Ini kisah Riana , gadis muda yang memiliki kekasih bernama Nathan . Dan mereka sudah menjalin hubungan cukup lama , dan ingin melangkah ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan .
Namun kejadian tak terduga pun terjadi , Riana memelihat Nathan sedang bermesraan dengan teman masa kecilnya sendiri. Riana yang marah pun memutuskan untuk pergi ke salah satu klub yang ada di kotanya .Naasnya ada salah satu pengunjung yang tertarik hanya dengan melihat Riana dan memberikannya obat perangsang dalam minumannya .
Dan Riana yang tidak tahu apa-apa pun meminum minuman itu dan membuatnya hilang kendali atas tubuhnya. Dan saat laki - laki tadi yang memasukan obat akan beraksi , tiba-tiba ada seorang pria dewasa yang menolongnya. Namun sayangnya obat yang di kasi memiliki dosis yang tinggi sehingga harus membuat Riana dan laki - laki yang menolongnya itu terkena imbasnya .
Dan saat sudah sadar , betapa terkejutnya Riana saat tahu kalau laki-laki yang menidurinya adalah calon ayah mertuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rodiah Karpiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Empat Belas
Kini Rania menatap ke luar jendela kafe, menyaksikan butiran hujan yang mulai turun perlahan di jalanan. Cahaya lampu jalan memantulkan bayangan samar di genangan air, seperti perasaan dalam dirinya yang bercampur aduk dan sulit diterjemahkan. Ia menggenggam cangkir teh di depannya dengan kedua tangan, seolah berharap kehangatannya bisa meredakan sedikit ketakutan yang ada pada dirinya.
Siska tetap setia berada di dekatnya, ia akan selalu ada untuk Rania jika sahabatnya itu membutuhkannya. Ia tahu, Rania butuh waktu untuk mencerna semua ini, tapi Siska juga sadar bahwa semakin lama sahabatnya menghindar, semakin sulit bagi Rania untuk menghadapi kenyataan ini.
"Ran, gue tahu lo takut." Siska akhirnya membuka suara, suaranya lebih lembut kali ini. "Tapi, Lo nggak bisa terus-terusan kayak gini. Lo harus kuat, bukan hanya untuk diri Lo sendiri, tapi juga untuk bayi di dalam perut lo itu." Ucap Siska lagi sambil menatap sahabatnya itu.
Rania menghela napas panjang. Matanya kini tertuju pada cangkir tehnya, seolah mencari jawaban di dalam cairan hangat itu. "Gue tahu, Sis… gue tahu, kalau gue nggak bisa lari selamanya. Tapi bagaimana kalau Pak Bagaskara menolak kehadiran anak ini ? Bagaimana kalau dia menganggap ini sebagai beban?"ucapnya yang memberitahu apa yang sama ini ia khawatirkan.
Siska yang mendengar itu pun mendengus kecil. "Lo pikir , Pak Bagaskara tipe laki-laki yang kayak gitu?"ucapnya sambil menatap sahabatnya itu " Kalau dia seperti itu, lantas apa alasan dia untuk Lo cek kondisi Lo kemarin ? " Ucap Siska yang mengutarakan pendapatnya.
Rania yang mendengar perkataan Siska pun terdiam. Ia tidak bisa menjawab. Bagaskara bukan laki-laki sembarangan. Ia adalah pria yang disegani, dihormati banyak orang, dan memiliki kendali atas banyak hal dalam hidupnya. Tapi justru karena itulah, Rania merasa ragu. Bagaskara terbiasa dengan kendali. Apa yang akan terjadi jika ia tiba-tiba dihadapkan pada sesuatu yang tidak ia rencanakan—seperti kehamilan Rania ini.
"Dengar, Ran." Siska mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap mata Rania dengan sungguh-sungguh. "Gue ngerti Lo khawatir. Tapi Lo juga harus kasih kesempatan buat dia menunjukkan siapa dirinya sebenarnya. Lo bahkan belum bicara sama dia, tapi kamu udah membuat banyak asumsi buruk." Ucapnya yang berusaha menyadarkan sahabatnya itu.
Rania menggigit bibirnya, hatinya masih penuh dengan kecamuk perasaan. "Gue takut, Sis… Gue nggak siap kalau harus menghadapi penolakan." Ucapnya dengan pelan, ia benar-benar rapuh saat ini.
Siska tersenyum kecil, menggenggam tangan Rania dengan hangat. "Nggak ada yang siap menghadapi penolakan, Ran. Tapi setidaknya, kalau lo udah jujur, Lo nggak akan hidup dengan penyesalan. Lo berhak dapat kepastian, dan bayi ini berhak tahu siapa ayahnya." Ucapnya dengan sabar, ia akan selalu mengingatkan sahabatnya itu.
Rania mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia tahu sahabatnya benar. Ini bukan hanya tentang dirinya lagi. Ada nyawa kecil yang kini bergantung padanya, yang memiliki hak untuk tahu asal-usulnya. Tapi tetap saja, ketakutan dalam dirinya terasa begitu besar.
"Bagaimana kalau dia marah?" ucap Rania yang masih tidak bisa menghilangkan pikiran buruk tentang Bagaskara.
Siska yang mendengar itu pun mengangkat bahunya. "Kalau dia marah, biar saja. Itu hak dia. Tapi yang jelas, Lo sudah melakukan bagian ko dengan jujur. Dan kalaupun dia benar-benar menolak bertanggung jawab—meskipun gue ragu—lo nggak sendirian. Gue di sini. Gue nggak akan ninggalin Lo dan calon keponakan gue ini" ucap Siska sambil tersenyum tulus pada sang sahabat.
Rania menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. Siska selalu ada untuknya, bahkan di saat-saat tersulit seperti ini. Ia merasa sedikit lega, tapi tetap saja, perasaan takut itu masih ada.
