Malam "panas" antara Danar dan Luna, menjadi awal kisah mereka. Banyak rintangan serta tragedi yang harus mereka lalui. Masa lalu mereka yang kelam akankah menjadi batu sandungan terbesar? atau malah ada hamparan bukit berbatu lainnya yang terbentang sangat panjang hingga membuat mereka harus membuat sebuah keputusan besar dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kata Kunci, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23.
Dimas berjalan dengan pandangan kosong, di sisa harinya dia merasa sangat hampa, kesal ingin rasanya dilampiaskan namun lelaki itu tidak tahu tempatnya atau pada siapa. Bagian kepala yang berdarah sudah diobatinya sendiri di ruang istirahat hingga membuat beberapa temannya yang melihat sangat khawatir. Mereka menyarankan Dimas untuk segera ke dokter, tapi ditolaknya dan ia lebih memilih meminta ijin 1/2 hari. Napas berat terdengar dari Dimas saat sudah diatas motor yang kemudian membawanya menjauh dari gedung ABS.
Di toilet wanita sebuah lantai, suara keran air dinyalakan hingga tidak ada seorang pun yang tahu aktifitas di dalam. Suara tangis sesegukkan dan terlihat raut wajah sedih bukan main dari seorang Dian, perempuan itu duduk diatas tutup kloset duduk, ditumpahkan rasa sedih yang dirasakannya cukup lama.
Kemudian Dian keluar dengan mata cukup bengkak dan dilihat pantulan penampilannya di depan cermin. Diputar kembali keran wastafel lalu dibilas wajahnya beberapa kali hingga basah kuyup, disaat yang sama suara hentikan sepatu mendekat dan dia cepat - cepat mengeringkan wajahnya dengan tisu, disaat kedua mata perempuan berkacamat itu terpejam sebuah tepukan pelan mendarat dialah satu bahunya. Lalu seketika dia membuka mata dan kembali ekspresi sedihnya muncul, Dian berbalik dan memeluk sosok yang menepuknya tadi.
"D...," ucap singkat nan pelan orang itu sambil membalas pelukan Dian.
"Dia, dia bakal benci sama aku Mut, pasti..." ucap Dian kepada sosok yang tidak lain adalah saudara kembarnya Mutiara.
Perempuan yang memiliki wajah sama dengan Dian itu memeluk erat saudara kembarnya itu sambil dielus dan tepukan pelan sesekali terlihat dilakukan Mutiara dengan harapan bisa menenangkan perempuan berkacamata yang kembali menangis sangat sedih.
xxxxxxxx
Mutiara menyodorkan gelas dengan asap tipis yang mengepul pada Dian. Perempuan yang sedang tidak memakai kacamata itu terlihat sedang duduk diatasnya sofa panjang nyaman nan empuk di kamarnya. Mutiara kemudian duduk disebelahnya dengan memegang minuman yang sama.
"Udah ngerasa lebih lega?" tanya Mutiara sambil melihat kearah gelas Dian lalu ke wajah perempuan cantik itu.
Terdiam dengan tatapan kosong, dielus pinggiran bibir gelas dengan satu jari lumayan lentiknya, Dian lalu menggeleng. Aliran air mata kembali mengalir dan wajahnya tertunduk. Mutiara kemudian memeluk tubuh kembarannya dari samping dengan menyadarkan kepala dibahu Dian.
"Aku sedih karena aku sudah mengakhiri sesuatu yang belum aku mulai, tapi ini lebih baik Mut, daripada perasaanku berlanjut dan dia tahu semua masa laluku, semua, semua akan lebih merasa hancur..." Dian lebih panjang berbicara dengan suara bergetarnya.
