Kinara, seorang gadis berusia 24 tahun, baru saja kehilangan segalanya, rumah, keluarga, dan masa depan yang ia impikan. Diusir ibu tiri setelah ayahnya meninggal, Kinara terpaksa tinggal di panti asuhan sampai akhirnya ia harus pergi karena usia. Tanpa tempat tujuan dan tanpa keluarga, ia hanya berharap bisa menemukan kontrakan kecil untuk memulai hidup baru. Namun takdir memberinya kejutan paling tak terduga.
Di sebuah perumahan elit, Kinara tanpa sengaja menolong seorang bocah yang sedang dibully. Bocah itu menangis histeris, tiba-tiba memanggilnya “Mommy”, dan menuduhnya hendak membuangnya, hingga warga sekitar salah paham dan menekan Kinara untuk mengakui sang anak. Terpojok, Kinara terpaksa menyetujui permintaan bocah itu, Aska, putra satu-satunya dari seorang CEO muda ternama, Arman Pramudya.
Akankah, Kinara setuju dengan permainan Aksa menjadikannya ibu tiri atau Kinara akan menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 34
Malam turun pelan di halaman rumah besar itu. Lampu taman menyala temaram, memantulkan bayangan pepohonan yang bergoyang tertiup angin. Kinara duduk sendiri di bangku kayu, kedua tangannya saling bertaut di pangkuan, pandangannya kosong menatap langit gelap.
Pikirannya berkelana ke banyak hal, tentang hidup, tentang pilihan, tentang masa depan yang tak pernah benar-benar ia rencanakan.
Langkah kecil terdengar mendekat.
“Mommy…”
Kinara menoleh, Aksa berdiri beberapa langkah darinya, wajah bocah itu berseri, rambutnya sedikit berantakan seperti biasa.
“Mommy lagi ngapain sendirian?” tanya Aksa sambil berlari kecil mendekat.
Kinara tersenyum tipis. “Lagi mikir.”
Aksa langsung memanjat duduk di sampingnya, lalu berkata dengan nada bangga,
“Sebentar lagi Aksa wisuda dari TK, Mommy. Aksa bakal jadi anak SD.”
Kinara menoleh, mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Aksa nanti jadi pria dewasa,” lanjut bocah itu mantap. “Aksa bakal jagain Mommy.”
Kalimat polos itu menghantam hati Kinara tanpa aba-aba. Dadanya terasa sesak. Tanpa ia sadari, bulir air mata jatuh begitu saja, membasahi pipinya.
“Mommy…?” Aksa langsung panik. “Kenapa nangis? Aksa salah ya? Aksa janji nggak nakal lagi.”
Kinara tersentak, cepat-cepat menghapus air matanya. Ia tersenyum, lalu menarik Aksa ke dalam pelukannya, memangku tubuh kecil itu erat.
“Bukan begitu,” ucapnya lembut. “Aksa nggak nakal.”
Aksa mendongak, matanya bulat penuh cemas.
“Aksa itu … pinter,” lanjut Kinara sambil mengusap rambut bocah itu. “Dan baik.”
Wajah Aksa langsung berbinar. “Bener?”
Kinara mengangguk. “Banget.”
Aksa tertawa kecil, lalu menyandarkan kepalanya di dada Kinara. Keduanya terdiam, menikmati malam yang tenang, saling menggoda dengan obrolan ringan dan tawa kecil yang jujur.
Dari kejauhan, roda kursi bergerak perlahan. Arman baru tiba di halaman. Tangannya mencengkeram kuat pegangan kursi roda, dadanya terasa penuh saat matanya menangkap pemandangan itu, Kinara dengan Aksa di pangkuannya, seperti potret keluarga yang selama ini tak pernah benar-benar ia miliki.
Ada perasaan asing menghangat di dadanya.
“Daddy!”
Aksa yang lebih dulu menyadari kehadiran Arman langsung berseru riang, melambaikan tangan kecilnya. Arman tersentak, lalu mengangkat wajahnya. Tatapannya bertemu dengan Kinara.
Beberapa waktu telah berlalu.
Kamar utama terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu meja menyala redup, menyisakan cahaya hangat yang jatuh di ranjang besar dan kursi roda di sampingnya. Kinara berdiri di hadapan Arman, membantu pria itu mengganti baju tidurnya.
Tangannya sedikit gemetar saat menyerahkan piyama berwarna gelap.
“Ini … bajunya,” ucap Kinara pelan.
Arman mengangguk, membiarkan Kinara membantunya dengan sabar. Tak ada sentuhan berlebihan, tak ada kata yang tergesa, hanya dua orang dewasa yang saling menghormati ruang dan perasaan satu sama lain.
Setelah semuanya selesai, Kinara hendak menjauh. Namun suara Arman menahannya.
“Kinara,” panggilnya rendah. “Apa yang sedang kamu pikirkan sekarang?”
Kinara terdiam, dia menunduk, jemarinya saling meremas.
“Aku…” napasnya tertahan sejenak. “Aku pikir … mungkin tanpa sadar aku sudah memakai hati dalam pernikahan kontrak ini.”
Kata-kata itu jatuh perlahan, tapi berat.
