“Perut itu harusnya di isi dengan janin, bukan dengan kotoran mampet!”
Ara tak pernah menyangka, keputusannya menikah dengan Harry—lelaki yang dulu ia percaya akan menjadi pelindungnya—justru menyeretnya ke dalam lingkaran rasa sakit yang tak berkesudahan.
Wanita yang sehari-harinya berpakaian lusuh itu, selalu dihina habis-habisan. Dibilang tak berguna. Disebut tak layak jadi istri. Dicemooh karena belum juga hamil. Diremehkan karena penampilannya, direndahkan di depan banyak orang, seolah keberadaannya hanyalah beban. Padahal, Ara telah mengorbankan banyak hal, termasuk karier dan mimpinya, demi rumah tangga yang tak pernah benar-benar berpihak padanya.
Setelah berkali-kali menelan luka dalam diam, di tambah lagi ia terjebak dengan hutang piutang—Ara mulai sadar: mungkin, diam bukan lagi pilihan. Ini tentang harga dirinya yang terlalu lama diinjak.
Ara akhirnya memutuskan untuk bangkit. Mampukah ia membuktikan bahwa dia yang dulu dianggap hina, bisa jadi yang paling bersinar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Tiga hari sudah Ara memilih tinggal di rumah ibunya, Farida. Tiga hari sejak pesta ulang tahun Bu Syam yang berubah menjadi ajang penghinaan. Dan selama tiga hari itu pula, Harry tak kunjung muncul—alias tak menghubungi, apalagi menyusul.
Namun malam itu, suara motor berhenti di depan rumah Bu Farida. Wanita paruh baya itu mengintip dari balik tirai, tampak sosok Harry berdiri di halaman. Wajah sang menantu terlihat canggung, juga tegang. Seperti seseorang yang datang untuk menebus kesalahan yang bahkan belum ia pahami sepenuhnya.
“Ar, suamimu datang.” Ucap Bu Farida sambil melirik Ara yang sedang mengunyah kerupuk di depan televisi—bersama Wulan.
Bu Farida lebih dulu melangkah—membuka pintu, berdiri di ambang dengan raut wajah tegas.
“Mau apa kamu ke sini?” tanya Bu Farida dengan sorot mata layaknya bongkahan es.
Harry membeku di tempat, tatapan dingin dari ibu mertuanya membuat ia kesulitan bernapas. Lehernya terasa tercekik. Dan, Bu Farida menyadari hal itu.
“Kenapa? Nggak nyaman ya—diperlakukan dengan sikap jauh dari ramah tamah? Ck, belum ada semenit. Gimana dengan Ara—3 tahun diperlakukan seperti itu oleh ibumu.”
Harry menunduk, lidahnya kelu, tampaknya ia betah membisu.
“Saya tanya sekali lagi, mau apa kamu kemari?” tanya Bu Farida lagi—dengan nada lebih ketus.
Harry menghela napas pelan, lalu menyeka keringatnya yang nyaris menetes di ujung pelipis. “Saya ingin menjemput Ara pulang, Bu.”
Farida tidak langsung merespons. Matanya menelisik wajah menantunya dalam diam. Tentu ia tak akan semudah itu mengizinkan Harry untuk membawa Ara pulang.
“Tiga hari kamu biarkan istri kamu di sini. Tanpa kabar, tanpa permintaan maaf. Sekarang kamu datang seolah semua baik-baik saja? Kamu bener-bener mengecewakan saya, Harry!”
Bu Farida menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan perkataannya. Sementara Ara, baru saja berpijak di belakang sang ibu. Ia menatap datar Harry dengan perasaan yang nyaris—hambar.
“Saya merestui hubungan kalian dulu dengan membawa harapan—Kamu bisa membela serta menjaga Ara dari siapapun yang akan melukai hatinya. Tapi, apa ini? Ara di hina—tepat di depan mata saya dan juga kamu, Harry. Dan tindakanmu? Tak lebih dari seekor ayam sakit!” lanjut Bu Farida dengan napas sengal. “Saya nggak bisa membayangkan, bagaimana putri saya selama 3 tahun ini—hidup bersama kamu. Pasti ... anakku sangat menderita.”
Bu Farida menarik pelan Ara—hingga posisi mereka berdua sejajar. Kemudian, ia menatap Harry lagi.
“Coba kamu lihat. Anak saya yang sebaik ini—apa pantas diperlakukan semena-mena sama ibumu?! Anak yang saya besarkan dengan penuh kasih sayang, malah kamu bawa pergi untuk hidup di dalam neraka—tega kamu, Har!”
Ara mengusap pelan punggung sang ibu yang napasnya semakin sengal. Lalu menatap nanar sang suami.