Mutiara kemudian menegakkan kepala dan melihat kearah Dian, diletakkan gelas minuman yang dipegangnya ke meja di depannya. Satu tangan perempuan cantik berambut pendek hitam itu kemudian mengambil kedua pipi Dian dan memutar wajah saudara kembarnya itu hingga mereka berhadapan. Tatapan dan mimik wajah serius diberikan Mutiara pada Dian, perlahan dihapus aliran air mata saudara kembar berkacamatanya itu.
"Kalau nggak punya dosa, bukan manusia namanya dan jangan inget - inget lagi masa itu, itu bukan salahmu, kamu adalah korban, D..." jelas Mutiara yang coba membuat saudara perempuannya itu kembali sadar.
Dian tidak menjawab sama sekali bahkan ekspresinya tidak berubah, Mutiara menarik dan kembali memeluk erat saudara kembarnya itu.
Keadaan Dimas sendiri tidak jauh berbeda dengan Dian, lelaki itu terlihat sedang berlari mengelilingi sebuah komplek perumahan sederhana. Sekujur tubuhnya telah basah oleh peluh, lelaki yang sudah sangat lelah itu terus memaksa kedua kakinya untuk berlari hingga sebuah klakson beberapa kali akhirnya mampu menghentikan laju kaki Dimas yang sudah mulai tidak stabil.
"Kalau ada masalah biasakan komunikasi bukannya nyiksa diri, tapi mumpung kamu kayaknya perlu pelampiasan energi emosi, ikut kakak..." ujar seorang perempuan yang terlihat lebih tua dari Dimas berambut keriting sama persis seperti dirinya dari atas sepeda motor otomatis yang dikendarainya.
Dimas dengan napas tidak beraturan dan sambil mengeringkan peluhnya menaikkan satu alis lalu perlahan mengikuti laju motor Sang Kakak dengan jalannya yang agak terhuyung. Mereka kini sudah ada di dalam gudang rumah, Dimas sedikit mengerutkan dahinya dan memalingkan wajah kearah Sang Kakak.
"Bantuin kakak beres - beres, besok ruangan ini mau dibongkar...," singkat, padat dan langsung kerja begitulah Leoni nama dari kakak perempuan Dimas.
Tanpa bertanya kembali karena malas berargumen, Dimas pun mengikuti arahan Sang Kakak. Cukup lama mereka beberes di dalam ruangan yang tidak begitu luas itu, hingga langit senja telah terbit. Gerakan Dimas terhenti ketika dia menemukan sebuah kotak kardus berisi tulisan yang menandakan semua barang - barang semasa dia masih kuliah dulu , senyum singkat terkembang lalu dibuka tutup kardus itu, terlihat buku - buku serta beberapa foto teman - temannya. Melepas penat, dia duduk di lantai dengan bersandar di salah satu dinding sambil bernostalgia, satu - persatu benda - benda itu dikeluarkan dan diletakkan didekatnya, senyumnya tidak putus hingga ada sebuah kertas yang membuat kedua alisnya naik dan pandangan mata lelaki berkulit sawo matang itu membeku.
"Kak..." panggil Dimas yang tidak bergerak.
Leoni hanya berdeham dan terus fokus bekerja tanpa mengarahkan pandangan kehadapan Sang Adik,
"Kakak tau ini tulisan siapa?" tanya Dimas dengan suara dan nada kaku.
Karena pertanyaan itu, Leoni lalu mengarahkan kepala serta pandangannya kepada Dimas. Sang Adik sudah mengembangkan sebuah tulisan tangan dari sebuah sobekan kertas yang hampir berubah warna karena termakan usia. Sedikit disipitkan mata Leoni namun tidak juga mampu membaca tulisan itu karena redupnya lampu di ruangan itu, hingga membuat perempuan berambut keriting itu memutuskan menghentikan pekerjaannya dan mendekat kearah Dimas.
"Semangat, semangat..." Leoni mengulangi kata yang tertulis di kertas itu sambil mencoba mengingatnya.
Dia berjalan menjauh dari Dimas hendak kembali ke posisi awal dia berada, namun langkahnya terhenti dan pergelangan kaki kursusnya diputar hingga tubuhnya kembali kehadapan Sang Adik.
