Persis sepertimu."

Alex membeku.

"Kenapa dia lakukan itu?"

"Karena aku menolak ikut korupsi dana tentara. Jadi dia buat aku contoh—apa yang terjadi kalau ada yang melawan sistem."

Marcus tersenyum pahit. "Setelah itu, aku dipecat tidak hormat. Hidup di jalanan. Jadi gelandangan. Sepertimu sekarang."

"Tapi... Anda bilang Anda berhasil balas dendam..."

"Sepuluh tahun kemudian, aku cari dia. Waktu itu dia sudah jadi jenderal—kaya, berkuasa, punya keluarga bahagia. Aku infiltrasi rumahnya tengah malam. Aku bunuh dia dengan tangan kosong—cekik dia perlahan, buat dia merasakan sakit yang sama seperti aku rasakan."

Marcus menatap tangannya—tangan yang penuh bekas luka. "Aku lihat matanya waktu dia mati. Ada ketakutan di sana. Dan untuk sesaat, aku merasa puas."

"Tapi?"

"Tapi istriku tidak kembali. Anakku tidak kembali. Aku masih sendirian. Masih kosong." Marcus menatap Alex. "Balas dendam tidak mengisi kehampaan, Nak. Tapi setidaknya... setidaknya aku bisa bilang sama istriku di kuburannya bahwa dia sudah dibayar."

Keduanya terdiam, hanya mendengar suara api yang berderak.

"Anda... menyesal?" tanya Alex pelan.

"Membunuhnya? Tidak," jawab Marcus tegas. "Tapi menyesal kenapa aku tidak jadi lebih kuat lebih cepat. Kenapa aku butuh sepuluh tahun. Sepuluh tahun terlalu lama untuk biarkan dia bahagia."

Marcus menatap Alex dengan serius. "Makanya aku latih kamu, Nak. Karena aku tidak mau kamu butuh sepuluh tahun. Aku akan buat kamu jadi pembunuh dalam waktu dua tahun. Dan kamu akan balas dendam saat kamu masih muda. Saat amarahmu masih panas."

Alex merasakan sesuatu di dadanya—bukan sakit fisik, tapi... tekad.

"Aku akan belajar dari Anda," kata Alex, suaranya lebih tegas. "Aku akan jadi kuat. Dan aku akan bunuh Adipati Guntur. Perlahan. Menyakitkan."

Marcus tersenyum—senyum bangga dari seorang guru kepada murid.

"Bagus, Nak. Pegang itu. Jangan pernah lepaskan kebencianmu. Karena kebencian itu yang akan membuatmu bertahan hidup."

Malam itu, Alex tidur dengan lebih nyenyak—meski tubuhnya hancur, meski mimpi buruk masih datang.

Tapi kali ini, ketika Elena bertanya "Kenapa kakak tidak menolong Elena?" dalam mimpinya, Alex punya jawaban baru:

"Karena kakak lemah waktu itu. Tapi kakak tidak akan lemah lagi. Kakak janji."

Dan untuk pertama kalinya dalam tiga minggu, Elena dalam mimpinya tersenyum—senyum sedih, tapi ada sedikit harapan di sana.

"Kakak harus janji, ya."

"Kakak janji."

Alex terbangun dengan air mata di pipinya.

Tapi kali ini, bukan air mata putus asa.

Ini air mata tekad.

Ia memeluk boneka beruang lusuh itu sekali lagi, berbisik di kegelapan:

"Tunggu kakak, Elena. Tunggu Papa, Mama. Kakak akan buat mereka membayar. Semua."

Dan janji itu akan ia pegang.

Sampai napas terakhirnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!