Cerita ini mengisahkan tentang seorang pemuda bernama Andreas yang bernasib menyedihkan selama bersama keluarganya sendiri.
Setelah ibunya dan kakak pertamanya membawanya pulang ke rumahnya, alih-alih mendapat kasih sayang dari keluarganya, malah dia mendapat hinaan serta penindasan dari mereka.
Malah yang mendapat kasih sayang sepenuhnya adalah kakak angkatnya.
Akhir dari penindasan mereka berujung pada kematiannya yang tragis akibat diracun oleh kakak angkatnya.
Namun ternyata dia mempunyai kesempatan kedua untuk hidup. Maka dengan kehidupan keduanya itu dia gunakan sebaik-baiknya untuk balas dendam terhadap orang-orang yang menindasnya.
Nah, bagaimanakah kisah selengkapnya tentang kisah pemuda yang tertindas?
Silahkan ikuti terus novel PEMBALASAN PUTRA KANDUNG YANG TERTINDAS!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ikri Sa'ati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PPKYT 014. Hadiah Kecil dari Pak Darian
Kebisuan sempat membungkam suasana ruang makan sekitar lima menit lamanya. Namun setelah itu....
"Kamu hendak bicara dengan Andre, Alin?" tanya Pak Darian, mengulang pertanyaannya tadi setelah melihat Jazlyne sedikit tenang.
"Ng-nggak, Paman," sahut Jazlyne tanpa mengalami proses berpikir lama sambil melirik pamannya, tanpa melirik Andreas. Tentu saja dia masih malu 'kan?
Terjeda beberapa saat lamanya setelah Pak Darian bertanya kepada Jazlyne. Tapi tak lama suaranya kembali terdengar. Kali ini berbicara pada Andre bernada tanya.
"Bagaimana kabar keluargamu, Andre? Tentu lima hari berturut-turut ini kamu tidur di rumahmu 'kan?"
Kurang lebih pada setengah tahun terakhir ini Andre lebih sering bermalam di kediaman keluarga Robert, amat jarang tinggal di rumah keluarganya sendiri.
Itu dikarenakan Andreas alias Andre ingin fokus pada kuliahnya yang hampir tamat, terutama dalam menghadapi dua semester terakhir kuliahnya hingga dia lulus.
Karena kalau dia berada lama di rumahnya pada akhir-akhir masa kuliahnya, tentu saja dia tidak bisa fokus. Di rumah itu mesti ada saja perkara yang ujung-ujungnya dia pasti akan ditindas.
Pak Darian amat tahu hal itu, karena dia salah seorang di kediaman keluarga Robert ini yang selalu memperhatikan keadaan Andreas. Makanya dia bertanya seperti itu sebagai bentuk kepedulian.
Mendengar pertanyaan yang bukan kali pertama itu, seketika aktifitas makan Andre langsung berhenti. Bahkan kunyahan makanan di mulutnya ikut berhenti.
Bahkan pertanyaan itu juga sukses membuat aktifitas makan Nyonya Monika dan Cornelia ikut berhenti. Menyusul kemudian Jazlyne.
Sementara Julian tetap melanjutkan aktifitas makannya yang tenang, seolah tidak terpengaruh dengan pertanyaan sakral itu.
Dan seketika itu juga air muka Andre yang tadinya tampak berseri-seri ikut berubah. Di situ, di wajah tampannya sudah tampak kesedihan bercampur duka yang mendalam, sekaligus aura amarah yang samar.
Amarah itu bukan ekspresi karena pertanyaan Pak Darian, melainkan perlakuan tidak manusiawi dari keluarganya hingga berujung pada kematiannya.
Nyonya Monika yang melihat perubah mendadak pada Andre seketika marah pada suaminya, terus langsung melontarkan teguran bernada ketus.
"Pa! Kok papa nanya Andre kayak gitu sih? Lihat tuh, Andre langsung sedih gitu!"
