Uang miliaran di rekening. Tanah luas. Tiga ratus pintu kontrakan.
Anjani punya segalanya—kecuali harga diri di mata suaminya dan keluarganya.
Hari ulang tahunnya dilupakan. Status WhatsApp menyakitkan menyambutnya: suaminya disuapi wanita lain. Dan adik iparnya dengan bangga menyebut perempuan itu "calon kakak ipar".
Cukup.
"Aku akan tunjukkan siapa aku sebenarnya. Bukan demi mereka. Tapi demi harga diriku sendiri."
Dan saat semua rahasia terbongkar, siapa yang akan menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 14
Setelah mendapatkan alamat dari Nina dan Nani, mereka berempat akhirnya menuju ke kontrakan tempat Anjani. Mereka menggunakan taksi online untuk sampai ke tujuan. Adi terlihat pucat ketika mereka sampai di depan kontrakan itu. Wajahnya berubah tegang saat menyadari tempat yang mereka tuju adalah tempat dia berselingkuh.
“kamu yakin ini tempatnya nani?” tanya Adi dengan ragu.
“Iya, Pa, ini kontrakannya, aku dapat dari lusi pak” jawab Nina sambil memeriksa ponselnya.
“Anak itu, ada-ada saja,” pikir Adi dalam hati.
“Punya uang juga dia sewa kontrakan di sini,” ucap Mirna dengan heran.
“Dia enggak ngontrak di sini, Bu. Dia kerja di sini,” jawab Nina dengan yakin.
Sesampainya di gerbang kontrakan, mereka melihat Firman sedang berdiri di depan gerbang bersama orang-orang yang juga tinggal di situ. Nina langsung menghampiri Firman.
“Maaf, Mas, apa di sini ada orang yang bernama Anjani?” tanya Nina dengan sopan.
Muka Adi semakin pucat, jelas terlihat ketidaknyamanan di wajahnya.
“Bu, aku pulang aja dulu ya,” kata Adi, mencoba menghindar.
“Tidak bisa, Bapak harus ikut. Kamu sebagai kepala rumah tangga harus ikut bertanggung jawab menjaga anak kita dari orang seperti Anjani,” kata Mirna, tegas, sekaligus heran melihat sikap suaminya.
“Cih, anak kita, anak lu juga,” gumam Adi dalam hati.
Tiba-tiba, suara Anjani terdengar dari arah kontrakan. “Ada apa kalian mencariku?”
Anjani muncul, berdiri dengan tenang, memandang mereka.
“Disini rupanya kamu, Anjani. Kirain aku kamu tinggal di rumah mewah, eh nyatanya cuma di kontrakan... Oh ya, kamu pasti kerja di sini, kan?” ucap Mirna dengan nada mengejek.
Firman dan teman-temannya saling berpandangan. Mereka tampak heran dengan sikap orang yang baru datang ini. “Apa mereka nggak tahu kalau kontrakan ini milik Bu Anjani?” gumam Firman dalam hati.
Firman menatap Adi dengan tajam, kemudian tersenyum sinis. Adi tampak semakin pucat saat bertemu pandang dengan Firman.
“Kenapa kalian datang ke sini?” tanya Anjani, suaranya datar.
“Aku cuma mau kasih surat ini untuk kamu,” jawab Mirna sambil menyerahkan sebuah kertas pada Anjani.
Anjani membaca surat itu, lalu tersenyum sinis. “Yakin kalian mengajukan ini padaku?” tanyanya dengan santai.
“Iya, kamu yang menggugat Riki, jadi jangan berharap kamu dapat apa-apa dari harta gono-gini Bayu,” kata Mirna, tegas.
“Aku nggak mau tanda tangan ini,” jawab Anjani, tenang.
“Kenapa kamu harus merebut harta Riki, ha?” kata Mirna dengan nada semakin keras.
