Nesya, seorang gadis sederhana, bekerja paruh waktu di sebuah restoran mewah, untuk memenuhi kebutuhannya sebagai mahasiswa di Korea.
Hari itu, suasana restoran terasa lebih sibuk dari biasanya. Sebuah reservasi khusus telah dipesan oleh Jae Hyun, seorang pengusaha muda terkenal yang rencananya akan melamar kekasihnya, Hye Jin, dengan cara yang romantis. Ia memesan cake istimewa di mana sebuah cincin berlian akan diselipkan di dalamnya. Saat Nesya membantu chef mempersiapkan cake tersebut, rasa penasaran menyelimutinya. Cincin berlian yang indah diletakkan di atas meja sebelum dimasukkan ke dalam cake. “Indah sekali,” gumamnya. Tanpa berpikir panjang, ia mencoba cincin itu di jarinya, hanya untuk melihat bagaimana rasanya memakai perhiasan mewah seperti itu. Namun, malapetaka terjadi. Cincin itu ternyata terlalu pas dan tak bisa dilepas dari jarinya. Nesya panik. Ia mencoba berbagai cara namun.tidak juga lepas.
Hingga akhirnya Nesya harus mengganti rugi cincin berlian tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara istri dan masa lalu
Pagi itu, cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah jendela kamar rawat Nesya. Hari operasi bahunya akhirnya tiba. Meski rasa cemas menghantui, Nesya berusaha menenangkan diri dengan memegang teguh keyakinannya. Dengan perlahan, ia bangkit dari ranjang, mengambil air wudhu di kamar mandi, lalu membentangkan sajadah di sudut kamar.
Dengan khusyuk, Nesya melaksanakan sholat dua rakaat, memohon perlindungan dan kelancaran dari Allah. Setiap gerakan sholat ia lakukan dengan hati yang penuh pasrah. Setelah salam, ia mengangkat kedua tangannya, melantunkan doa dengan suara bergetar lembut.
"Ya Allah, aku serahkan segala kekhawatiranku kepada-Mu. Lancarkanlah operasiku ini, sembuhkanlah aku, dan jauhkan aku dari segala bahaya. Berikanlah aku kekuatan untuk menjalani semuanya. Amin."
Jae Hyun yang baru saja tiba di depan pintu kamar rawatnya, berhenti sejenak ketika melihat pemandangan itu. Ia terdiam, menyaksikan Nesya yang sedang berdoa dengan wajah teduh dan penuh ketenangan. Ada rasa asing yang mengusik hatinya—perasaan yang sulit ia jelaskan.
Saat Nesya selesai berdoa, Jae Hyun melangkah masuk. Tatapan matanya sulit ditebak, namun ada sesuatu dalam dirinya yang berubah sejak ia melihat kesungguhan Nesya beribadah.
"Apa kau siap?" tanyanya dengan suara lebih lembut dari biasanya.
Nesya menoleh, terkejut melihat Jae Hyun yang berdiri di ambang pintu sambil membawa buket bunga segar. Meski ekspresi wajahnya tetap dingin, perhatian kecil itu membuat hati Nesya sedikit hangat.
"Insya Allah, aku siap," jawab Nesya tenang, meski di dalam hatinya tetap ada rasa khawatir.
Jae Hyun mendekat dan meletakkan bunga itu di meja samping tempat tidur. Ia menatap Nesya dalam diam sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Kalau ada yang kau butuhkan setelah operasi, beritahu aku."
Perkataan itu terdengar sederhana, tetapi bagi Nesya, perhatian sekecil itu cukup membuatnya merasa tidak sendiri.
Tak lama, tim medis datang untuk membawanya ke ruang operasi. Dengan perlahan, perawat mendorong ranjang Nesya ke luar kamar. Sebelum pintu tertutup, Jae Hyun melangkah mendekat, mengejutkan Nesya ketika ia menggenggam tangannya sejenak.
"Kau pasti baik-baik saja," ucapnya lirih, lalu melepaskan genggamannya.
Dalam hati, Nesya mengulang-ulang doanya. Ia percaya, selama ia bersandar pada Allah, semuanya akan berjalan dengan baik.
Jae Hyun, yang biasanya begitu acuh, tetap berdiri di depan pintu kamar operasi. Untuk pertama kalinya, ia merasa khawatir akan seseorang di luar dirinya sendiri. Ada sesuatu tentang Nesya—tentang keteguhan dan ketenangannya—yang perlahan-lahan menggoyahkan pertahanan hati Jae Hyun.
Di luar ruang operasi, suasana terasa tegang. Jae Hyun duduk di kursi tunggu dengan ekspresi dingin namun matanya menunjukkan kekhawatiran yang sulit ia sembunyikan. Ia mencoba fokus pada ponselnya, tetapi pikirannya terus melayang pada Nesya yang sedang menjalani operasi.
Tak jauh darinya, Mitha duduk sambil mengamati Jae Hyun. Sahabat Nesya itu sebenarnya heran—kenapa seorang CEO arogan sekelas Jae Hyun begitu peduli pada Nesya? Ia melipat tangan di dada, menghela napas pelan sebelum akhirnya memberanikan diri membuka percakapan.
