Anjani Istri Yang Diremehkan

Anjani Istri Yang Diremehkan

bab 1

Tepat pukul dua belas malam, Anjani terbangun.

Hening menyelimuti kamar, hanya suara detak jarum jam di dinding yang terdengar seperti gema di telinganya. Ia menoleh pelan ke samping. Riki sudah terbaring di sebelahnya. Lelaki itu pulang diam-diam, tanpa sepatah kata, tanpa pelukan, tanpa... ucapan ulang tahun.

Padahal, Anjani sudah menunggunya sampai pukul setengah sebelas tadi malam, dengan mata yang nyaris tak sanggup terbuka dan harapan yang terus menipis.

Kini, ia hanya bisa menatap punggung suaminya yang lelap.

Lelaki yang dulu, tak pernah absen mengucapkan "Selamat ulang tahun, sayang," bahkan dengan cara-cara sederhana yang selalu membuatnya tersenyum. Tapi tahun ini… tidak ada apa-apa. Bahkan sekadar lirih pun tidak.

"Mungkin Mas Riki lelah setelah seharian sibuk bekerja," gumam Anjani, mencoba meredam kecewa yang terus menekan dadanya.

Ia meraih ponsel di samping bantal. Membuka layar. Hanya satu pesan masuk.

Dari Reno, kakaknya.

“Selamat ulang tahun, gemoy!”

Anjani tersenyum miris. Ia membalas cepat.

“Ih, nyebelin banget! Aku sekarang langsing tau!”

Tak ada pesan lain. Tak ada notifikasi dari suami yang tidur hanya sejengkal darinya.

Tiba-tiba terdengar bunyi alarm dari ponsel Riki. Ia refleks menoleh. Layar ponsel menampilkan satu pengingat:

“Ulang Tahun Lusi”

Dada anjani terasa sesak untuk seorang bernama lusi Riki sampai menyetel alrm khusus di ponselnya, sedangkan dia sebagai istrinya seolah dilupakan.

Anjani melihat Riki membuka bangun, lalu dengan malas mengecek ponselnya, mengetik sesuatu, dan tanpa berkata apa pun—tidur kembali. Ia menyelipkan ponsel itu di bawah bantalnya.

Anjani menahan napas. Artikel-artikel yang pernah ia baca melintas di benaknya. Tentang tanda-tanda suami selingkuh. Salah satunya... menyembunyikan ponsel.

“Tidak mungkin. Mas Riki lelaki yang baik,” ia bergumam, mencoba menepis bayangan buruk.

Pagi datang dan Riki sama sekali tidak mengucapkan selamat ulang tahun untuk Anjani. Seolah anjani bukan orang penting. Sebenarnya tidak masalah bagi anjani tapi saat riki mencoba mengingat ulang tahun wanita lain sedangkan dia tidak, itu yang membuat anjani terasa sakit.

Dengan mata sembab, Anjani bangkit. Ia tak bisa larut. Pagi selalu datang dengan daftar panjang pekerjaan rumah.

Ia menyiapkan sarapan sehat rendah kolesterol untuk ibu mertuanya, Mirna.

Membuatkan kopi untuk bapak mertuanya, Adi.

Mencuci pakaian untuk semua penghuni rumah: ibu mertua, bapak mertua, dan dua adik Riki yang sama-sama perempuan... dan sama-sama terlalu malas untuk mencuci baju sendiri.

Jam tujuh pagi, semuanya sudah rapi. Meja makan sudah penuh. Aroma masakan memenuhi udara. Tapi tidak ada satu pun yang berkata “terima kasih”.

Yang ada justru...

“Riki, nanti malam jangan lupa datang ke acara ulang tahun Lusi. Dia baru pulang dari luar negeri, selesai S2-nya,” ucap Mirna sambil mengunyah makanan.

“Wah, Mbak Lusi sudah pulang dari Singapura ya,” sahut Nina, adik Riki dengan nada girang.

“Berarti nanti malam kita harus ke sana dong, Bu,” timpal Nani, si kembarannya.

Anjani menunduk. Dadanya kembali sesak.

“Astaga... Mereka begitu antusias dengan ulang tahun orang lain, sementara ulang tahunku sendiri seolah tak dianggap,” pikirnya lirih.

“Bu, Lusi sudah menikah belum?” tanya Adi santai.

“Sepertinya belum, Pak,” jawab Mirna dengan ringan, tanpa memperhatikan Anjani yang duduk diam di ujung meja.

“Yah... Andai saja Riki belum menikah, bisa kita jodohkan sama Lusi,” tambah Adi sembari tersenyum tipis.

"Tring."

Bunyi sendok mengetuk piring. Riki akhirnya bersuara.

“Pak, aku sudah menikah. Jangan coba-coba jodohkan aku dengan Lusi. Hargai dong Anjani.”

Ucapan itu seperti setetes air di padang pasir. Hangat. Menenangkan. Tapi cepat menguap.

Anjani menoleh sekilas, mencari mata Riki. Tapi lelaki itu sudah kembali menunduk, sibuk dengan makanannya. Ia tak yakin, apakah kalimat itu tulus atau hanya formalitas untuk menjaga harga diri.