"Kamu inget nggak, kita pernah nolongin cewek yang mau lompat dari jembatan jalan pintas yang sekarang sudah jadi perumahan elit? Nah, setelahnya kakak ketemu dia, dia kasih kita hadiah kenang - kenangan yang udah pecah juga dan sebuah surat yang tersisa cuman tulisan ini aja, soalnya ini kertas kayak habis disobek..." jelas Leoni.
Dimas kemudian bangkit dari duduknya dan masih melihat kearah Sang Kakak dengan memegang kedua lengan Leoni agak erat hingga membuat ekspresi wajah perempuan lumayan manis itu agak berubah dan melihat sesaat ke arah lengannya.
"Putih pucat, tinggi badannya hampir setara kak Leoni dan berkacamata? Itu ciri - ciri cewek yang kita tolong, iya?" cecar Dimas dengan wajah dan nada seriusnya.
Kembali Leoni dibuat berpikir cukup keras dan kali ini wajahnya terlihat ragu hingga jawaban yang diberikan pun tidak begitu membantu rasa penasaran Dimas. Lagi, Dimas pergi setelahnya dan menelepon seseorang, suara dan kalimat lelaki itu terdengar memohon hingga sedikit memaksa. Leoni cukup heran dengan tingkah laku Sang Adik yang berjalan mondar - mandir dihalaman rumah mereka yang sangat sederhana itu. Baru saja dia ingin mendekati, tapi Dimas sudah berlari menjauh tanpa berpamitan.
xxxxxxxx
Suara angin kencang dan juga petir menggelegar, Luna terlihat sedang memasak di dapur apartemen Danar. Pandangan perempuan itu teralihkan sesaat ketika rintik hujan membasahi jendela di samping agak jauhnya.
"Ada apa ya sama Dimas?" tanya Luna dengan rasa penasarannya.
Disaat Luna sedang memikirkan Dimas, tiba - tiba pinggang agak rampingnya disentuh pelan oleh Danar. Kecupan pelan dan senyum lebar terlihat jelas dari Luna setelahnya, lalu perempuan itu menghentikan sejenak kegiatan memasaknya dan membalikkan tubuh dengan melingkarkan kedua tangan agak kurusnya ke leher kokoh Danar.
"Ada apa Dimas nanya alamatnya Dian? Dia buat masalah juga sama adik sepupuku, setelah mau menggoda wanita manisku ini..." ujar Danar sambil menyampirkan helaian rambut Luna ke salah satu belakang telinganya.
Luna memukul keras dada atas Danar dan menutup mulut lelaki itu dengan satu jari lumayan lentiknya.
Lalu Luna memulai ceritanya, Danar mendengarkan dengan seksama, beberapa kali anggukan kepala pun dilakukan.
"Makanya Mas, jangan suka se udzon aja. Dimas itu kayaknya jatuh cinta sama Mbak Dian dan aku sama dia cuman temen satu divisi aja ya Mas, inget loh..." Luna mengakhiri ceritanya dengan juga melontarkan peringatan keras kepada Danar sambil menekan - nekan dada bidang lelaki itu dengan satu jari telunjuknya.
Jari itu kemudian diraih dan dipegang oleh Danar, lalu tiba - tiba dimasukkan ke dalam mulutnya. Pupil mata Luna membesar dan sedikit berteriak memanggil nama Danar hingga tawa kecil lelaki itu terdengar.
Tidak sampai disana Danar menggoda Sang Kekasih, dia berencana meraih bibir Luna namun diturunkan niatnya ketika kembali gawai pintar wanitanya itu bergetar. Kini senyuman Luna yang terlihat dengan pandangan matanya yang melirik kearah benda canggih itu dan seketika raut wajah manis Luna berganti datar juga dingin ketika melihat nama Si Penelepon.
********