Arman tidak langsung menjawab. Kursi rodanya bergerak mendekat, pelan namun pasti. Hingga jarak mereka begitu dekat cukup dekat untuk membuat Kinara menahan napas.
Arman mengulurkan tangan, menggenggam tangan Kinara dengan hangat dan mantap.
“Terima kasih,” ucapnya lirih namun tegas. “Terima kasih karena tidak meninggalkanku … dengan kondisi yang tak sempurna ini.”
Kinara mengangkat wajahnya.
“Terima kasih karena menerima semua kekuranganku,” lanjut Arman, matanya berkaca-kaca. “Dan karena mencintai Aksa … seperti dia anakmu sendiri.”
Genggaman itu menguat.
“Kinara,” suaranya sedikit bergetar, “saat kamu bilang kamu akan memulai … saat itu juga aku berjanji pada diriku sendiri.”
Kinara menelan ludah.
“Aku juga akan memulai,” kata Arman mantap. “Melupakan masa lalu. Melepaskan semua luka yang pernah ada.”
Ia menarik napas dalam.
“Dan meraih masa depan … bersama kamu dan Aksa.”
Air mata Kinara akhirnya jatuh. Bukan karena sakit, melainkan karena hangat yang tak pernah ia duga akan ia rasakan lagi.
Arman tiba-tiba menggerakkan tubuhnya, kedua tangannya mencengkeram sandaran kursi roda dengan kuat. Otot-otot lengannya menegang, napasnya terdengar berat. Kinara yang melihat itu langsung panik.
“Mas Arman!” Kinara spontan berdiri, refleks hendak menahannya.
“Jangan panik,” ucap Arman cepat, suaranya tertahan namun tegas. “Aku tidak akan jatuh.”
Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Arman berhasil berdiri. Tubuhnya sedikit bergetar, lututnya tampak belum sepenuhnya kuat menopang, tapi dia berdiri.
Meski hanya beberapa detik. Kinara menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca.
“Mas…” suaranya tercekat. “Mas kamu berdiri.”
Arman tersenyum kecil, bangga sekaligus lelah. Ia kembali duduk perlahan di kursi rodanya, napasnya terengah, tapi tatapannya tak lepas dari Kinara yang berdiri di hadapannya.
“Aku tidak bisa lama,” kata Arman pelan. “Tapi aku ingin kamu tahu … aku berjuang. Untuk hari ini dan untuk besok.”
Kinara menelan ludah.
“Kinara,” lanjut Arman, suaranya merendah, “aku ingin kamu memulainya malam ini.”
Jantung Kinara seakan berhenti sesaat.
“Aku ingin,” Arman menatapnya dalam, “besok pagi … kamu benar-benar milikku. Bukan karena kontrak. Tapi karena kamu memilih.”
Wajah Kinara langsung memerah. Matanya membulat, rasa malu membuat jemarinya terasa dingin, tubuhnya kaku seolah lupa cara bergerak.
Arman menangkap perubahan itu.
"Jika kamu takut,” katanya lembut, “tidak apa-apa. Kamu boleh menolak. Aku tidak akan memaksamu.”
Hening menyelimuti kamar itu.
Kinara menarik napas panjang. Dadanya naik turun tak teratur. Lalu, perlahan sangat pelan ia menggelengkan kepalanya.
“Aku…” suaranya nyaris berbisik. “Aku takut.”
Arman menunggu.
“Tapi,” Kinara mengangkat wajahnya, menatap Arman dengan keberanian yang baru ia temukan, “aku akan mencoba.”
Lampu kamar hanya menyisakan cahaya temaram, cukup untuk melihat wajah satu sama lain. Kinara berdiri di hadapan Arman dengan napas yang masih tak beraturan. Tangannya gemetar saat Arman menariknya perlahan, bukan dengan paksaan melainkan undangan.
“Lihat aku,” ucap Arman lirih.
Kinara mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya, tak ada kontrak di antara mereka. Hanya dua hati yang sama-sama ragu, tapi memilih tetap melangkah.
Arman menyentuh pipi Kinara dengan punggung jarinya. Sentuhan itu membuat Kinara menutup mata, seolah seluruh beban hidupnya luruh di satu titik itu. Ketika dahi mereka saling bersentuhan, Kinara bisa merasakan hangat napas Arman dan tenang, sabar.
“Kalau kamu ingin berhenti…” bisik Arman.
Kinara menggeleng kecil. Tangannya justru menggenggam kerah piyama Arman, mencari pegangan, mencari keyakinan.
Ciuman itu terjadi perlahan. Bukan ciuman penuh nafsu, melainkan penuh perasaan canggung, hati-hati, namun jujur. Kinara membalas dengan ragu, lalu lebih berani. Dadanya berdegup kencang saat Arman memeluknya, seolah ingin meyakinkan bahwa ia aman.
Malam itu mereka tidak saling memiliki dengan perasaan masing masing mereka saling menerima.
Ting!
[Mas, apa kabar? Aku sudah kembali dari London. Aku ingin bertemu dengan Aksa,]
Sebuah pesan masuk ke ponsel Arman yang ada di atas nakas, namun saat ini Arman dan Kinara tengah sibuk memadu dan memupuk cinta mereka berdua.
minta balikan lagi sama Arman
nanti pasti Aksa yg di jadikan alat