“Riki, kamu sekarang manajer. Harusnya punya istri yang pantas juga. Istri manajer, bukan... pembantu rumah tangga,” sindir Mirna tanpa ampun.

“Betul banget, Bu,” sahut Nina cepat.

“Ni, kamu nggak kepikiran kerja kayak istri-istri lain? Setidaknya bantuin suami, kek,” tanya Mirna, tajam.

“Saya kira tidak ada salahnya jadi ibu rumah tangga, Bu,” jawab Anjani pelan, menahan perih.

“Yah, tapi sampai kapan kamu akan jadi beban suami? Kalau kamu ibu rumah tangga terus, lama-lama bosan juga dilihat orang.”

Anjani menunduk. Mulutnya kelu. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Riki mendahului.

“Sudah, Bu. Anjani nggak kerja itu permintaan saya. Saya nggak mau kalau gaji Anjani lebih besar dari saya. Harga diri saya di mana?”

Kalimat itu membuat hati Anjani runtuh. Jadi, alasan ia dilarang bekerja selama ini... karena ego? Karena harga diri suaminya takut kalah saing?

“Hmm. Tetap aja, Riki. Jadi ibu rumah tangga itu... ya memalukan. Menggantungkan hidup dari lelaki itu hanya jadi beban saja,” gumam Mirna, enteng.

Anjani meremas ujung bajunya di bawah meja. Ingin sekali ia menjawab:

"Lalu ibu apa? Bukankah ibu juga hanya menggantungkan hidup pada anak?"

Tapi ia tahan. Karena satu kata saja bisa meledakkan segalanya.

“Permisi. Saya sudah selesai makan,” ucap Anjani dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Ia bangkit, berjalan ke dapur dengan langkah berat. Dapur itu sudah seperti pelarian. Tempat ia bisa menangis sebentar. Tempat ia bisa bernafas tanpa harus pura-pura kuat.

Sudah enam bulan ia tinggal di rumah ini.

Dan selama itu pula... ia menyimpan luka, satu demi satu.

Riki berdiri di pintu, merapikan jasnya. "Anjani, abang mau berangkat," ucapnya datar, seperti biasa.

Anjani bergegas menghampirinya. Namun, meski hatinya berharap, ia tahu jawabannya. Tidak ada ucapan ulang tahun, tidak ada pelukan, tidak ada tanda cinta seperti yang dulu selalu ada. Cuma kebisuan yang terasa begitu kental di udara.

"Jangan dimasukkan perkataan ibu, sebenarnya ibu baik, kamu baik-baik saja di rumah," ujar Riki, seakan memberi penjelasan yang tak diminta.

Anjani hanya mengangguk, berusaha menahan air mata yang semakin menggenang. Ia menatap suaminya dalam diam.

Dengan hati yang terluka, Anjani melangkah maju dan mencium tangan Riki. "Hati-hati, bang," ucapnya lirih, seperti bisikan doa yang mengalir tanpa berharap ada balasan.

Riki hanya tersenyum tipis, lalu melangkah keluar. Anjani menatap punggung suaminya yang semakin menjauh, merasa seperti kehilangan arah.

Namun sebelum ia sempat menutup pintu, suara percakapan dari ruang tamu terdengar jelas. Mirna dan Adi sedang berbicara dengan nada yang cukup keras untuk didengar dari luar.

"Pak, sebaiknya kita jodohkan saja Riki dengan Lusi, Pa. Kalau Riki menikah dengan Lusi, yakin karirnya akan meroket," kata Mirna, dengan nada penuh keyakinan.

"Bagaimana kalau Anjani nggak setuju?" tanya Adi, suara khawatirnya jelas terdengar.

"Ya gampang, tinggal cerai saja, Pak. Ibu malu memperkenalkan Anjani, orang kampung, nggak kerja lagi," jawab Mirna tanpa beban.

Anjani merasa seolah seluruh tubuhnya dibekap beban yang terlalu berat. Air matanya menetes, tapi ia tak mampu mengeluarkan suara.

"Jangan, Bu. Lebih baik Riki poligami saja. Anjani itu masakannya enak, pekerjaannya rapi dan rajin. Kalau wanita karir, mana bisa melayani seperti itu?" kata Adi dengan penuh rasa puas.

"Ah, kalau begitu gampang, Pak. Kita tinggal cari saja ART," sahut Mirna.

"Jangan buang-buang uang, Bu. Kapan Riki bisa beli rumah kalau nggak berhemat?" jawab Adi, tetap dengan nada yang datar.

Anjani menggigil mendengar semua itu. Ia mengunci pintu pelan dan berjalan menuju dapur. Langkahnya terasa berat, seperti setiap gerakan mengandung ratusan batu yang menambah beban di dadanya. Ia berjalan ke kamar mandi, menatap cermin yang tak bisa memberinya jawaban, dan akhirnya ia menangis—tanpa suara.

Terpopuler

Comments

SOPYAN KAMALGrab

SOPYAN KAMALGrab

ok makasih

2025-05-18

0

Uthie

Uthie

Mampir 👍♥️

2025-05-17

1

Liana CyNx Lutfi

Liana CyNx Lutfi

benalu teriak benalu

2025-05-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!