Kelanjutan dari Kurebut Suami Kakak Tiriku, kisah ini mengikuti Rei Alexander, anak angkat Adara dan Zayn, yang ternyata adalah keturunan bangsawan. Saat berusia 17 tahun, ia harus menikah dengan Hana Evangeline, gadis cantik dan ceria yang sudah ditentukan sejak kecil.
Di sekolah, mereka bertingkah seperti orang asing, tetapi di rumah, mereka harus hidup sebagai suami istri muda. Rei yang dingin dan Hana yang cerewet terus berselisih, hingga rahasia keluarga dan masa lalu mulai mengancam pernikahan mereka.
Bisakah mereka bertahan dalam pernikahan yang dimulai tanpa cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. ACARA KELUARGA
Hana tampak sangat cantik malam ini dengan dress simple namun elegan yang dipilihkan oleh Yuki khusus untuknya. Dress itu benar-benar menambah pesona alami Hana, sangat cocok dipakai dalam acara keluarga malam ini. Penampilannya memancarkan kesan anggun dan menawan, membuat siapa pun yang melihatnya tak bisa mengalihkan pandangan.
Meski demikian, Hana tetap tak melupakan kesibukannya. Ia masih fokus membantu Adara yang juga tengah bersiap di ruang keluarga mereka yang luas dan nyaman. Keduanya bekerja sama mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan sebelum kedatangan keluarga besar mereka. Setiap sudut ruangan ditata rapi, memastikan semuanya berjalan sempurna.
Sementara itu, Rei dan Zayn duduk santai bersama si kembar di sofa ruang keluarga. Mereka terlihat tenang, namun tetap siaga untuk membantu jika sewaktu-waktu diperlukan. Sesekali mereka ikut turun tangan, membantu hal-hal kecil yang belum sempat dibereskan.
Hingga akhirnya, suara mesin mobil terdengar dari luar. Sebuah tanda bahwa para tamu sudah mulai berdatangan. Spontan, semua yang berada di dalam rumah segera bergegas menuju pintu depan untuk menyambut keluarga besar yang mulai tiba satu per satu, membawa kehangatan dalam malam yang telah dipersiapkan dengan penuh cinta.
Hana menyalami setiap anggota keluarga besar yang datang satu per satu dengan penuh kehangatan dan senyum ramah. Tatapannya lembut, sikapnya anggun, menunjukkan rasa hormat dan ketulusan. Ia berusaha menyapa semua orang dengan sepenuh hati, memberikan pelukan hangat kepada yang sudah akrab, dan senyum sopan kepada yang baru dikenalnya.
Sampai akhirnya, beberapa orang seusianya mulai berdatangan—mereka adalah teman-teman suaminya, yang kini juga telah menjadi bagian dari keluarga besarnya. Hana tetap menunjukkan sikap ramah dan tenang, menyambut mereka dengan senyum hangat yang tulus. Meski wajah-wajah mereka belum terlalu dikenalnya dengan baik, Hana tetap berusaha memberikan kesan positif. Dalam diam, ia menatap wajah-wajah mereka—yang bahkan sulit baginya untuk menggambarkan dengan kata-kata. Ada perasaan canggung kecil yang terselip, namun tertutupi oleh keramahan yang ia tampilkan.
Tak lama kemudian, Elina menghampiri dan melemparkan sebuah pertanyaan yang membuat semua mata seketika tertuju pada Hana.
"Bagaimana perasaanmu saat berkumpul pertama kali bersama keluarga suamimu, Hana?" tanya Elina dengan senyum lembut, membuat suasana menjadi lebih hangat dan penuh perhatian.
Hana menatap mereka satu per satu, mengambil napas kecil, lalu menjawab dengan suara lembut namun penuh ketulusan, "Hana sangat senang sekali, Tante. Kalian adalah bagian dari keluarga Hana sekarang. Rasanya menyenangkan bisa ikut hadir dalam momen seperti ini. Seringkali, saat ada perkumpulan seperti ini, suasananya terasa berbeda dan penuh ketegangan. Tapi di sini, semuanya begitu menyenangkan dan Hana merasa sangat nyaman. Seolah-olah Hana memang sudah lama menjadi bagian dari keluarga ini."
Semua yang mendengarnya pun tersenyum, merasa terharu sekaligus bahagia dengan pernyataan tulus Hana. Suasana pun semakin akrab, penuh tawa, dan kehangatan yang membuat malam itu menjadi momen indah yang sulit dilupakan.
"Hana cantik sekali malam ini, ya," ujar Zara dengan senyum kagum yang tulus, pandangannya tertuju pada sosok Hana yang memang tampak begitu anggun dalam balutan dress simple elegan malam itu. Perkataannya langsung diangguki oleh suaminya yang duduk di sampingnya, menunjukkan bahwa ia pun setuju dengan pujian tersebut.
Tak lama kemudian, Elina ikut menimpali dengan suara yang lembut namun penuh makna. "Hana terlihat seperti anak yang baik… Tante mulai menyukai Hana. Tante pikir, Hana sangat cocok untuk Rei. Ada ketulusan yang terpancar darinya." Ucapannya mengandung rasa hangat dan penerimaan, seolah memberikan restu yang tidak diucapkan secara langsung, tapi terasa begitu dalam.
Mendengar pujian yang begitu terbuka dan hangat, Hana pun hanya bisa tersenyum malu-malu. Wajahnya sedikit memerah, dan secara refleks ia melirik sekilas ke arah Rei—suaminya yang hanya duduk tenang di samping tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Rei hanya menatap diam, seolah menyimpan sesuatu dalam pikirannya, tetapi raut wajahnya tetap tenang.