Harry semakin menunduk. “Saya minta maaf, Bu. Jujur, saya juga kepikiran tentang hubungan Ara dengan ibu saya. Tapi, saya bisa apa? Keduanya sangat berarti untuk saya. Saya mencintai Ara, tentu saya sangat ingin melindunginya—tapi ... Saya nggak sanggup untuk melawan ibu saya. Saya ... nggak mau jadi anak yang durhaka.”
“Yang nyuruh kamu ngelawan ibumu itu siapa, Mas?” tanya Ara akhirnya. “Aku nggak pernah berharap kamu jadi anak yang durhaka. Tapi bukan berarti, aku dapat menerima sosok yang zolim sama istrinya sendiri.”
“Kapan aku zol—” Harry tak melanjutkan ucapannya saat melihat reaksi sang mertua.
Bu Farida menggeleng-gelengkan kepalanya, tangannya bersedekap di depan dada.
“Lucu ya. Kamu lebih takut jadi anak durhaka daripada jadi suami yang gagal. Padahal Ara itu istrimu, tanggung jawabmu,” ucapnya tegas.
Harry kembali memilih diam, tetapi, matanya mulai berkaca-kaca. Entah karena mulai menyadari kesalahannya—atau sekedar malu karena terlalu disudutkan.
“Kalau saya tau Ara bakal disia-siakan seperti ini—nggak akan saya setujui permintaan terakhir ayahnya Ara. Menyesal saya, demi Allah!” lirih Bu Farida.
Air mata Harry menetes. “Saya mencintai Ara, Bu. Saya tau ... saya salah. Tapi, tolong beri saya kesempatan satu kali lagi.”
Lalu, pria berpakaian kemeja hijau lumut itu meraih tangan sang istri. “Dek, maafin aku ya. Hm?”
Ara berusaha menepis. Namun, Harry terlalu erat menggenggam jemarinya.
“Selain perasaan ku, kamu juga mau nyakitin fisik ku?” sinis Ara.
Harry tersadar dan segera memperlembut genggamannya. Dia menatap Ara penuh mohon. Apapun akan ia lakukan untuk membawa Ara pulang hari ini—ia tak sanggup berjauhan dari sang istri, ia tak sanggup mengerjakan pekerjaan rumah seorang diri.
Sementara Bu Farida, menatap Ara lekat-lekat. Menunggu keputusan sang putri.
Ara menghembus pelan napasnya seraya membatin. ‘Jujur, aku terlanjur kecewa—3 hari dia baru datang untuk menjemput. Mengingat hal itu, jelas tak sudi aku mengikuti Mas Harry pulang. Tapi, kalau aku berlama-lama di sini ... pasti, aku hanya membebani pikiran Ibu. —Aku harus pulang. Setidaknya, biar masalah ini kami selesaikan di rumah tanpa melibatkan Ibu.’
Ara melangkah ke dalam, menuju ke kamar. Mengambil beberapa helai daster dan juga setelan kerja, tak lupa juga dengan pakaian dalam. Sisa pakaiannya, sengaja ia tinggalkan—firasatnya mengatakan, bahwa ia mungkin akan kembali pulang ke rumah sang ibu.
Sementara di pintu utama, Bu Farida memandangi Harry lama, sebelum akhirnya menarik napas panjang.
“Inget baik-baik, Harry. Ini kesempatan terakhir kamu. Manfaatkan sebaik-baiknya. Kalau kamu masih tidak mampu melindungi Ara... saya pastikan, kamu akan kehilangan Ara selama-lamanya,” peringat Bu Farida.
Tepat setelah berkata demikian, Ara muncul dari balik pintu. Sudah siap dengan tas kecil di pundaknya. Ia menatap ibunya, bukan suaminya.
“Ara pulang, Bu,” katanya pelan. “Ibu jangan terlalu khawatir ya.”
Bu Farida menatap putrinya, lalu menarik Ara ke dalam pelukan hangat. Tak ada kata-kata yang ia ucap. Hanya pelukan seorang ibu yang seakan berkata : Ibu akan selalu ada untukmu, Ara.
Ara melepas pelukan sang ibu, kemudian berbalik badan—menatap Wulan.
“Kalau lo udah yakin, hubungi gue ya. Mumpung memar di tubuh lo belum hilang,” kata Ara pada Wulan—dan langsung dibalas anggukan kecil.
Ara akhirnya berjalan pelan menuju gerbang. Harry mengikuti di belakang, tak berani menyentuh—apalagi bicara.
Dan, di sepanjang perjalanan pulang, tidak ada dialog di antara mereka. Keduanya hanya diam—saling tak nyaman.
...****************...
Setiba di rumah, suasana masih sama senyap nya seperti di sepanjang perjalanan. Ara langsung masuk dan meletakkan tasnya di atas meja tanpa menoleh sedikit pun ke arah Harry.
Harry berdiri di ambang pintu, menatap punggung istrinya yang terasa semakin jauh meski jaraknya hanya beberapa langkah saja.
Tentu Harry kesal melihat Ara yang hanya diam saja. Lalu ia akhirnya membuka percakapan, pelan tapi cukup terdengar.
