Lana, seorang gadis yang tumbuh dalam pengabaian orangtua dan terluka oleh cinta, harus berjuang bangkit dari kepedihan, belajar memaafkan dan menemukan kembali kepercayaan pada cinta sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidya Riani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 30 Hati Lana
Lana berkali-kali menoleh ke belakang ruang kelasnya, berusaha mencari tahu apa yang sedang dilakukan oleh Sakha.
Bangku pemuda itu memang berada di barisan belakang, sedangkan Lana dan Dilla di deretan kedua dari depan. Hari itu, gadis yang sejak pagi sudah merasa galau tentang apa keputusan yang harus ia ambil untuk menghadapi Sakha, akhirnya meyakinkan dirinya untuk jujur.
Ya, ia memutuskan untuk jujur akan perasaannya pada Sakha. Pemuda yang sudah berbulan-bulan ini menemani harinya, meringsek masuk dalam hatinya dan menghadirkan geletar aneh yang belum pernah Lana rasakan sebelumnya.
Terserah, pemuda itu akan menerima keputusannya atau tidak. Lana ingin menegaskan hubungan mereka, agar Sakha tidak salah paham dan mau mengerti.
Tuk tuk..suara ketukan di meja, membuyarkan lamunan Lana.
Lana mendongak dan sedikit terkejut dengan kehadiran Sakha yang sudah berdiri di sampingnya.
Jam istirahat kedua telah dimulai, sebagian murid di kelas telah keluar untuk pergi ke kantin atau sekedar berjalan mengitari sekolah untuk menyegarkan pikiran dari pelajaran mereka seharian ini.
"Ada apa?" tanya Sakha dengan suara datar. Sorot matanya nampak tenang.
"A..e...engga."
Sakha memiringkan sedikit kepalanya dan menghela nafas.
"Jangan bohong. Sejak tadi, kamu curi-curi pandang ke arahku. Ada yang mau dibicarakan?" todong Sakha seolah cenayang.
Lana mencoba membuka mulutnya, namun ia ragu untuk memulai dari mana.
Sakha menjulurkan tangan kanannya.
Lana mendelik.
"Ayo, ngobrol di luar."
Diraihnya tangan Lana, dan digenggamnya. Gadis itu menurut, bangkit dan mengikuti kemana Sakha mengajaknya pergi.
Lana berjalan mengikuti pemuda itu seraya memperhatikan tangan keduanya yang saling menggenggam.
Terasa hangat dan nyaman.
Langkah keduanya berhenti saat mereka memasuki aula sekolahnya yang ada di lantai 3. Sakha melihat sekeliling ruangan lalu setelah ia merasa ruangan tersebut kosong, ia menutup pintu.
Tak lama kemudian, pemuda itu bergerak mendekati Lana, lalu ia bersandar di dinding tak jauh dari tempat gadis itu berada.
"Bicaralah.." Sakha melipat kedua tangannya. Matanya tak lepas dari sosok gadis yang masih berdiri canggung di hadapannya.
Lana menarik nafas panjang.
"Oke, aku bakal jujur sama kamu."
Sakha mengangguk sebagai jawaban.
"Pertama, aku enggak suka kamu bercanda dengan mengatakan kalau kita berdua pacaran."
"Aku minta maaf." Sakha sudah menduga hal ini. Kemarin memang mulutnya asal berkata pada Dilla kalau keduanya pacaran. Sebetulnya , pemuda itu sedang tidak bercanda hanya saja..entahlah..ia hanya ingin melihat reaksi Lana setelah ia berkata demikian.
"Kedua,..." Lana tidak melanjutkan ucapannya.
"Apa yang kedua?"
"Kedua.."
"Hmm?"
"Itu..."
"Alana Putri?"
"Iya, sebentar kan aku..arrghh.." Lana terlihat frustasi.
Sakha menahan geli dengan reaksi gadis itu.
"Oke, aku tunggu." Sakha meraih ponsel dari saku celananya lalu berpura-pura melihat layar di dalamnya.
Lana menarik nafas panjang, menetralkan deru jantungnya yang tak karuan.
"Oke aku siap."
"Mmm" Sakha hanya berdehem tanpa memalingkan wajahnya dari layar ponsel.
"Sakha!"
"Oke..oke..kenapa?" pemuda itu menggigit bibir bawahnya menahan senyum. Gadis di hadapannya yang tampak gugup dan salah tingkah, terlihat sangat menggemaskan baginya.