Anjani diam sejenak, lalu menambahkan sesuatu di surat itu. “Aku tambah ini, silakan kalian baca,” ucap Anjani sambil menyerahkan surat yang sudah ditambahkannya. Isinya: "Riki dan keluarganya tidak berhak menuntut apapun dari Anjani."
Nina mengambil kertas itu dari tangan Anjani. “Hahaha… Apa yang kami harapkan dari kamu, ha?” Nina tertawa sinis.
“Hahaha, kamu ini udah bodoh, nggak berpendidikan, kampungan. Apa yang kami bisa tuntut dari kamu?” tambah Mirna dengan nada mengejek.
“Sudahlah, kalau kalian nggak setuju, aku nggak akan tanda tangan ini,” kata Anjani santai.
“Ya, kami setuju,” jawab Adi, ingin buru-buru pergi karena merasakan tatapan tajam Firman yang penuh sindiran.
Adi langsung bergerak untuk menandatangani surat itu, namun tiba-tiba Anjani menghentikannya.
“Tunggu dulu,” kata Anjani dengan suara tenang.
“Apa lagi?” tanya Adi kesal.
“Man, beli materai,” ucap Anjani dengan santai.
“Siap, Bu,” jawab Firman, segera pergi mencari materai.
Mirna tampak kesal dengan sikap Anjani yang seakan-akan sudah menjadi bos, meskipun dia hanya bekerja di kontrakan itu. “Lagu kamu udah kaya bos saja, padahal kamu di sini cuma babu!” ujar Mirna dengan nada marah.
Tak lama kemudian, Firman kembali membawa materai dan menyerahkannya pada Anjani.
Anjani menerima materai itu, lalu menempelkan materai di surat tersebut. Ia menandatangani lebih dulu, kemudian memberikan surat itu pada Adi untuk menandatangani. Setelah itu, ia berbalik dan berkata, “Man, Diki, kalian tanda tangan juga, kalian harus jadi saksi.”
Firman dan Diki pun ikut menandatangani surat itu. Anjani kemudian merekam seluruh proses penandatanganan tersebut dengan ponselnya.
Mirna masih berdiri terpaku. Dia bingung melihat sikap Anjani yang begitu tenang. Padahal, dia sudah menyiapkan berbagai macam kalimat serangan kalau-kalau Anjani menolak menandatangani surat perjanjian. Tapi kenyataannya, Anjani sama sekali tidak melawan. Bahkan terlihat seperti sudah siap untuk bercerai dari Riki.
Saat Mirna masih bingung mencerna semuanya, tiba-tiba sebuah mobil towing berhenti di depan kontrakan. Di atasnya, tampak sebuah mobil baru—Honda HRV—mengkilap dan masih terbungkus plastik.
Mirna langsung melongo. Itu mobil yang sudah lama dia idamkan. Tapi sampai sekarang belum juga kesampaian.
Seorang pria berseragam turun dari mobil dan mendekat. Di bajunya tertera nama “Karman”.
“Permisi, saya mencari Ibu Anjani,” katanya sopan.
“Saya sendiri,” jawab Anjani santai.
“Kami mau antar mobil yang Ibu beli siang tadi,” ujar Karman sambil menunjukkan dokumen pengiriman.
Anjani tersenyum. Mobil itu datang di waktu yang tepat—waktu yang sangat pas untuk menampar kesombongan keluarga mertuanya.
Mirna langsung menyela, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Coba Bapak baca lagi alamatnya. Ini pasti salah kirim! Tidak mungkin perempuan kampungan ini bisa beli mobil kayak begini!”
Karman tampak kebingungan. Ia memeriksa ulang dokumen pengantaran. “Kalau begitu, boleh saya lihat KTP Ibu untuk memastikan?” tanyanya sopan.
Tanpa ragu, Anjani memberikan KTP-nya. Karman membandingkan nama dan alamat.
“Sudah sesuai, Bu. Mohon maaf atas kebingungan ini. Mobilnya mau kami parkirkan di mana?”
Anjani menoleh ke Firman. “Man, kamu carikan tempat kosong buat parkir mobil saya, ya.”
