Regresi Sang Raja Animasi
Kael Ardhana terbangun dengan napas tersengal, seperti orang yang baru saja tenggelam dan dipaksa kembali ke permukaan. Kepalanya berdenyut keras. Cahaya matahari masuk melalui celah jendela kayu yang sudah usang, menerangi ruangan sempit yang aromanya campur aduk, bau kayu lapis, kertas bekas, dan sedikit lembap khas Jakarta di musim hujan.
Ia mengedarkan pandangan dengan lambat, mencoba memahami. Ini bukan kamar kostnya yang biasa. Dinding cat hijau pudar, kalender robek menggantung miring, dan meja belajar dengan tumpukan buku sketsa yang sudah menguning. Semuanya terasa asing sekaligus sangat familiar, seperti mimpi yang pernah dilupakan namun tiba-tiba muncul kembali dengan detail yang menusuk.
"1991?" gumamnya pelan, suaranya serak dan berat. Matanya terpaku pada kalender dinding yang terbuka di bulan Januari. Angka tahunnya jelas, 1991.
Kael bangkit dari kasur tipis yang pegas-pegasnya sudah miring, lalu berjalan tertatih menuju cermin kecil yang tergantung di dinding. Wajah yang menatap balik padanya adalah wajah yang jauh lebih muda, pipi yang belum kurus, mata yang belum lelah, rambut hitam lebat tanpa uban. Tangannya gemetar ketika menyentuh cermin, lalu turun ke wajahnya sendiri.
"Gila…" bisiknya lirih, setengah tak percaya, setengah tertawa hambar. "Ini beneran terjadi."
Pikirannya berputar cepat. Ia ingat malam itu, malam di ruang editing studionya yang hampir bangkrut, lampu padam mendadak, file corrupt yang menari-nari di layar, dan rasa pusing yang aneh sebelum semuanya gelap. Dan sekarang ia ada di sini. Kembali ke tahun 1991. Usia 18 tahun. Masih seorang anak SMA yang baru lulus dengan mimpi-mimpi besar tentang animasi.
Tapi kali ini berbeda. Kali ini ia punya bekal 18 tahun pengalaman dari masa depan, semua kesalahan, semua keputusan bodoh, semua peluang yang terlewat, dan semua pelajaran pahit yang pernah ia telan. Ia tahu teknologi apa yang akan datang, tren apa yang akan booming, dan yang paling penting ia tahu apa yang tidak boleh dilakukan.
"Kesempatan kedua," gumamnya sambil tersenyum tipis, meskipun ada rasa takut yang menggigit di balik senyuman itu. "Jangan disia-siakan."
Kael keluar dari kamar dan menuruni tangga kayu yang berderit. Rumah kontrakannya kecil, berada di gang sempit di kawasan Tebet. Di luar, suara kota Jakarta tahun 1991 menyambut, deru sepeda motor bebek yang belum secanggih sekarang, klakson angkot yang nyaring, dan teriakan pedagang sayur keliling.
Ia berjalan ke warung kopi di ujung gang, memesan teh manis hangat, lalu duduk di bangku plastik yang goyang. Di sebelahnya, seorang bapak-bapak sedang membaca koran dengan headline yang bicara soal pemilu dan kebijakan ekonomi. Semuanya terasa nyata. Terlalu nyata untuk sebuah mimpi.
"Balik ke tahun 1991 buat apa, sih?" tanya suara di dalam kepalanya, masih skeptis. "Animasi Indonesia tahun segini belum ada apa-apanya. TV masih dikuasai TVRI, swasta baru mulai naik, dan orang-orang masih lebih suka nonton serial Jepang atau kartun Amerika."
Tapi justru itu peluangnya. Kael tahu persis bagaimana industri ini akan berkembang. Ia tahu stasiun TV swasta akan tumbuh pesat di pertengahan 90-an dan mereka akan haus konten lokal. Ia tahu teknologi digital akan masuk, tapi belum sekarang, jadi untuk sementara, ia harus bertarung dengan cara lama, cel animation, frame manual, dan kerja keras yang bikin punggung pegal.
Dan yang paling penting, ia tahu satu hal yang tak pernah ia sadari di kehidupan pertamanya, animasi Indonesia bisa sukses kalau punya identitas sendiri. Bukan meniru Jepang. Bukan meniru Disney. Tapi cerita lokal, humor lokal, visual yang khas Nusantara.
"Harus mulai dari mana?" gumamnya sambil menatap cangkir tehnya. "Modal nol. Koneksi nol. Cuma punya otak yang udah keburu tua."
Tapi Kael tersenyum. Ia punya satu hal yang tak ternilai, tahu ke mana harus melangkah.
Sore harinya, Kael berjalan menuju rumah temannya, Dimas, anak SMA satu angkatan dengannya yang jago gambar. Dimas tinggal tidak jauh, di kawasan yang sama, di rumah petak dengan halaman sempit yang penuh pot tanaman.
