“Silakan pergi dari mansion ini jika itu keputusanmu, tapi jangan membawa Aqila.” ~ Wira Hadinata Brawijaya.
***
Chaca Ayunda, usia 21 tahun, baru saja selesai masa iddahnya di mana suaminya meninggal dunia karena kecelakaan. Kini, ia dihadapi dengan permintaan mertuanya untuk menikah dengan Wira Hadinata Brawijaya, usia 35 tahun, kakak iparnya yang sudah lama menikah dengan ancaman Aqila—anaknya yang baru menginjak usia dua tahun akan diambil hak asuhnya oleh keluarga Brawijaya, jika Chaca menolak menjadi istri kedua Wira.
“Chaca, tolong menikahlah dengan suamiku, aku ikhlas kamu maduku. Dan ... berikanlah satu anak kandung dari suamiku untuk kami. Kamu tahukan kalau rahimku bermasalah. Sudah tujuh tahun kami menikah, tapi aku tak kunjung hamil,” pinta Adelia, istri Wira.
Duka belum usai Chaca rasakan, tapi Chaca dihadapi lagi dengan kenyataan baru, kalau anaknya adalah ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Pengecut!
Pengecut atau pecundang, kata ini mungkin pantas disematkan pada Wira atas kejadian tiga tahun lalu. Usai menodai Chaca, ia meninggalkan gadis itu dalam keadaan pingsan, dan naasnya Ezzar yang menemukan Chaca dalam keadaan yang mengenaskan akhirnya ketiban sial atas perbuatan orang lain. Ya, orang lainnya adalah Wira, yang saat itu pun seolah-olah turut menuding adiknya yang telah memperkosa Chaca.
Fitnah lebih kejam dari pembunuhan, seperti itulah yang dilakukan oleh Wira. Apalagi Chaca memang menuduh Ezzar sebagai pelaku pemerkosaannya. Setelah kejadian itu pun, Wira bersikap lebih hangat pada Adelia karena merasa bersalah telah mengkhianatinya walau tidak ada yang tahu.
Pernikahan terpaksa itu akhirnya terjadi, tidak ada kebahagiaan di antara mereka berdua. Ezzar terpaksa menikahinya karena paksaan kedua orang tuanya atas permintaan Chaca. Sedangkan Wira yang semakin dingin hanya bisa menyesali sendiri saat pernikahan itu terjadi. Namun, di satu sisi ia sangat bahagia mendengar Chaca hamil yang ia yakini itu anaknya, hasil perbuatan bejatnya. Tapi, apa boleh buat ia tetap tak berani mengakui dirinya sebagai pelaku sesungguhnya, dan ia hanya bisa mencurahkan perhatian pada Chaca dan calon anaknya dengan identitasnya sebagai dokter. Ia akan ada di sisi Chaca setiap periksa kandungan, ia yang menemani, hingga ia pula yang mengoperasi saat Chaca melahirkan. Itulah salah satu bentuk yang bisa Wira lakukan dibalik pergolakan hatinya sendiri, yang semakin hari sangat mencintai Chaca. Namun, ia simpan sendiri.
Sementara dengan berjalannya waktu selama tiga tahun tersebut, akhirnya Adelia diketahui tidak bisa mengandung, karena ada masalah di rahimnya. Itu pun berkat paksaan Mama Maryam yang membawanya ke rumah sakit milik Brawijaya untuk medical cek up dengan ancaman Wira akan dinikahi dengan anak temannya.
***
Kembali di masa sekarang,
Wira terpaku, tubuhnya seakan kehilangan daya saat mendengar tangisan Chaca yang menggema di ruangan itu. Ia ingin mendekat, ingin memeluk istrinya dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja, tetapi tatapan penuh kebencian dari wanita itu menghantamnya lebih keras dari seribu tamparan.
"Kamu harus pergi dari sini, Wira," pinta Papa Brawijaya terdengar penuh ketegasan. "Chaca butuh waktu, dan Papa juga butuh waktu untuk menerima semua ini." Papa Brawijaya memaksa anaknya untuk keluar dari ruangan.
Begitu di luar ruangan, Wira menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Ia menatap papanya yang kini berdiri tegap dengan mata yang menyala oleh emosi. Namun, sebelum Wira sempat berbicara, tangan besar Papa Brawijaya melayang, menghantam wajahnya dengan keras.
"Brak!"
Pukulan itu begitu kuat hingga Wira terdorong ke belakang, sudut bibirnya mengeluarkan darah. Ia tidak menghindar, tidak melawan. Ia menerima semua itu dengan pasrah, karena ia tahu, ia pantas mendapatkannya.
"Kamu sudah mengecewakan Papa! Kamu menyembunyikan ini selama tiga tahun, membiarkan Chaca hidup dalam kebohongan, membiarkan orang lain menanggung kesalahan yang bukan miliknya!" bentak Papa Brawijaya, suaranya bergetar oleh kemarahan.