"Gue… butuh waktu." ucap Rania pada akhirnya.
Siska yabg mendengar itu pun mengangguk, memahami. "Gue ngerti. Tapi jangan terlalu lama, ya? Semakin lama Lo menunda, semakin berat rasanya." Ucapnya sambil menepuk bahu Rania.
Rania mengangguk pelan, meskipun hatinya masih belum sepenuhnya yakin. Ia tahu ia harus segera membuat keputusan. Tapi bagaimana ia bisa menghadapinya? Bagaimana ia bisa berdiri di hadapan Bagaskara dan mengatakan bahwa ia sedang mengandung anaknya?
Ketidakpastian masih menggantung di benaknya. Tapi satu hal yang pasti—ia tidak bisa terus bersembunyi. Bagaimanapun caranya, ia harus mengumpulkan keberanian untuk menghadapi kenyataan .
***
Setelah beberapa jam, Rania dan Siska masih berada di kafe dekat klinik , saat ini Rania sedang menatap ponselnya dengan gelisah. Jemarinya berulang kali menyentuh layar, membuka daftar kontak, lalu kembali menutupnya tanpa melakukan apa-apa. Nama Bagaskara Wijaya terpampang jelas di sana, seolah-olah menghantui pikirannya. Nomor ini ia dapatkan setelah keluar dari kamar hotel , Bagaskara sendiri yang memberikan nomor handphone-nya untuk di hubungi jika ia membutuhkan bantuannya.
Ia bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, rasa cemas merayapi seluruh tubuhnya. Ia ingin menghubungi pria itu, ingin mengatakannya langsung. Tapi bagaimana? Apa yang harus ia katakan? "Pak, saya hamil anak Anda"—begitu? Mustahil, ia tidak akan berani berkata seperti itu.
"Ran?" Ucap Siska yang sedari tadi melihat gerak-gerik sahabatnya itu.
Siska menyentuh lengannya, membuatnya tersadar dari lamunan. "Lo masih mikirin gimana cara ngomong sama Pak Bagaskara?" tanya Siska pada sahabatnya itu yang kelihatan sedang bingung.
Rania yang mendengar itu pun mengangguk lemah. "Gue nggak tahu harus mulai dari mana, Sis. Rasanya kayak ada tembok besar di depan gue." Ucapnya menjawab pertanyaan dari sahabatnya itu.
Siska menghela napas panjang sebelum menjawab, "Dengar, Lo nggak perlu bikin ini lebih rumit dari yang seharusnya. Lo cuma perlu bilang apa yang sebenarnya terjadi. Sesederhana itu." ucapnya dengan sangsinya tanpa memikirkan perasaan yang di alami oleh Rania saat ini.
Sesederhana itu? Tidak bagi Rania. Tidak ketika pria yang harus dihadapinya adalah Bagaskara Wijaya—sosok yang selama ini dikenal dengan ketenangannya, kehormatannya, dan auranya yang selalu sulit ditebak.
"Apa dia akan percaya?" Rania berbisik, lebih kepada dirinya sendiri.
"Kalau dia nggak percaya, kasih dia bukti," jawab Siska tegas. "Gue yakin, dalam hati kecilnya, dia pasti sadar ada sesuatu di antara kalian. Lo cuma perlu kasih dia waktu untuk memproses semuanya." Ucapnya lagi yang tidak kalah santainya.
Rania menatap lurus ke depan. Langit masih mendung, sisa hujan menyisakan aroma tanah basah yang bercampur dengan udara dingin. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa.
"Gue akan bicara dengannya," ucapnya akhirnya, suaranya lebih mantap daripada sebelumnya.
Siska tersenyum puas. "Bagus. Lo mau ketemu langsung atau lewat telepon dulu?" tanya Siska yang senang mendengar perkataan Rania.
Mendengar hal itu Rania berpikir sejenak. Jika ia mengatakannya lewat telepon, ada kemungkinan Bagaskara tidak akan menanggapi dengan serius. Tidak, ini adalah hal yang harus disampaikan secara langsung.
"Ketemu langsung," jawabnya yakin. "Gue harus lihat reaksinya sendiri." Ucapnya lagi dengan yakin , atau bisa dibilang meyakinkan dirinya sendiri.
Siska mengangguk. "Gue setuju. Kapan lo mau ketemu dia?" Tanyanya sambil menatap ke arah Rania .
"Besok." ucap Rania spontan bicara seperti itu , dan beberapa detik kemudian ia terkejut mendengar jawabannya sendiri.
Tapi ia sadar kalau semakin lama ia menunda, semakin berat rasanya. Ia harus menyelesaikan ini secepatnya , meskipun ia tidak yakin akan menyampaikannya dengan baik.
"Oke . Lo butuh gue buat nemenin lo ketemu sama pak Bagaskara ?" Ucap Siska menawarkan diri untuk menemani sahabatnya itu.
Rania tersenyum kecil. "Gue harus hadapi ini sendiri, Sis. Tapi makasih, ya. Kalau lo nggak ada, gue mungkin nggak akan berani ngelakuin ini." Ucapnya sambil menatap sahabatnya itu.
Siska menepuk bahunya dengan lembut. "Gue selalu ada buat lo, Ran. Sekarang, fokus buat istirahat dulu. Besok lo bakal butuh banyak energi." Ucapnya yang berusaha menenangkan sahabatnya itu.
Rania yang mendengar perkataan dari Siska pun tersenyum , dari dalam hatinya ia sangat bersyukur bisa bersahabat dengan Siska .
.
.
Bersambung....
Dimohon untuk tidak menjadi silent reader ya , aku menunggu keritik dan saran dari kalian 🤭🤗😍