Di sudut sebuah toserba 24 jam yang sepi, seorang pemuda berdiri di balik kasir. Namanya Jin Ray.
Ray bukan pemuda biasa. Di balik seragam toserba berwarna oranye norak yang ia kenakan, tubuhnya dipenuhi bekas luka. Ada luka sayatan tipis di alis kirinya dan bekas jahitan lama di punggung tangannya. Tatapannya tajam, waspada, seperti seekor serigala yang dipaksa memakai kalung anjing rumahan.
“Tiga ribu lima ratus won,” ucap Ray datar. Suaranya serak, berat, jenis suara yang dulu membuat orang gemetar ketakutan saat ia menagih utang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ray Nando, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serangan Tetangga dan Sabun Lantai Terkutuk
Serangan Tetangga dan Sabun Lantai Terkutuk
Situasi di depan Toserba "New World" sangat kacau.
Lima belas warga sipil—terdiri dari pelajar SMA, bapak-bapak kantoran yang mabuk, dan ibu-ibu komplek—sedang merangsek maju. Di mata mereka (melalui layar HP), Ray dan Hana adalah Boss Monster dengan Health Bar merah tebal dan hadiah uang tunai yang menggiurkan.
"Serang! Gunakan Skill 'Bola Api'!" teriak seorang siswa berkacamata, menekan layar ponselnya dengan liar.
Dari kamera ponselnya, keluar proyeksi digital berupa bola api piksel seukuran bola basket yang melesat ke arah Ray.
"Awas!" Ray membuka payung hitam panjangnya.
POF!
Bola api digital itu menabrak payung Ray dan pecah menjadi serpihan cahaya merah. Meskipun itu "digital", panasnya terasa nyata. Payung Ray berasap sedikit.
"Sihir mereka nyata," gerutu Ray, menutup payung dan memukulkannya ke lutut seorang bapak-bapak yang mencoba menyerangnya dengan tas kerja. "Maaf, Pak! Pulanglah, istrimu menunggu!"
Bapak itu jatuh berlutut, tapi HP-nya masih terarah ke Ray. "Diam kau monster! Aku butuh uang untuk bayar cicilan!"
Hana berdiri di belakang Ray, menganalisis situasi dengan mata birunya. "Ray, jumlah mereka bertambah! Aplikasi ini mengirim notifikasi Raid ke semua orang dalam radius 500 meter!"
"Kita tidak bisa memukul mereka semua pingsan!" teriak Ray sambil menangkis lemparan batu bata (yang kali ini nyata, bukan piksel). "Kepala mereka keras, tapi mereka tetap warga sipil!"
Tiba-tiba, pintu gudang di belakang mereka terbuka. Ujang muncul dengan wajah panik sambil membawa kardus bertuliskan "BARANG REJECT - JANGAN DIJUAL".
"Ray! Hana! Aku baru ingat!" teriak Ujang. "Minggu lalu ada sales aneh berjubah hitam yang menjual barang-barang ini dengan harga miring. Aku curiga ini barang Glitch!"
Ujang merogoh kardus itu dan melemparkan sebuah botol plastik berwarna ungu ke arah Ray.
"Tangkap! Sampo Licin Level 99!"
Ray menangkap botol itu. "Apa?!"
"Tumpahkan ke jalan! Itu akan membuat gesekan permukaan menjadi nol!"
Ray tidak bertanya dua kali. Dia membuka tutup botol itu dan menyipratkannya ke aspal di depan kerumunan yang sedang berlari ke arah mereka.
Efeknya instan dan kartunish.
Aspal yang terkena cairan ungu itu berubah menjadi sirkuit es yang berkilauan glitch.
Tiga pelajar SMA yang berlari paling depan tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Kaki mereka meluncur ke depan, tubuh mereka melayang ke belakang.
WUUUT! GUBRAK!
Mereka jatuh tumpang tindih, meluncur menabrak tong sampah di seberang jalan seperti pin bowling.
"Wow," Hana takjub. "Itu melanggar hukum fisika."
"Lagi, Ujang! Apa lagi yang kau punya?!" teriak Ray.
Ujang melempar bungkusan permen karet bulat warna-warni. "Permen Karet Perekat Semen! Jangan dikunyah! Lempar saja!"
Ray mengambil segenggam permen karet itu dan melemparkannya ke arah sekelompok bapak-bapak yang sedang mempersiapkan serangan gabungan.
Saat permen karet itu menyentuh baju mereka, permen itu meledak (POP!) menjadi jaring lengket berwarna merah muda yang mengikat tangan dan kaki mereka ke tiang listrik terdekat.
"Tolong! Aku diserang jaring laba-laba!" teriak salah satu bapak itu panik.
"Itu rasa stroberi, Pak!" sahut Ray.
Hana melihat celah di antara kerumunan yang kacau. "Ray! Jalanan sebelah kiri terbuka! Kita bisa lari lewat sana!"
"Ayo!"
Mereka bertiga—Ray, Hana, dan Ujang (yang membawa sisa kardus ajaib)—berlari menerobos kekacauan.
Namun, di ujung jalan, muncul musuh baru.