Wira menyeka darah di bibirnya, lalu menatap ayahnya dengan mata penuh rasa bersalah. "Aku tidak pernah berniat menyakiti Chaca, Pah ... aku juga tidak menyangka malam itu bisa terjadi. Aku ... aku benar-benar menyesal."
"Menyesal?!" ucap Papa Brawijaya dengan suaranya naik satu oktaf. "Menyesal tidak akan mengubah apa pun, Wira! Kamu sudah menghancurkan hidup seorang wanita! Kamu sudah membuatnya trauma! Dan lebih buruknya lagi, kamu tidak berani mengakui kesalahanmu sejak awal! Pengecut kamu! Kenapa kamu melakukannya!"
Wira menundukkan kepalanya. Napasnya berat, hatinya seperti terhimpit oleh batu besar. Ia sadar bahwa tidak ada alasan yang bisa membenarkan kesalahannya.
Dari dalam ruangan, isak tangis Chaca masih terdengar. Mama Maryam dan Bik Rahma berusaha menenangkannya, tetapi rasa sakit yang Chaca rasakan terlalu dalam.
Papa Brawijaya kembali meninju wajah putranya, meluapkan rasa amarahnya. "Papa sudah cukup. Tolong ...." Suara Wira melemah. "Aku tahu aku salah selama ini, tapi aku tidak bisa menceraikannya. Aqila adalah anak aku, dan aku harus bertanggung jawab sebagai papa kandungnya."
Pria paruh baya itu mendengus. "Kamu pikir tanggung jawabmu itu bisa menghapus trauma Chaca? Bisa mengembalikan kepercayaannya? Bisa membuatnya bahagia? Tanggung jawab bukan hanya sekadar mempertahankan pernikahan, Wira! Jika kamu benar-benar ingin bertanggung jawab, kamu seharusnya membiarkan Chaca bebas! Kamu sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal!”
Wira mengepalkan tangannya. Ia ingin membela diri, ingin mengatakan bahwa ia mencintai Chaca, bahwa ia ingin memperbaiki semuanya. Tapi ... apakah cintanya cukup? Apakah ada kesempatan bagi Chaca untuk bisa kembali percaya padanya?
Di dalam ruangan, Chaca masih terisak. Tangannya mencengkeram selimut erat-erat, tubuhnya masih lemah, tetapi pikirannya terus bekerja, menyesali kesalahan yang telah ia buat di masa lalu.
"Aku telah membuat kesalahan besar ..." gumamnya, matanya menatap kosong ke arah langit-langit.
Mama Maryam mengusap pundaknya dengan lembut. "Chaca, istirahatlah dulu. Ini bukan salahmu."
"Bukan salah aku?" Chaca tertawa getir, air matanya kembali jatuh. "Aku memaksa Mas Ezzar untuk menikahiku, menuduhnya telah menghancurkan hidupku. Aku membuang kebahagiaannya, menghancurkan masa depannya, dan sekarang ... aku tahu bahwa orang yang seharusnya aku benci bukan dia, Mah."
Bik Rahma menatapnya penuh iba. "Nak, kamu tidak tahu. Kamu juga menjadi korban. Jangan menyalahkan dirimu sendiri."
Chaca menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Aku sudah berbuat dosa besar ... aku ingin pergi dari sini ... aku tidak ingin melihat Pak Wira lagi! Aku ingin menjauh, Bik!”
Mama Maryam menghela napas panjang. "Kalau itu keputusanmu, kami tidak akan menghalangimu, Nak. Tapi ... pikirkan Aqila juga."
Chaca menangis histeris, seakan masih belum bisa menerima fakta baru. Hanya satu hal yang membuatnya masih bertahan hingga saat ini—Aqila. Putrinya yang ia cintai lebih dari apa pun. Namun, bagaimana ia bisa hidup berdampingan dengan pria yang ternyata dia lah pelaku yang telah menghancurkan hidupnya? Dan, pria itu ayah biologis anaknya sendiri.
Di luar ruangan, Wira masih berdiri diam, menatap pintu yang memisahkannya dari Chaca. Papa Brawijaya menatapnya dengan sorot mata penuh peringatan.
"Jika kamu benar-benar ingin menebus kesalahanmu, biarkan Chaca memilih jalannya sendiri," ujar Papa Brawijaya tegas.
Wira memejamkan matanya. Hatinya terasa remuk.
Bersambung ... ✍️
selamat dn semangat dok Wira tuk menuju SAMAWA bersama ChaCha dn Aqila....
pak Brawijaya tidak tinggal diam
alih-alih berhasil aksi licik mereka bertiga, pastinya malah semakin malu nantinya
jadinya toh adel bgitu juga karena tekanan dr ortunya supaya bs jd perayu ulung buat manfaatin hartanya wira