"Kael? Jarang-jarang lu dateng," sapa Dimas ketika membuka pintu, kaget tapi senang. Rambutnya acak-acakan, tangannya penuh noda tinta spidol. "Ada perlu apa?"
"Gue mau ngajak lu bikin sesuatu," jawab Kael sambil masuk, langsung duduk di lantai ruang tamu yang beralaskan tikar pandan. "Sesuatu yang gila, tapi bisa jadi keren."
Dimas mengernyit, lalu duduk di sebelahnya sambil menyilangkan tangan. "Lu abis nonton film apa, sih? Kok tiba-tiba semangat gini?"
Kael tertawa kecil. "Gak nonton apa-apa. Gue cuma… kepikiran. Lu kan jago gambar, gue juga lumayan bisa bikin storyboard. Gimana kalau kita bikin animasi sendiri?"
Dimas melongo. "Animasi? Maksud lu kayak kartun gitu?"
"Iya. Tapi bukan kartun sembarangan. Kita bikin cerita lokal. Cerita anak Indonesia, buat anak Indonesia." Kael berbicara dengan nada serius yang jarang ia pakai, matanya berbinar dengan keyakinan yang terasa menular. "Gue yakin, orang-orang akan suka. Apalagi kalau kita bisa masuk TV."
"TV?" Dimas menggaruk kepala, bingung dan ragu. "Kael, lu sadar kan kita bukan siapa-siapa? Stasiun TV mana yang mau nerima karya anak baru lulus SMA?"
"Makanya kita mulai dari kecil dulu. Bikin segmen pendek, lima menit aja. Tunjukin ke stasiun lokal. Kalau bagus, pasti ada yang tertarik." Kael mengeluarkan buku sketsa usang dari tasnya, membuka halaman pertama yang masih kosong. "Gue udah punya ide cerita. Tentang bocah yang kehilangan kucing di pasar malam."
Dimas menatap buku itu, lalu menatap Kael dengan tatapan setengah percaya setengah ragu. "Lu serius?"
"Serius banget."
Hening sejenak. Angin sore bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dari halaman. Di kejauhan, terdengar suara anak-anak main bola.
Akhirnya, Dimas tersenyum tipis, senyum yang setengah pasrah, setengah penasaran. "Ya udah. Gue ikut. Tapi kalau gagal, lu yang traktir bakso seminggu."
Kael tertawa lega, lalu mengulurkan tangan. "Deal."
Mereka berjabat tangan, dan saat itulah tanpa sadar mereka baru saja meletakkan batu pertama dari apa yang kelak akan menjadi kerajaan animasi terbesar di Nusantara.
Malam harinya, Kael kembali ke kamarnya dan mulai menuliskan rencana. Ia duduk di meja belajar yang miring, menyalakan lampu minyak karena listrik sedang padam, dan membuka buku catatan lama.
Halaman pertama ia tulis dengan tulisan tangan yang rapi namun tegas.
"RENCANA BESAR: ANIMASI NUSANTARA"
Di bawahnya, ia menuliskan poin-poin.
1. Bikin tim kecil dulu. Cari orang yang punya semangat, bukan yang punya uang.
2. Produksi segmen pendek 5 menit, cerita lokal, visual sederhana tapi menyentuh.
3. Cari stasiun TV lokal yang mau kasih slot. Jangan ngarep bayaran besar dulu.
4. Bangun identitas visual yang beda. Jangan tiru Jepang atau Amerika.
Sabar. Ini maraton, bukan sprint.
Kael menatap catatannya, lalu tersenyum pahit. Di kehidupan sebelumnya, ia terlalu terburu-buru. Ia ingin sukses instan, ingin diakui cepat, dan akhirnya malah jatuh lebih keras. Kali ini, ia akan melakukannya dengan cara yang benar.
Ia menutup buku catatan, memadamkan lampu, lalu berbaring di kasur tipis sambil menatap langit-langit kayu yang retak. Pikirannya melayang jauh, membayangkan hari-hari ke depan yang akan penuh tantangan, kegagalan kecil, dan mungkin kalau beruntung sedikit keajaiban.
"Ayo, Kael," bisiknya pada diri sendiri, suaranya penuh tekad meskipun tubuhnya lelah. "Kali ini, jangan sampai gagal lagi."
Dan dengan harapan itu, ia tertidur, tidur yang lebih nyenyak daripada tidur manapun dalam 18 tahun terakhir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Elythos
premisnya oke dan jelas dari awal, ini cerita cukup fresh kalo dibandingin cerita lain.
2025-10-09
1
xiang ma'ling sheng
kamu sebelum nulis disini, nulis di pf lain khh? tulisannya bener2 rapih
2025-10-09
1
YooRara
waw idenya menarik. penjabaran situasinya tergambarkan bgt, keren
2025-10-09
1