Eleanor tak pernah membayangkan akan bertemu Nicholas lagi, mantan suami yang bercerai darinya tujuh belas tahun silam. Semua berawal dari pesta rekan kerja yang ia datangi demi menemani sahabat kecilnya, William. Malam yang mestinya biasa berubah kacau saat tatapannya bertemu dengan Nicholas, lelaki yang dulu pernah ia cintai habis-habisan sekaligus orang yang paling ia hindari saat ini. Pagi hari setelah pesta, Eleanor menemukan dirinya terbangun tanpa pakaian di samping Nicholas. Pertemuan malam itu membawa hubungan baru dalam hidup keduanya. Apalagi setelah Nicholas dikejutkan dengan keberadaan remaja berusia enam belas tahun di rumah Eleanor.
Bagaimana takdir akan membawa hubungan mantan suami istri itu kembali? Atau justru Eleanor akan menemukan cinta yang baru dari seorang berondong yang sudah lama mengejar cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lagi-lagi Bertemu
Restoran kecil ‘The Lamp’ di sudut kota Paris tidak pernah gagal menghadirkan kehangatan bagi setiap pengunjungnya. Aroma roti panggang dan kopi pekat tercium di seluruh ruangan. Eleanor duduk berhadapan dengan Elio di salah satu meja out door dekat dengan taman.
“Aku masih tidak percaya kau sudah setangguh ini, Boy,” ucap Eleanor sambil menyendok sup hangat ke mangkuk Elio. “Setelah camping satu minggu di hutan, pulang tanpa lecet sedikit pun.”
Elio terkekeh, “Aku bukan anak kecil lagi, Mum. Tubuhku paling tahan banting di antara mereka.” Ia memamerkan otot lengannya bangga, Eleanor tersenyum sambil menggeleng pelan.
Tawa mereka ringan, mengalir hangat dan natural tanpa perlu diusahakan. Sesekali Elio melempar lelucon jahil yang membuat Eleanor menutup mulutnya agar tidak tertawa terlalu keras. Eleanor menatap wajah Elio dengan lembut… remaja tampan, tinggi, berbahu tegap, dengan aura muda yang membuat banyak mata melirik ke arahnya. Ada rasa bangga sekaligus haru dalam dirinya, Elio adalah satu-satunya alasan ia tetap bisa tersenyum setelah semua luka yang ia tanggung.
“Elio,” katanya pelan, “kau tahu, melihatmu tertawa seperti ini… it’s everything for me.”
Elio menatap ibunya sebentar, lalu mengangkat alis dengan gaya jahil. “Kalau begitu, aku harus sering-sering membuatmu tertawa, kan?”
Eleanor tertawa kecil, mengulurkan tangan dan meremas jemari putranya. “Yes, please.”
Elio membuat semua luka yang masih mengendap di hatinya benar-benar menghilang.
Di sisi lain restoran, Nicholas duduk bersama dua klien asing di salah satu meja bundar. Ruangan privat dikelilingi jendela lebar yang memungkinkan untuk melihat aktivitas di luar. Ia mengangguk ringan, keberhasilan ekspansi bisnisnya ke Italia membawa pengaruh besar dalam pergerakan saham perusahaannya. Namun tatapannya terhenti di sudut ruangan.
Eleanor.
Ia duduk dengan seorang pria muda, tertawa renyah dengan mata berbinar seperti tidak ada beban. Nicholas mematung sesaat, tak percaya dengan apa yang ia lihat. Tawa itu, sudah lama sekali tidak ia lihat. Pria muda di depannya bersandar santai, sesekali mencondongkan badan hingga wajahnya terlalu dekat dengan Eleanor. Jari-jarinya bahkan sempat menyentuh tangan Eleanor ketika mereka berebut garpu. Dan Eleanor… ia tidak menepisnya. Ia malah tertawa semakin lepas.
Amarah menyambar cepat dalam dada Nicholas, namun wajahnya tetap dingin di hadapan klien. Ia meneguk anggur, mencoba menahan diri.
Jadi ini? Ini alasan "personal matter"-nya?
Tidak masuk kerja hanya untuk tertawa mesra dengan pria muda?
Nicholas mengetatkan rahangnya, nyaris melupakan percakapan di meja. Kalimat-kalimat klien hanya terdengar seperti dengung lalat di telinganya. Semua fokusnya terpusat pada wanita yang satu minggu lalu mendesah di ranjang yang sama dengannya. Wanita yang tujuh belas tahun lalu pernah ia miliki, kini duduk bersama pria asing dengan tawa bahagia.
Tangan Nicholas mengepal di atas meja, sendok garpu bergetar halus karena genggamannya. Bagi orang lain, itu mungkin hanya makan siang biasa. Tapi bagi Nicholas, pemandangan itu terasa seperti hinaan.
Eleanor merapikan blousenya sebelum melangkah ke toilet. Senyumnya masih tersisa setelah percakapan dengan Elio, langkahnya ringan seakan hari itu benar-benar hari tanpa beban.
