Bercerita seorang yang dahulu di beri julukan sebagai Dewa Pengetahuan dimana di suatu saat dirinya dihianati oleh muridnya dan akhirnya harus berinkarnasi, ini merupakan cerita perjalanan Feng Nan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anonim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 16: Aroma Kekuasaan dalam Keheningan
Langkah kaki Feng Nan terdengar lirih ketika ia berjalan menuruni tangga ruang utama sekte. Udara siang itu terasa ganjil — langit tetap biru, matahari bersinar seperti biasa, namun Feng Nan merasakan tekanan yang menyesakkan. Seolah tiap partikel udara dipenuhi sesuatu yang tak kasatmata. Bukan ketakutan… tapi peringatan.
Ia tidak kembali ke halaman bambu, tempat ia biasa melatih Liu Shi. Tidak pula ke ruang tamu sekte tempat ia kadang berbincang dengan para murid muda. Feng Nan mengambil jalan memutar, melalui lorong kecil yang tertutup tanaman rambat, dan keluar ke sisi barat sekte — sebuah tempat yang bahkan para tetua enggan datangi kecuali terpaksa. Di sanalah tempat tinggalnya.
Kediaman itu sederhana. Bangunan kayu dua lantai, berdiri di antara kebun pinus kecil. Daun-daun tua berguguran, menciptakan karpet alam di halaman. Feng Nan membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Bau lembut dupa meditasi menyambutnya, aroma yang biasa ia nyalakan sendiri setiap malam untuk menenangkan pikirannya.
Ia duduk di ruangan belakang — tempat yang hanya ia gunakan untuk bermeditasi atau berpikir mendalam. Di sudut ruangan tergantung lukisan tua gambar pemandangan gunung bersalju.
Matanya terpejam. Tapi pikirannya tak tenang.
"Sebenarnya siapa orang itu?" batinnya bergolak. "Kenapa aku merassa familier dengan aura orang itu?"
Wajah pria tadi terlintas jelas di benaknya — tubuh tinggi besar, luka-luka di wajah yang tidak pernah sembuh sempurna, dan aura... itu bukan aura milik seseorang dari daratan ini. Feng Nan tahu.
Namun, pikirannya kembali ke Liu Shi. Gadis itu masih terlalu muda untuk menanggung beban seperti ini. Dan jika Feng Nan lengah walau sedikit, dia bisa kehilangan satu-satunya alasan yang membuatnya bertahan sejauh ini.
Sementara itu, di ruang utama sekte...
Master Hu masih duduk, memutar cangkir teh yang tak ia sentuh sejak tadi. Di hadapannya, dua orang utusan keluarga Zhao berdiri. Namun suasana telah berubah drastis.
Pria yang sebelumnya duduk paling depan — pria yang berjabat tangan langsung dengan Feng Nan — kini berdiri tegak, matanya bersinar aneh. Tangannya yang besar menggenggam gagang kursi dengan cukup kuat hingga kayunya mengeluarkan bunyi retak pelan.
Tetua Hu tidak berkata sepatah kata pun. Namun tubuhnya perlahan menegang.
“Aku rasa...” suara pria itu terdengar rendah, tapi bergema seperti gema di ruang gua. “...waktunya untuk berhenti bersandiwara, bukan?”
Tetua Hu mengangkat wajahnya. Garis tegas di pelipisnya semakin kentara. “Jika kau datang ke sini untuk menunjukkan kekuatanmu, maka kau telah melangkah di tempat yang salah.”
Pria itu tersenyum kecil, lalu membuka telapak tangannya. Dalam sekejap, aura hitam pekat menyelimuti tubuhnya — begitu tebal hingga udara di dalam ruangan mendadak berubah. Tekanan turun seperti dinding batu yang ambruk dari langit-langit.
Langit-langit ruangan mengerang. Kayu-kayu tua yang menopangnya berderit, dan bahkan ukiran naga yang menghiasi tiang-tiang mulai retak.
Tetua Hu menggertakkan giginya. Meskipun ia dikenal sebagai salah satu kultivator terkuat di kota Gu, aura ini membuat setiap helai rambut di tubuhnya berdiri. Bukan karena ketakutan, melainkan insting bertahan hidup yang tertanam dari puluhan tahun pelatihan.