"Papa kenapa sih nanya-nanya kayak gitu terus?" dengus Cornelia sambil menatap kesal pada Pak Darian. "Papa nggak senang ya Kak Andre bahagia di rumah ini?"
Tak ada gelagat Pak Darian ingin menanggapi teguran istri dan putri bungsunya. Dia tetap sibuk dengan kegiatannya, sambil seolah menanti jawaban dari Andreas atas pertanyaannya.
Mendengar ucapan Nyonya Monika dan Cornelia, membuat Jazlyne penasaran ingin melihat perubahan ekspresi Andreas.
Maka dengan menindih rasa malunya dia beranikan diri menengok, melihat wajah Andreas dengan jelas. Dan tak butuh waktu lama dia langsung melihat perubahan drastis pada wajah tampan itu.
Tapi sepertinya itu tidak lama. Karena beberapa kejap berikut tarikan wajah Andre kembali seperti biasa, tenang meneduhkan.
Diletakkan sendok dan garpu di atas piring yang masih berisikan makanannya dengan perlahan. Lalu meraih gelas minumnya dengan tenang, terus meminumnya dengan elegan.
Sementara Jazlyne masih berani melihat ke arah Andre. Sehingga melihat prilaku Andreas yang begitu tenang, makin membuatnya kagum terhadap pemuda itu. Terus dia melanjutkan makannya lagi.
"Kamu nggak apa-apa, sayang?" Nyonya Monika masih khawatir terhadap Andreas meski dia melihat pemuda itu sudah tenang sambil mengelus lembut dan pelan punggungnya.
"Aku nggak apa-apa, Tante," sahut Andreas bernada kalem sambil menengok sebentar pada Nyonya Monika sembari tersenyum lembut. "Tante tenang saja."
"Beneran kakak nggak apa-apa?" Cornelia ingin memastikan. Terus dibalas anggukan pasti oleh Andreas. Dan itu sudah cukup bagi Cornelia.
"Oom, Tante, aku... sudah meninggalkan kediaman keluarga Grayden," kata Andreas selanjutnya, berusaha disajikan dengan tenang, lalu kembali menyantap sarapannya. "Aku nggak akan tinggal lagi di rumah itu untuk selamanya...."
★☆★☆
Pak Darian berhenti dengan aktifitas sarapannya sebentar, menatap Andreas beberapa detik lamanya, kemudian melanjutkan sarapannya yang tinggal sedikit.
"Sungguh keputusanmu sangat tepat, sayang," sambut Nyonya Monika makin berseri-seri, hatinya makin bahagia. "Tante mendukung keputusanmu itu."
Cornelia pun juga makin tambah senang mendengar keputusan Andre yang berada dalam jasad Andreas itu. Dia tidak perlu menanggapi ucapan Andreas, tapi dia sudah merasa yakin kalau kakak tersayangnya itu pasti akan tinggal di rumah ini.
Sedangkan Jazlyne, entah apa yang dipikirkannya, tapi dia amat senang dengan keputusan Andreas. Tampak hal itu dengan senyum manisnya yang menawan.
"Terima kasih, Tante," Andreas menoleh sebentar pada Nyonya Monika sambil tersenyum lembut.
"Apakah itu berarti... kamu memutus hubungan keluarga dengan keluarga Grayden?" tanya Pak Darian langsung menebak sambil menatap pemuda itu.
"Benar, Oom," sahut Andreas dengan ekspresi tenang, tanpa ada tekanan apapun dari nada suaranya, "aku sudah memutus hubungan keluarga dengan mereka."
Pak Darian Robert cukup tersentak kaget mendengar jawaban Andreas. Lebih tersentak lagi ekspresi Andreas begitu tenang, tanpa ada beban atau tekanan dalam nada suaranya. Membuat pria paruh baya itu menatap Andreas lebih serius.