Lana membasahi bibirnya. "Aku mau jujur."
Sakha mendelik, mulai menebak-nebak apa yang akan dikatakan oleh gadis itu.
"Aku suka sama kamu."
Satu detik, dua detik, Sakha hanya tergugu di depannya. Otaknya mencerna ucapan Lana barusan.
"Apa kamu bilang?" Sakha menegakkan tubuhnya dan mulai berjalan mendekat.
Lana memundurkan tubuhnya saat jarak keduanya semakin terkikis.
"Iya, aku suka sama kamu." ulang Lana lagi sembari menundukkan kepalanya.
Sakha langsung meraih kedua tangan Alana.
"Kamu serius?"
Lana mengangguk dan keduanya pun bertatapan.
"Jadi, kita pacaran?" pertanyaan Sakha berikutnya membuat gadis itu tersadar.
Lana buru-buru menarik tangannya.
"Maaf aku enggak bisa, aku enggak mau pacaran Ka."
"Jadi?"
"Aku mau jujur, kalau aku memang suka dan sayang sama kamu. Tapi, maaf saat ini aku ingin fokus dengan pendidikanku. Aku ingin menyiapkan diri untuk masa depanku."
"Jadi hubungan kita?"
"Tidak ada yang berubah. Kita tetap bersahabat."
Sakha mencebik.
"Kau mempermainkanku." Sakha menatapnya dengan sorot mata penuh luka.
"Bukan itu maksudku."
"Omong kosong.." Sakha berbalik dan hendak membuka pintu aula.
Lana menahan dan menggenggam jemari tangannya.
"Inilah yang aku maksud." lanjut Lana.
Sakha berbalik, menatap mata bening milik Lana.
"Untuk apa kamu bilang suka dan sayang sama aku, tapi kita tidak pacaran."
"Karena kita belum dewasa." potong Lana.
Sakha mengernyitkan dahinya, kedua alisnya bertaut.
"Kamu masih sering emosional dan aku terlampau egois. Hubungan kita tidak akan berjalan dengan baik, Sakha."
Sakha hanya terdiam mendengar penuturan gadis yang masih menggenggam tangannya ini.
"Kita masih sama-sama belum matang. Ayo kita menunggu.." Lana menjeda. "Ayo kita menunggu versi diri kita yang lebih dewasa dan lebih baik. Jika saatnya tiba, dan perasaan kita masih sama..maka.."
"Kamu akan menjadi miliku." potong Sakha.
Lana mengangguk pelan.
...-----------...
"Nek.." kepala Sakha muncul di balik pintu kamar neneknya.
Nenek Yasmin yang sedang bersandar di kepala ranjang sambil membaca buku, langsung menghentikan aktivitiasnya.
"Nenek belum tidur?" Sakha melangkah masuk dan mengambil posisi duduk di samping tempat tidur neneknya itu.
Nenek Yasmin menautkan kedua alisnya.
"Tumben, ke kamar nenek malam-malam. Biasanya asyik main game."
Sakha hanya menyeringai sambil menggaruk kepalanya.
"Nek, Sakha mau kuliah."
Ucapan cucu satu-satunya tersebut membuat mata nenek Yasmin membulat. Perempuan berusia 70 tahun itu langsung melepaskan kacamata baca yang sejak tadi ia pakai.
"Kamu serius? kenapa tiba-tiba ingin kuliah?" Nenek Yasmin terkejut namun ia juga merasa senang mendengar niat cucunya tersebut.
"Iya dong, Sakha kan udah dewasa. Sakha mau jadi orang yang bisa diandalkan sama nenek dan juga mama."
Nenek mengangguk sambil mengusap lembut kepala Sakha.
Sebetulnya nenek Yasmin ingin mengulik lebih dalam, alasan Sakha yang tiba-tiba memutuskan untuk berkuliah, namun ia tahan.
Nenek ingin melihat proses pendewasaan yang akan dilalui oleh cucunya tersebut sambil terus memantau dan melindunginya.
Bagaimanapun, Sakha adalah satu-satunya cucu laki-laki nenek Yasmin, pewaris semua usaha yang dimiliki oleh keluarga mereka. Nenek ingin Sakha kuat secara mental dan fisik saat tiba waktunya ia mendapat posisi yang terbaik.
...----------------...
tak bapak tak ibu sama aja dua duanya jahat sama anak sendiri