Eleanor mengeringkan tangannya lalu melempar tissunya ke tempat sampah. Saat ia membuka pintu toilet dan keluar, langkahnya terhenti.
Nicholas berdiri di sana…
Tinggi, tegap, dengan jas hitam yang rapi yang melekat sempurna. Sorot matanya dingin, menusuk, penuh bara yang berusaha ditahan.
Eleanor mendesah singkat, lebih ke arah kesal daripada terkejut. “Menyingkirlah, Tuan. Saya mau keluar.” suaranya datar, tanpa ekspresi berlebihan.
Nicholas melangkah setengah maju, semakin menutupi jalan. “Personal matter? Ini yang kau maksud, Eleanor? Tidak masuk kerja demi makan siang dengan pria muda?”
Eleanor mendongak, matanya tajam juga tenang. Tak tampak terusik dengan kehadiran pria di hadapannya ini. “Itu urusanku, bukan urusanmu.”
Nicholas mendekat lagi, membuat udara di antara mereka semakin panas. “Pria itu berbeda dengan waktu itu. Jadi kau memang senang berpindah-pindah, hm?” nada suaranya penuh sindiran.
Eleanor tidak bergeming. “Dan sekalipun iya, kenapa itu harus jadi urusanmu, Nicholas? Kita tidak punya hubungan apa-apa lagi.”
Seolah kehilangan kendali, Nicholas tiba-tiba menarik Eleanor ke sisi lorong sempit, membekapnya dengan lengannya di antara dinding. Tubuhnya mengurung Eleanor, jaraknya diantara mereka terlalu dekat.
“Lepas!” Eleanor memberontak, kedua tangannya mendorong dada Nicholas. “Kau gila.”
Nicholas menunduk, bibirnya hampir menyentuh telinga Eleanor. Napas panasnya berhembus di lehernya, menimbulkan sensasi yang tidak diinginkan. “Murahan sekali. Berjalan mesra dengan anak-anak ingusan. Apa itu seleramu sekarang?”
Eleanor menatap lurus meski jantungnya berdegup keras tak beraturan. Suaranya tetap tenang, menusuk balik lebih tajam. “Dengan siapapun aku pergi, itu bukan urusanmu. Kau sudah kehilangan hak untuk peduli sejak lama.”
Tangannya berhasil mendorong keras dada Nicholas hingga ia tersurut setengah langkah. Eleanor cepat-cepat menyingkir, menghindari pria itu adalah pilihan paling tepat untuk saat ini.
Nicholas menahan emosi, kepalan tangannya menghantam dinding keras hingga menimbulkan gema.
“Sialan!” makinya kencang.
Eleanor berjalan cepat kembali ke meja, berusaha menahan gemetar di tangannya. Senyum yang tadi tenang kini lenyap, wajahnya sedikit pucat.
Elio langsung menyadarinya. “Mum, what’s going on?” tanyanya, keningnya berkerut sedangkan matanya penuh khawatir.
Eleanor menarik napas, mencoba menata ekspresi. “Kepalaku sangat pusing. Bisakah kita pulang sekarang?” Tangannya memijat pelan pelipisnya.
Tanpa banyak tanya Elio langsung berdiri, meraih jaketnya, lalu menyampirkan lengannya di pundak Eleanor dan merangkulnya protektif. Gaya remaja tinggi berotot itu membuat siapapun di sekitar bisa salah paham seolah ia pasangan Eleanor, bukan putranya.
Nicholas yang masih duduk di meja klien melihat semua itu dari kejauhan dnegan tatapan tajam. Tubuhnya seolah menolak diam ketika melihat remaja itu merangkul Eleanor dengan begitu mesra, melindunginya seakan dunia adalah milik mereka berdua.
Elio memegang erat pinggang Eleanor, menuntunnya keluar restoran. Eleanor menengadah menatap Elio yang khawatir. Eleanor memang tidak beruntung soal cinta, satu-satunya keberuntungannya yang paling berharga adalah memiliki Elio.
“Mum tidak apa-apa, jangan terlalu cepat.” katanya lembut. Wajahnya tersembunyi di balik rambut hitam panjangnya.
“Sorry… itu karena aku sangat khawatir, Mum.” Elio memperlambat langka kakinya lalu mendekatkan wajahnya, melihat wajah pucat Eleanor lebih dekat. Jika tidak dilihat dengan teliti, mungkin orang akan berpikir mereka baru saja berciuman.
Nicholas menegang dengan mata memerah, tangannya kembali terkepal di atas meja. Tatapannya hanya terkunci pada punggung Eleanor yang menjauh bersama pria muda itu. Dan ketika dua sejoli itu mendekat, Nicholas melihat ke arah lain.
Darahnya terasa berhenti mengalir. Murahan… desisnya hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri.
𝚋𝚒𝚊𝚛 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚝𝚊𝚖𝚋𝚊𝚑 𝚞𝚙𝚍𝚊𝚝𝚎 𝚡.. 🤭
𝚊𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚗𝚐𝚐𝚞 𝙺𝚎𝚕𝚊𝚗𝚓𝚞𝚝𝚊𝚗 𝚡.. 💪