Kathleen tidak pernah menyangka bahwa rasa penasaran bisa menyeret hidupnya ke dalam bahaya besar!
Semua berawal dari kehadiran seorang cowok misterius di kelas barunya yang bernama William Anderson. Will memang selalu terkesan cuek, dingin, dan suka menyendiri. Namun, ia tidak sadar kalau sikap antisosialnya yang justru telah menarik perhatian dan membuat gadis itu terlanjur jatuh hati padanya.
Hingga suatu hari, rentetan peristiwa menakutkan pun mulai datang ketika Kathleen tak sengaja mengetahui rahasia siapa William sebenarnya.
Terjebak dalam rantai takdir yang mengerikan, membuat mereka berdua harus siap terlibat dalam pertarungan sesungguhnya. Tidak ada yang dapat mereka lakukan lagi, selain mengakhiri semua mimpi buruk ini sebelum terlambat!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rivelle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07 - Ada yang menguntitku!
Hari ini kelas terakhirku selesai pada pukul tiga sore—lebih awal karena kegiatan ekstrakurikuler baru akan dimulai pekan depan. Aku bertemu Arlene dan Natalie saat hendak melangkah keluar dari gedung sekolah. Teringat dengan ucapan Natalie waktu di kafetaria, aku pun segera menghampirinya untuk menagih janji.
"Hai, Guys!" sapaku seraya merangkul pundak keduanya. "Kalian belum pulang?"
"Yeah, aku sedang menunggu sepupuku. Dia masih ada di kelas seni. Mrs. Lindsey sedang melakukan pengambilan nilai tugas tadi," kata Arlene. Ia membuka kemasan biskuit cokelatnya lalu menawarkan camilan kesukaannya itu padaku.
Aku menggeleng. "Tidak, terima kasih. Kau makan saja."
"Okey."
"Umm, teman-teman, ngomong-ngomong soal tugas ... sepertinya aku harus pulang sekarang. Hari ini aku baru ingat kalau tugasku juga ternyata lumayan banyak. Sampai jumpa!" sambung Natalie yang justru berusaha kabur dariku.
"Eits, tunggu dulu!" Aku menarik tas serut yang disandangnya. "Kau buru-buru sekali, mau pergi ke mana? Kelihatannya kita berdua masih punya urusan yang belum selesai."
Ia cuma nyengir.
"Kemarin aku sudah tanda tangan di daftar anggota kelas filsafat milik Mr. Osborne. Jadi, kapan kau mau menepati janjimu?"
"Janji?" kelitnya, berlagak bingung.
"Ah, aku tahu kau pasti ingin menanyakan tentang William, 'kan?" Arlene tiba-tiba menyela pembicaraan kami dengan antusias.
"Loh, kau tahu dari mana?"
Matanya yang berwarna hazel kemudian melirik ke arah Natalie. "Dia yang bilang kalau kau naksir cowok itu sejak pada pandangan pertama."
Natalie langsung menyikut pinggang Arlene. "Jangan bilang kataku, Gadis pintar!"
"Wah!" Aku bersedekap sambil memicingkan mata padanya. "Kau mengatakan hal konyol itu?"
"Tapi, aku benar, 'kan? Kalau kau memang tidak menyukainya, mana mungkin kau rela mendaftar di kelas filsafat."
"Aku cuma penasaran. Sudah kubilang kemarin."
"Asal kau tahu saja, Kathleen." Ia menegakkan badan sembari membuat gestur mengingatkan. "Kau harus percaya padaku. Penasaran adalah awal mula dari munculnya perasaan."
"Kata siapa? Kau jangan mengada-ada," balasku skeptis.
"Aku tidak mengada-ada! Itu adalah fakta. Dan sebagai sahabat yang baik, aku hanya ingin memberitahumu agar kau bisa lebih berhati-hati."
"Oh, ya?"
"Yeah. But, anyway ... setelah kupikir-pikir lagi tidak masalah juga sih kalau kau memang benaran menyukai William, asalkan dia bukan buaya darat, alias cowok playboy atau badboy kayak yang lain."
"Hei, harus berapa kali kubilang? Aku ... aku tidak menyukainya!" protesku lagi, namun entah mengapa lidahku mendadak kelu ketika mengatakannya.
"Apa aku perlu berbicara dengan William secara empat mata? Siapa tahu dia juga naksir denganmu."
"Kau gila, ya?"
"Uh, aku masih waras!" balasnya tak mau kalah.
Kami terus berdebat mengenai masalah sepele ini sementara Arlene hanya menyimak dengan wajah polosnya. Ia menatap aku dan Natalie secara bergantian sembari memakan biskuit cokelatnya satu demi satu.
"Baiklah, jadi kau sungguh mau tahu kenapa waktu itu aku bilang supaya kau jangan coba-coba mendekati William?" tanya Natalie akhirnya.
"Tentu saja! Kau sudah janji."
"Dia sudah punya pacar. Aku pernah melihatnya jalan dengan cewek lain."
Aku terdiam. Tanpa kusadari raut wajahku berubah cemberut.
"Lihat! Kau kecewa. Itu berarti kau menyukainya."
"Berhentilah menebak-nebak, Natalie! Ini tidak semudah yang kau pikirkan."