“Siap, Bu,” jawab Firman cepat.
Adi yang dari tadi terdiam, akhirnya angkat bicara, kesal.
“Kenapa kamu nurut banget sih sama perempuan kampungan ini?” semprot Adi ke Firman.
Firman hanya tersenyum. “Ya nurutlah, Pak. Beliau ini bos saya. Beliau pemilik kontrakan ini. Saya yang kelola 50 pintu, dan semuanya milik Bu Anjani. Malah ini cuma sebagian kecil dari kontrakan yang beliau punya.”
Ucapan Firman membuat semuanya tercengang.
“Bohong kamu! Kamu pemilik kontrakan ini, bukan dia!” ujar Adi panik, wajahnya tampak makin pucat.
Nina dan Nani juga hanya bisa terpaku. Mereka kehabisan kata-kata.
Sementara itu, Karman sudah siap menurunkan mobil dan memarkirkannya di tempat yang ditunjukkan Firman. Tapi Mirna belum menyerah. Dia maju dan berteriak,
“Hentikan! Ini bukan mobil dia! Ini bukan mobil anak saya! Dia itu cuma ibu rumah tangga kampungan yang hidup dari uang suami! Suaminya itu anak saya! Jadi pasti ini beli pakai uang Riki! Antarkan mobil ini ke rumah saya saja!”
Karman menatap Mirna dengan bingung, lalu menjawab tegas, “Maaf, Bu. Kami cuma menjalankan tugas. Dan mobil ini dibeli tunai oleh Ibu Anjani. Kami tidak berani mengantarkan mobil ke alamat lain, karena sudah sesuai dengan bukti pembelian dan dokumen resmi.”
Setelah berkata begitu, Karman kembali ke mobil towing dan mulai menurunkan mobil baru itu.
Mirna mematung. Badannya terasa lemas. Dia benar-benar tidak percaya. Wanita yang selama ini dia hina, sebut kampungan, ternyata mampu membeli mobil baru seharga hampir 400 juta. Padahal dia sendiri sampai sekarang belum mampu membelinya.
Tiba-tiba, sebuah mobil Fortuner berhenti di depan gerbang kontrakan. Seorang wanita berseragam PNS buru-buru keluar dan berlari mendekati Anjani.
“Anjani, besok pagi jam 10 Pak Menteri mau ketemu kamu. Beliau ingin penjelasan lebih lanjut soal formula AJ25,” ucap wanita itu cepat sambil terengah-engah. Namanya Rina, rekan Anjani dari kementerian.
Semua mata tertuju pada Anjani. Bahkan Firman dan teman-temannya juga ikut terkejut.
Mirna nyaris pingsan. Baru saja dia menganggap Anjani tidak berguna, eh sekarang malah disebut-sebut oleh pejabat dari kementerian, bahkan diminta datang langsung oleh seorang menteri.
Mirna berdiri kaku. Otaknya sibuk mencerna kenyataan demi kenyataan yang tak sesuai dengan bayangannya. Dalam hati, dia masih terus bertanya: siapa sebenarnya Anjani?
“jika kalian tidak ada kepentingan lagi sebaiknya kalian pergi aku ada tamu penting” ucap anjani
“anjani aku tahu ini adalah hasil kerja keras riki bukan, jadi kamu harus membagi harta kamu, kalau tidak aku tidak akan pernah mengijinkan riki untuk menceraikan kamu” ucap adi memberi ancaman
Anjani mendekat pada adi “jangan macam-macam atau aku sebarkan kelakuan kamu yang suka bawa wanita ke kontrakan kamu” bisik anjani yang membuat adi bergetar takut
pilih siapa yaa.. ikutan bingung 😆😆
Si Riki sama Ibunya biar nyaho.. wanita yg di elu-elu kan taunya adalah simpenen bapak/suami mereka 😜😜😜😆
Lanjuuttt kakakkkk....
Ditunggu kehancuran mantan suami Anjani...