"Kau benar-benar peduli padanya, ya?" tanya Mitha, memecah keheningan.
Jae Hyun menoleh sekilas, lalu kembali menatap pintu ruang operasi. "Aku hanya bertanggung jawab. Dia istriku di atas kertas, jangan salah paham," jawabnya dengan suara dingin, seolah berusaha menyangkal perasaan yang mulai mengusiknya.
Mitha tersenyum kecil, tidak sepenuhnya percaya. Ia tahu betul kalau Jae Hyun hanya mencari alasan. Namun sebelum ia bisa membalas, langkah kaki terdengar mendekat.
"Dirga?" gumam Mitha pelan ketika sosok pria tinggi dengan jaket hitam masuk ke ruang tunggu.
Dirgantara, teman kampus yang cukup dekat dengan Nesya, datang dengan wajah cemas. Matanya segera mencari-cari sosok sahabatnya itu sebelum akhirnya berhenti di hadapan Jae Hyun. Aura tegang langsung terasa di antara mereka.
"Bagaimana kondisinya?" tanya Dirga tanpa basa-basi, suaranya penuh kekhawatiran.
Jae Hyun mendongak, menatap Dirga dengan tajam. Ada rasa tak suka yang tiba-tiba menguasainya melihat pria lain menunjukkan perhatian pada Nesya. "Masih di dalam. Dokter bilang operasinya cukup rumit," jawab Jae Hyun datar, meskipun dalam hatinya ia mulai merasa terganggu dengan kehadiran Dirga.
Dirga mengangguk, lalu mengambil tempat duduk di seberang mereka. Tatapannya tak lepas dari pintu ruang operasi, mengabaikan pandangan penuh penilaian dari Jae Hyun.
Ketegangan di antara mereka belum mereda saat suara langkah kaki berhak tinggi menggema di lorong rumah sakit. Jae Hyun menoleh dan melihat Hye Jin berjalan anggun ke arahnya. Wajahnya yang cantik tersenyum lembut saat pandangannya bertemu dengan Jae Hyun.
"Oppa..." suara lembut Hye Jin membuat suasana semakin rumit. Ia mendekat, tanpa ragu memeluk lengan Jae Hyun di depan Mitha dan Dirga.
"Kau kenapa tidak membalas pesanku? Aku sangat merindukanmu," lanjutnya manja, membuat suasana makin tegang di antara mereka.
Mitha hanya memutar bola matanya, sementara Dirga menahan napas, merasa tak nyaman melihat interaksi mesra itu. Namun, reaksi Jae Hyun justru di luar dugaan. Alih-alih menolak, ia membiarkan Hye Jin bersandar di bahunya. Ada rasa puas di matanya, seolah ingin menunjukkan kepada Dirga—dan mungkin juga kepada dirinya sendiri—bahwa ia tidak peduli pada Nesya.
"Aku sibuk," jawab Jae Hyun singkat, meski tangannya tetap membiarkan Hye Jin menggenggam erat lengannya.
"Kau bahkan tidak memberi tahu aku kalau kau di rumah sakit. Aku ingin menemanimu," ucap Hye Jin manja.
Jae Hyun menatap gadis itu sesaat sebelum menariknya duduk di sampingnya. "Tidak perlu. Operasi ini bukan masalah besar," ucapnya, mencoba mengabaikan rasa gelisah di hatinya.
Dirga mengepalkan tangannya di atas lutut. Melihat perlakuan Jae Hyun yang dingin terhadap Nesya sementara ia bersikap hangat pada wanita lain, membuat darahnya mendidih.
"Kau benar-benar tak tahu diri," gumam Dirga pelan, namun cukup jelas untuk didengar Jae Hyun.
Jae Hyun menoleh tajam, sorot matanya berubah dingin. "Apa maksudmu?" tanyanya menantang.
"Nesya ada di ruang operasi karena kecelakaan saat bersamamu, tapi kau malah bermesraan di sini," balas Dirga dengan nada tajam. "Dia pantas mendapatkan yang lebih baik daripada diperlakukan seperti ini."
Suasana memanas. Hye Jin menatap Dirga dengan pandangan tidak suka, sementara Mitha hanya menghela napas panjang, tahu bahwa pertengkaran ini bisa meledak kapan saja.
Namun sebelum Jae Hyun bisa membalas, pintu ruang operasi terbuka perlahan. Seorang dokter keluar, melepaskan masker medisnya.
"Operasinya berjalan lancar, tapi pasien masih perlu observasi selama 24 jam ke depan," jelas dokter tersebut.
Jae Hyun segera berdiri, diikuti oleh Dirga dan Mitha.
"Aku bisa melihatnya?" tanya Jae Hyun, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.
Dokter mengangguk. "Dalam lima belas menit, perawat akan membawanya ke ruang pemulihan."
Meski Hye Jin masih berada di sisinya, pikiran Jae Hyun kini hanya tertuju pada satu hal—Nesya. Ia mungkin bisa menyangkal perasaannya di depan orang lain, tetapi di dalam hatinya, kekhawatiran itu nyata dan semakin sulit ia abaikan.
ceritanya bikin deg-degan
semagat terus yaa kak