Sebuah truk pengiriman ayam goreng berhenti mendadak, memblokir jalan pelarian. Sopirnya turun—seorang pria kekar dengan tato naga. Tapi yang lebih mengerikan, aplikasi Love War memberinya Buff (Peningkatan Status).
Otot-otot pria itu membesar dua kali lipat, dikelilingi aura merah. Di atas kepalanya melayang tulisan:
[ELITE MOB: THE ANGRY DRIVER]
[Buff: Road Rage (+200% Strength)]
"Minggir atau kugilas!" raung sopir itu, mengangkat sebuah linggis besi yang menyala merah.
"Dia terlalu kuat untuk Sampo Licin!" kata Ray. "Ujang, senjata!"
Ujang mengaduk kardusnya. "Sial, sisa... Cola Mentos Nuklir dan Tepung Roti Pengembang Instan!"
Hana menyambar bungkusan tepung roti itu. "Ray! Alihkan perhatiannya! Ujang, siapkan Colanya!"
Ray maju. Dia melipat payungnya, menggunakannya seperti pedang anggar. "Hoi, Bung! Ayammu hambar!"
Provokasi berhasil. Sopir itu meraung marah dan mengayunkan linggisnya ke arah kepala Ray. Ray menunduk, linggis itu menghantam tembok bata di belakangnya hingga hancur.
"Sekarang!" teriak Ray.
Hana melempar bungkusan tepung roti itu ke udara, tepat di atas kepala sopir itu.
[Skill: Redraw - Burst]
Hana menjentikkan jari, memecahkan bungkusan itu di udara. Tepung putih menghujani si sopir.
Ujang mengocok botol Cola besar itu sekuat tenaga, lalu melemparkannya ke arah sopir yang berlumuran tepung.
BOOM!
Ledakan busa Cola bercampur dengan tepung roti yang terkena udara glitch.
Reaksi kimianya mengerikan. Campuran itu mengembang dalam hitungan detik, berubah menjadi busa roti raksasa yang cepat mengeras.
Sopir kekar itu terperangkap di dalam gumpalan adonan roti raksasa yang mengeras seketika. Hanya kepalanya yang menyembul keluar, bingung dan marah.
"Aku... jadi roti?" gumam sopir itu bingung.
"Roti goreng," koreksi Ujang.
Jalanan bersih. Sirine polisi (yang untungnya belum terinfeksi aplikasi) terdengar mendekat dari kejauhan.
"Kita harus pergi sebelum polisi datang," kata Hana. "Kita tidak bisa menjelaskan kenapa ada orang yang jadi roti di tengah jalan."
Mereka bertiga berlari masuk ke dalam gang sempit yang gelap, meninggalkan kekacauan komedi di belakang mereka.
Di Atap Gedung Apartemen Kosong
Mereka berhenti untuk mengatur napas. Pemandangan kota Seoul di bawah sana terlihat damai, tapi layar-layar HP di tangan warga yang berjalan di trotoar menyala merah seperti mata iblis kecil.
"Ini gila," kata Ray, duduk di pinggir atap. "Satu kota memburu kita demi uang."
"Bukan cuma uang," kata Hana, melihat tablet Zero yang dibawa Ujang. "Lihat polanya. Aplikasi ini mengarahkan orang-orang ke titik-titik tertentu. Mereka membentuk formasi."
Zero muncul di layar tablet.
"Analisis tepat, Nona Arsitek. Para pemain ini bukan hanya memburu kalian. Mereka tanpa sadar sedang diposisikan untuk membentuk Lingkaran Transmutasi Data raksasa di seluruh distrik Hongdae."
"Transmutasi?" tanya Ujang. "Seperti di anime?"
"Mirip. Kang Min-Ho ingin mengubah seluruh distrik ini menjadi Zona Dungeon Permanen," jelas Zero. "Jika dia berhasil, monster sungguhan akan bisa masuk ke dunia nyata tanpa batas. Dan pusat ritualnya ada di..."
Zero memperbesar peta. Titik merah berkedip di sebuah bangunan tinggi di tengah Hongdae.
[Menara Server KT Hongdae]
"Dia menggunakan menara sinyal itu sebagai tongkat sihirnya," kata Ray, berdiri tegak. "Kalau begitu, kita harus mematikan sinyalnya."
"Masalahnya," potong Zero. "Menara itu dijaga oleh Top Player Global dari aplikasi ini. Seseorang yang sudah mencapai Level 50 hanya dalam 24 jam."
Di layar, muncul profil sang penjaga. Seorang remaja laki-laki dengan hoodie gamer, memegang stik kendali drone.
[Username: GLITCH_GAMER]
[Status: Tidak Terkalahkan.]
Ray tersenyum miring, merenggangkan otot-ototnya yang kaku. Dia menatap Hana dan Ujang.
"Kita punya sisa Sampo Licin dan Roti Pengembang?" tanya Ray.
Ujang menyeringai, menepuk kardusnya. "Masih ada satu item spesial. Petasan Ayam Jerit. Sangat berisik."
"Cukup untuk membuat keributan," kata Hana, matanya bersinar penuh tekad. "Ayo kita matikan Wi-Fi orang jahat ini."