Sedangkan Nyonya Monika, bukannya tidak senang mendengar keputusan yang menggembirakannya itu. Tapi entah kenapa dia merasa tidak enak begitu mendengarnya. Makanya dia tidak mau memberi komentar apa-apa. Menunggu suaminya, tanggapannya apa.
Dia melirik sebentar pada Julian yang sedari tadi hampir tidak terdengar suaranya. Tapi dia kuat menduga kalau semalam putranya sudah bicara banyak dengan Andreas.
Kemudian dia menoleh pada Cornelia dan Jazlyne yang sudah selesai sarapan, terus segera siap berangkat sekolah.
Dilihatnya Cornelia tampak tersenyum berseri-seri. Entah putrinya itu senang karena keputusan Andre meninggalkan rumah, atau sekaligus keputusan Andre dengan memutus hubungan keluarga.
Tak lama kemudian kedua gadis remaja berparas cantik itu meninggalkan ruang makan setelah berpamitan kepada semua penghuni ruang makan.
"Apa kamu sudah memikirkan masak-masak keputusanmu itu, Andre?" tanya Pak Darian belum lama kepergian Cornelia dan Jazlyne.
"Aku nggak punya alasan lagi untuk tinggal lebih lama di keluarga itu setelah segala penindasan yang mereka lakukan kepadaku," tutur Andre berusaha tetap tenang. "Lagi pula... kalau aku masih tinggal di rumah itu, aku nggak bisa mengembangkan bakatku."
"Maka... keputusanku dengan memutus hubungan keluarga dengan mereka," lanjutnya, "aku merasa itu jalan terbaik bagiku, karena aku sepertinya nggak lagi dianggap keluarga di situ."
"Ya sudah kalau kamu sudah memutuskan begitu," kata Nyonya Monika seperti menyetujui keputusan Andreas. "Itu artinya kamu akan tinggal di sini selamanya 'kan?"
Andreas tidak lantas menanggapi ucapan Nyonya Monika barusan. Dia melirik ke Julian yang juga menatap ke arahnya. Dan sepertinya pemuda santai tapi tenang itu tahu arti lirikan Andre padanya. Maka dia segera menanggapi ucapan mamanya.
"Ma, masalah Andre mau tinggal di mana, itu terserah dia. Meskipun dia sekarang nggak punya tempat tinggal, tapi mama nggak bisa memaksanya untuk tinggal di sini. Biarkan Andre memilih sendiri untuk tinggal di mana."
Semalam memang Andreas dan Julian sudah berbicara banyak. Termasuk membicarakan tentang pesan terakhir Andre Barnett sebelum kematiannya yang ternyata Andre dalam jasad Andreas masih bisa mengingatnya.
★☆★☆
"Kenapa kamu tiba-tiba berkata aneh begitu?" sengit Nyonya Monika bernada ketus. "Apa kamu sekarang tidak senang kakakmu ini tinggal di rumah ini?"
Andreas memang lebih tua dua bulan dari usia Julian. Jadi tidak salah kalau Nyonya Monika menyebut Andreas sebagai kakak Julian.
"Bukan begitu, ma," kata Julian menepis anggapan mamanya yang salah paham.
"Yang dikatakan Lian itu benar, ma," Pak Darian mendukung pendapat putranya. "Kita biarkan Andre memilih mau tinggal di mana. Kita hanya bisa mendukung dan membantu keputusannya."
"Tapi Andre mau tinggal di mana sekarang, Pa?" kecemasan langsung menguasai wanita paruh baya itu. "Bukankah tadi juga papa sudah mendengar kalau Andre sudah meninggalkan rumah keluarganya?"
"Andre bisa tinggal di rumah ini selama dia belum dapat tempat tinggal yang dia inginkan," kata Pak Darian yang sudah selesai makan, "atau selama dia belum mendapat keputusan yang tepat untuk dia jalani."
"Bukan begitu, Andre?" Pak Darian beralih memandang Andreas.
"Kurang lebih seperti itu," kata Andre tampak seperti canggung.