“Ini… bukan aura manusia” pikirnya. “Sebenarnya siapa orang ini, kenpada keluarga Zhao memiliki seorang moster seperti ini”
Tulang punggungnya bergetar. Lututnya hampir mengalah — namun dia bertahan. Dengan napas teratur dan postur tetap tegak, ia memusatkan energi internalnya. Cahaya hijau lembut menyelimuti tubuhnya, melindungi dirinya dari tekanan yang mematikan.
“Kau bukan dari cabang utama keluarga Zhao,” kata Tetua Hu pelan, namun setiap katanya seperti pisau. “Siapa sebenarnya kau?”
Pria itu tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menatap tetua Hu seperti seseorang yang menilai kualitas barang dagangan. Lalu, perlahan, ia mengurangi auranya hingga tekanan itu menghilang.
“Tenang saja,” katanya dengan nada licin. “Aku bukan siapa-siapa. Hanya seseorang yang ditugaskan memastikan ‘perjanjian’ ini berjalan lancar.”
Kemudian — dengan gerakan yang begitu anggun dan mengejutkan — pria itu membungkukkan badan. Memberi hormat penuh pada Tetua Hu.
“Terima kasih atas jamuanya Tetua Hu. Kami tidak ingin mengganggu lebih dari yang diperlukan.”
Tanpa menunggu balasan, pria itu melangkah keluar dari ruangan. Pintu utama terbuka dan tertutup dalam keheningan. Hanya suara angin yang tersisa.
Utusan yang satu lagi — pria yang sejak awal hanya diam — akhirnya bicara. Suaranya lebih lembut, namun justru itu yang membuatnya lebih berbahaya.
“Maafkan kami, Tetua Hu,” katanya. “Dia bukan orang yang mudah dikendalikan. Tapi bisa kau anggap... sebagai jaminan bahwa keluarga Zhao sangat serius dalam urusan ini.”
Tetua Hu tak menjawab. Napasnya masih teratur, namun matanya menatap tajam seperti seekor harimau tua yang menahan amarah. Setelah beberapa detik, ia berdiri dan berkata pelan:
“Katakan pada keluarga Zhao… jika mereka mencoba bermain api… maka mereka juga harus siap untuk terbakar.”
Utusan itu menunduk, lalu mengikuti rekannya keluar.
Begitu ruangan kosong, Tetua Hu jatuh terduduk. Tangan kirinya bergetar samar — bukan karena ketakutan, tetapi karena tubuhnya memaksa mengeluarkan seluruh energi hanya untuk menahan tekanan barusan.
Ia menyeka keringat dingin dari dahinya, lalu menatap ke luar jendela.
“Liu Shi...” gumamnya. “Siapa sebenarnya kau... dan apa yang telah kau tarik ke kota ini?”
Di sisi lain....
Langkah kaki mereka bergema di lorong panjang beralaskan batu giok. Pria yang sejak awal hanya diam — utusan kedua keluarga Zhao — berjalan setengah langkah di belakang pria berwajah luka yang memimpin mereka keluar dari ruang utama sekte. Keduanya tak saling bicara, namun suasana di antara mereka tidaklah dingin.
Udara luar terasa segar dibandingkan dengan tekanan yang sempat memenuhi ruangan tadi. Matahari kini sedikit bergeser ke barat, memancarkan sinarnya dengan kemiringan yang lembut. Namun pria berjubah gelap dengan bekas luka di wajahnya tidak menikmati keindahan sore itu. Ia berjalan lurus, cepat, dan seolah tak ingin berlama-lama menginjakkan kaki di tempat ini.
“Zhao Lie…” suara lembut itu akhirnya terdengar dari utusan kedua, menghentikan langkah mereka di bawah bayang-bayang sebuah gerbang batu.
Zhao Lie menoleh perlahan, namun tidak menjawab. Tatapannya penuh dengan kehati-hatian, seperti binatang buas yang sedang dipantau dari kejauhan.
“Aku tahu kau tak suka tempat ini, tapi… kau terlalu jauh menekan tetua itu,” lanjut sang utusan dengan suara lebih lirih.
Zhao Lie mendengus, bukan dengan kemarahan, melainkan keengganan. “Tuan sudah menunggu terralu lama apa kau tahu apa yang akan kita dapatkan jika kita tidak bisa mendapatkan gadis itu.”
Utusan kedua menyipitkan mata. Ia menyandarkan tubuhnya pada tiang gerbang, menyilangkan tangan di dada. Meski pembawaannya tenang dan tutur katanya halus, ada ketegangan tipis yang menggantung di antara mereka.
“Sepertinya hanya ada satu cara” ucapnya memandang langit.