"Ya-ya, oke! Terus terang, sebenarnya kemarin aku bilang seperti itu hanya ingin memastikan apakah kau benar-benar menyukai William atau tidak. Itu saja," katanya. "Sori."
Aku memutar bola mata. "Sudah kuduga. Kau tidak tahu apa-apa tentangnya."
Natalie mengangkat bahu.
Ya, sejauh ini kuakui kalau William itu memang sangat menarik perhatian karena aku sendiri juga sempat terpesona olehnya. Tapi, Natalie hanya melebih-lebihkan saja. Aku tidak mungkin menyukai William dan dia juga tidak mungkin menyukaiku. Sikap cueknya cuma sekadar membuatku penasaran. Tidak ada alasan lain yang lebih masuk akal daripada itu.
***
Sore ini, aku langsung bergegas pulang karena Mom akan mengajakku pergi berbelanja-salah satu kegiatan yang paling diminati oleh para kaum hawa sekaligus hobiku sejak lama.
Begitu baru menginjakkan kaki di rumah, kulihat Mom sudah berpakaian rapi dengan blouse motif bunga-bunganya. Pantas saja Dad sangat mencintainya. Di usianya yang kini bukan gadis belia lagi, ia masih tetap terlihat cantik dan awet muda. Ibuku mempunyai warna kulit yang lebih hangat serta rambut pirang madu yang selalu berhasil membuatnya tampak anggun di hadapan semua orang.
"Sayang, kau mau makan dulu?" tanya Mom seraya memasukkan dompetnya ke dalam tas.
"Nanti saja. Aku masih belum lapar," balasku. "Kita jadi berangkat, 'kan?"
"Yeah, pastinya." Ia tersenyum.
Rencananya, di kesempatan kali ini kami akan pergi ke Prudential Center, sebuah pusat perbelanjaan terlengkap yang terletak di Boylston Street. Jaraknya empat blok dari tempat tinggalku.
Sembari menunggu aku selesai bersiap-siap, Mom memesan taksi karena kebetulan keluarga kami hanya mempunyai satu mobil dan Dad juga belum pulang dari kantornya. Mungkin ia bakal menyusul nanti malam.
Sesampainya di sana, aku dan Mom segera mengambil keranjang belanjaan kami masing-masing. Ia pergi menuju supermarket untuk membeli bahan makanan sedangkan aku berpencar ke area lain untuk mencari barang-barang keperluanku sendiri.
Ada banyak hal yang ingin kuborong-mumpung berada di sini ditambah Mom juga yang akan membayar semua biaya tagihan. Jadi, untungnya uang tabunganku bulan ini bisa utuh.
Berbelanja terkadang memang suka membuat lupa waktu. Aku tak sadar kalau dua jam telah berlalu dan keranjang belanjaanku pun sekarang sudah hampir penuh. Berkeliling cukup lama membuatku jadi haus. Aku memutuskan mampir sebentar ke kedai kopi yang ada di dekat gerai-gerai pujasera untuk membeli minuman.
Ada banyak aneka jenis kopi yang cukup terkenal di sini. Aku memilih menu Latte macchiato kemudian duduk di pojok sembari bermain ponsel sebentar. Akan tetapi, ketika sedang asyik menikmati minuman yang barusan kupesan, tiba-tiba aku malah merasa seperti ada seseorang yang sedang mengawasiku sejak tadi.
Aku menoleh ke sana-kemari, tapi tak ada satu orang pun yang terlihat mencurigakan. Semua pengunjung tampak tengah sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Mungkin hanya perasaanku saja. Lagi pula, ini tempat umum. Ada banyak petugas keamanan yang berlalu-lalang. Siapa pula yang bakal berani berbuat jahat atau mesum? Mereka pasti bakal berpikir ratusan kali buat melancarkan aksinya sebelum diseret ke kantor polisi.
Sehabis minum kopi, aku pun mengambil keranjang belanjaanku kembali lalu naik ke lantai atas untuk melihat-lihat berbagai macam aksesoris. Aku menemukan sebuah jepit rambut lucu, bermodel pita dengan aksen manik-manik mutiara kecil yang menghiasi bagian tengahnya. Kuambil jepit itu kemudian beralih ke depan cermin untuk mencobanya.
Namun, saat itu lagi-lagi aku merasa ada orang lain yang terus mengawasiku. Aku terpaku sejenak sembari melirik ke belakang melalui pantulan cermin. Tidak ada siapa-siapa. Tapi sedetik kemudian, sekelebat bayangan putih tahu-tahu muncul di sebelah sudut kios. Aku mengucek-ngucek mata dan tersentak kaget waktu melihat ada sebuah benda jatuh sendiri dari rak pajangan tanpa ada yang menyentuhnya sama sekali.
Aku menelan ludah. Keringat dingin seketika mengalir deras membasahi keningku. Kumasukkan aksesoris tadi ke dalam keranjang lantas buru-buru keluar dari sana.
Apakah itu ulah hantu? Bukan. Aku benar-benar yakin kalau itu adalah perbuatan manusia karena kedua telingaku sekarang mendengar suara derap langkah kaki yang begitu jelas. Aku berhenti dan suara langkah kaki itu ikut berhenti.
Sial!