"Kalau bisa untuk sementara aku tinggal di sini dulu, Tante," Andreas beralih memandang Nyonya Monika yang masih duduk di samping kanannya, "selama aku belum mendapat tempat tinggal."
"Ah kamu ini," kata Nyonya Monika sambil tersenyum lembut penuh keibuan. "Kamu tinggal di sini selamanya juga nggak apa-apa."
"Terima kasih, Tante."
"Ya sudah, kamu nggak usah memikirkan dulu kamu mau tinggal di mana sekarang," kata Nyonya Monika bagai memutuskan. "Kamu tinggal di sini dulu sampai tante bisa memastikan kamu dalam kondisi baik. OK?!"
"Baik, Tante."
"Andre...."
Andreas langsung beralih memandang Pak Darian yang memanggilnya. Tahu-tahu lelaki paruh baya yang masih gagah itu sudah menyodorkan sebuah kotak berukuran sedang di depannya.
"Itu hadiah kecil dari oom atas kelulusanmu. Selamat ya!"
"Apa ini, Oom?" Andreas tampak bingung disodorkan kotak warna putih di hadapannya itu.
"Ambil saja!" kata Nyonya Monika seperti memerintah. "Dan bukalah apa isinya!"
Lalu Andreas mengambil kotak itu dalam bingung. Terus membukanya yang tidak susah dengan perlahan. Begitu kota itu sudah utuh terbuka, di dalam ternyata terbaring cantik sebuah kunci mobil sedan mewah yang tergolong mahal.
"Ha-hadiah ini terlalu besar dan mewah bagiku, Oom," kejutnya sekaligus merasa tidak pantas menerimanya.
Tahun lalu juga dia diberikan sebuah mobil sedan oleh Pak Darian sebagai hadiah atas partisipasi Andreas dalam perusahaan Pak Darian. Namun waktu itu Andreas menolaknya. Dan kali ini dia juga masih menolaknya.
Dia diluaskan untuk tinggal di kediaman keluarga Robert untuk sementara saja sudah merupakan anugrah terbesar baginya. Ini dihadiahi sebuah mobil sedan, sungguh dia merasa tidak pantas dihargai sedemikian tingginya.
"Aku... nggak pantas...."
"Kamu tidak boleh menolak lagi sekarang hadiah yang oom berikan," Pak Darian langsung memutus penolakan Andreas. "Itu cuma hadiah kecil yang sebenarnya oom malu untuk memberikannya, ketimbang atas bantuanmu terhadap perusahaan oom."
"Aku membatu oom, itu sudah menjadi kewajiban aku," Andre masih berusaha menolak dengan halus. "Lagipula oom sudah memberikan imbalan uang padaku."
"Udah, kamu ambil saja, Ndre!" sungut Julian memasang wajah kesal, tapi cuma bercanda. "Biar ke mana-mana nggak harus sama kamu terus. Nanti kalau aku sudah punya pacar, tentu pacarku yang aku bawa ke mana-mana, bukan kamu!"
"Karena kamu bukan pacarku...."
Mendengar candaan Julian yang dibawakan dengan lagak marah itu membuat seisi ruang makan itu ikut tertawa riang.
Akhirnya Andreas menerima hadiah yang diberikan Pak Darian kepadanya yang sebenarnya itu terlalu mewah untuk.
Tapi karena didesak oleh Nyonya Monika juga, akhirnya dia menerima meski dengan sungkan dan terpaksa.
Semalam dia juga mendapat hadiah laptop canggih dan mahal dari Valencia. Sekarang dia mendapat mobil sedan mewah dari Pak Darian. Sungguh keluarga ini begitu hangat kepadanya.
Berbanding terbalik dengan keluarga kandungnya yang sudah dia tinggalkan. Jangankan memberi hadiah kepadanya, malah mereka ramai-ramai menindasnya.
Sungguh miris dan sungguh ironi!
★☆★☆★
Semoga berkenan....