“Dek, kamu nggak kepengen tau kenapa wajahku bonyok begini?”
Ara berhenti membuka resleting tas. Sekilas menoleh, tatapannya datar. Bukan karena tidak peduli—justru karena ia sudah terlalu lelah untuk peduli.
Harry tertawa hambar, menunjuk wajahnya yang masih lebam kebiruan. Ia duduk di sisi ranjang, tepatnya di samping Ara.
“Mas di pentung sama Bu Romlah. Sakit banget, Dek.” Harry memperhatikan ekspresi Ara yang tetap datar. “Ternyata bener, si Rizal yang maling warungnya Bu Romlah, Dek. Ada rekaman aksinya. Kamu masih ingat Rizal, ‘kan? Pacarnya Dwi, yang katanya punya showroom mobil itu.”
Ara tak menjawab, hanya menatap datar wajah sang suami. Ia tau, bukan kata-kata ini yang sebenarnya ingin disampaikan Harry padanya.
“Ternyata, Dek, itu cuma modusnya doang buat deketin Dwi. Buat mantau situasi di lingkungan ini. Pengusaha, showroom mobil, anak orang kaya—semuanya hanya omong kosong dia belaka. Parahnya ... Si Rizal kabur.” Harry menarik napas dalam-dalam.
Ara menilik manik sang suami lekat-lekat, sudut bibirnya terangkat. “Langsung ke intinya aja, Mas. Apa yang sebenarnya ingin kamu bicarakan?”
Harry terdiam, menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia meremas kuat ujung kemejanya, kemudian menatap Ara canggung.
“Begini, Dek. Itu ....” Harry tampak ragu, tetapi, ia melanjutkan ucapannya. “Bu Romlah meminta kami yang mengganti rugi semuanya, totalnya 9 juta. Bapak sama Ibu nggak ada uang simpanan. Dwi kan nggak kerja, jadi ... hanya Mas yang bisa membantu mereka.”
“Lantas?” Ara menaikan satu alisnya. Membuat Harry semakin gugup.
“Begini, Dek ... Kamu bisa nggak ... pinjem uang 5 juta sama Bos kamu?” tanya Harry tanpa tau malu.
Ara memejamkan matanya sejenak, ada yang menusuk-nusuk di dadanya. Harry langsung meraih tangan Ara, menggenggamnya erat.
“5 juta doang, Dek. Mas bakal ganti kok—meskipun nyicil. Kapan lagi kamu bisa bantu ibuku? Anggap aja, ini cara kamu supaya bisa disukai ibu. Mas baru dapat pinjaman dari kantor 3 juta—1 jutanya ... ada temen Mas yang mau bantuin.”
Kedua alis Ara beradu, batinnya bertanya-tanya. ‘Teman? Siapa? Puspa?’
“Dek?”
Ara tersentak, lalu kembali menatap Harry.
“Kenapa mesti minjem sama aku, Mas? Aku kan cuma kerja di swalayan. Gajinya pas-pasan. Kerjanya orang rendahan, yang kayak kalian bilang,” sindir Ara.
“Haduh, Sayang. Jangan diambil hati lah, itu kan cuma guyonan. Kamu nya aja, terlalu perasa—baper. Lagian, Mas tau kok, meskipun hanya di Swalayan ... kamu pasti dapat posisi yang lumayan di tempat kerja. Dapet di bagian office, ‘kan? Soalnya, kamu pakai setelan kantoran. Pasti, gaji kamu lumayan itu, 3jutaan nggak ke mana.”
“Iya, gaji aku emang lumayan kok,” jawab Ara.
“Nah, makanya ... pinjemin dulu ya, Sayang.” Harry memijit-mijit lengan Ara, mencoba merayu.
“Maaf, Mas,” kata Ara dingin. Harry langsung berhenti memijit. “Gaji aku memang lumayan. Tapi, kamu harus tau satu hal, Mas. Aku kerja keras sampai jungkir balik, bukan untuk buka jasa koperasi simpan pinjam. Lagian, aku jamin—uang itu nggak akan kamu kembalikan. Lebih tepatnya, ibu kamu yang bakalan mencak-mencak kalau sampai kamu mengembalikan uang itu. Masa aku yang capek-capek kerja, kalian yang menikmati hasilnya. Enak bener.”
Ara berdiri, lalu menoleh—menatap jengah Harry yang terperangah.
“Dan, maaf banget, Mas. Aku nggak butuh tuh, disukai oleh ibumu. Karena, itu bukan hal yang lagi penting buat aku!”
Ara melangkah, menuju ke kamar mandi. Meninggalkan Harry yang membisu ditempat.
Sementara Harry, menelan ludahnya yang terasa pahit.
Batinnya menggerutu, ‘kamu bener-bener nggak bisa diandalkan, Ara.’
*
*
*
pinisirinnnnnn🤭🤭🤭