Sementara itu, Nathan, Elio, Aurora, dan Selena hanya diam menatap Hana. Pandangan mereka sulit ditebak, antara kagum, terkesan, atau mungkin memikirkan hal lain. Keheningan mereka menciptakan suasana yang sedikit berbeda, namun tidak sampai membuat suasana menjadi canggung.
Dean, yang sedari tadi memperhatikan suasana secara diam-diam, tampak cukup peka terhadap situasi yang sedang berlangsung. Ia melirik ke arah mereka yang diam, lalu melirik kepada yang lain dengan isyarat halus. Seakan memberi tanda bahwa ia menyadari sesuatu yang mungkin tidak diucapkan secara langsung oleh mereka. Isyarat mata dan gestur tubuhnya membuat yang lain pun segera memahami maksudnya. Mereka hanya saling bertukar pandang, membiarkan momen itu berjalan dengan tenang tanpa harus diusik oleh kata-kata.
Dan di balik percakapan ringan dan pandangan yang saling bertukar itu, suasana keluarga malam itu semakin terasa hangat dan penuh makna. Ada kesan bahwa Hana benar-benar telah diterima, dan mungkin… diam-diam, telah mencuri perhatian banyak orang dengan caranya sendiri yang sederhana namun memikat.
“Kalian berbincanglah di sana, kami ingin berbicara santai—alih-alih merasa sudah menua dan membahas hal-hal orang tua,” ujar Dean sambil tersenyum, matanya menatap para anak-anak mereka yang masih muda dengan nada bercanda tapi penuh isyarat. Suaranya terdengar ringan, namun cukup jelas memberi sinyal bahwa para orang tua ingin waktu berbincang sendiri tanpa gangguan.
Para anak muda yang dimaksud pun saling pandang sejenak, lalu beranjak dari tempat duduk mereka dengan senyum kecil, memahami maksud Dean. Mereka pun perlahan menuju ruang lain yang masih berada dalam area rumah, namun cukup jauh untuk memberi privasi bagi para orang tua.
Sementara itu, si kembar yang sejak tadi bermain dengan penuh semangat bersama para aunty dan uncle-nya, mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Setelah kenyang makan malam dan puas bermain, mereka mulai menguap kecil dan menyender manja di pangkuan orang-orang dewasa yang menyayanginya. Perlahan-lahan, mata mereka mulai terpejam satu per satu, tertidur dalam pelukan hangat keluarga.
Di ruangan lain, para anak muda telah berkumpul, duduk membentuk lingkaran tak resmi. Suasana agak canggung pada awalnya, karena masing-masing belum tahu harus memulai dari mana. Beberapa hanya saling melirik, ada yang memainkan jemarinya, dan yang lain hanya menunduk.
Sampai akhirnya, Hana yang memang memiliki pembawaan ramah dan terbuka, mencoba mencairkan suasana terlebih dahulu. Ia melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar. “Halo semuanya!” sapanya ceria, berharap suasana menjadi lebih hangat. Namun, sapaan itu hanya disambut dengan tatapan diam dari yang lainnya. Beberapa hanya mengangguk kecil, yang lain menatap Hana sejenak lalu kembali menunduk.
Aurora, yang sejak awal hanya duduk diam, tampak menghela napas pelan. Mungkin sedikit jengah dengan suasana kaku yang tercipta. Ia memandang Hana sejenak, lalu akhirnya membuka suara, "Kau sudah kenal kami semua, kan?" tanyanya tanpa banyak ekspresi, namun cukup untuk memecah keheningan.
Hana mengangguk sopan. “Sudah kok, senang berkenalan dengan kalian semua,” jawabnya ramah, tetap menjaga senyumnya meski suasana belum sepenuhnya mencair.
Dalam hati, Hana sempat berpikir, Bukankah ini Aurora yang diceritakan oleh Tante Yuki? Aurora yang dikenal cuek, misterius, dan tak banyak bicara? Kini ia tahu bahwa cerita itu bukan isapan jempol.
Suasana pun kembali diam beberapa detik hingga Elio, si pria yang terkenal banyak omong dan suka menggoda, angkat suara dengan gayanya yang ceria.
“Hana!” panggilnya dengan nada yang seolah membawa kehangatan ke tengah ruangan.
Hana menoleh sambil tersenyum kecil. “Iya?” jawabnya ringan.
Elio lalu mendekat sedikit, menatap Hana dengan ekspresi jahil. “Gimana perasaanmu setelah menikah dengan pria kulkas seperti Rei?” tanyanya disertai senyum lebar, membuat beberapa orang yang mendengarnya menahan tawa.
Selena, yang duduk tak jauh dari Elio, hanya melirik dengan ekspresi malas, seolah sudah bosan dengan candaan Elio yang memang sering berlebihan.
Namun Hana justru menyambut candaan itu dengan tenang. Ia tertawa kecil, lalu menjawab, “Hmm… bagaimana ya? Sepertinya agak tersiksa dikit!” ucapnya dengan nada bercanda yang mengundang gelak tawa dari Elio, bahkan membuat beberapa dari mereka yang tadi diam pun ikut tersenyum.
Tawa kecil pun mulai menggema di ruangan itu. Suasana yang semula kaku perlahan mencair. Dari satu kalimat sederhana, perbincangan mulai mengalir, dan kehadiran Hana mulai terasa lebih diterima.