Bayu, seorang penyanyi kafe, menemukan cinta sejatinya pada Larasati. Namun, orang tua Laras menolaknya karena statusnya yang sederhana.
Saat berjuang membuktikan diri, Bayu tertabrak mobil di depan Laras dan koma. Jiwanya yang terlepas hanya bisa menyaksikan Laras yang setia menunggunya, sementara hidup terus berjalan tanpa dirinya.
Ketika Bayu sadar dari koma, dunia yang ia tinggalkan tak lagi sama. Yang pertama ia lihat bukanlah senyum bahagia Laras, melainkan pemandangan yang menghantam dadanya—Laras duduk di pelaminan, tetapi bukan dengannya.
Dan yang lebih menyakitkan, bukan hanya kenyataan bahwa Laras telah menikah dengan pria lain, tetapi juga karena pernikahan itu terpaksa demi melunasi hutang keluarga. Laras terjebak dalam ikatan tanpa cinta dan dikhianati suaminya.
Kini, Bayu harus memilih—merebut kembali cintanya atau menyerah pada takdir yang terus memisahkan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Antara Senyuman dan Tangisan
Roh Bayu masih berdiri di tempatnya, menatap Laras yang diam tertunduk. “Gue pasti sadar… dan waktu itu tiba, gue nggak bakal biarin semua ini berakhir kayak gini,” bisiknya, entah untuk siapa.
Boni hanya bisa diam, menatap sahabatnya yang terbaring tak sadarkan diri. Di luar, malam semakin larut. Namun di dalam hati mereka, badai baru saja dimulai.
Roh Bayu berdiri di lorong rumah sakit, menatap Laras yang terlihat sedih dan lelah setelah pulang kerja. Dadanya terasa sesak—bukan karena fisiknya, tapi karena rasa bersalah yang menumpuk. Ia merasa tak berguna. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain menjadi penonton atas penderitaan orang-orang yang paling ia cintai.
Boni, yang kini duduk di sebelah Laras, menunduk dalam diam. Wajahnya tertutup bayangan, kedua tangannya mengepal di atas lutut.
Bayu menatapnya, semakin frustrasi. Ia mendekat, berusaha menyentuh bahu sahabatnya, tapi seperti sebelumnya, tangannya hanya menembus tubuh Boni tanpa bisa merasakan apa pun.
"Sial!" Bayu mengumpat, rahangnya mengatup erat. Ia melangkah mundur, lalu menendang ke udara—sebuah gerakan refleks yang sia-sia karena kakinya hanya menembus kekosongan.
Ia mengacak-acak rambutnya, napasnya—jika ia masih bisa bernapas—terasa berat. Semua ini karena Edwin. Semua ini karena laki-laki brengsek itu! Jika bukan karena Edwin, ia tidak akan seperti ini. Laras tidak perlu menangis, dan Boni tidak perlu pontang-panting mencari uang untuknya.
Kemarahannya semakin membara, namun di tengah ledakan emosinya, sesuatu terjadi.
Boni tiba-tiba tersentak. “Eh?”
Ia menegakkan punggung, matanya melebar saat mendengar suara dari dalam ICU. Bunyi monitor yang tadinya berdetak stabil kini berubah kacau—cepat, kemudian melambat, lalu berbunyi panjang seolah ada sesuatu yang salah.
"Bayu?" Boni dan Laras berdiri dengan panik, mata mereka langsung menatap ke dalam ruangan di mana tubuh Bayu terbaring.
Bayu juga ikut menoleh—dan saat itulah ia merasakan sesuatu yang aneh.
Wujud transparannya tiba-tiba bergetar, berpendar tak stabil seolah kehilangan bentuknya. Tangannya mulai memudar, lalu kembali muncul, lalu memudar lagi.
“Apa…?”
Rasa takut merayap dalam dirinya untuk pertama kalinya sejak ia menjadi roh. Ia menatap tangannya sendiri yang semakin sulit dikendalikan. Tubuhnya terasa seperti ditarik ke dua arah sekaligus—seolah ada sesuatu yang akan terjadi.
Boni sudah berlari menuju pintu ICU, berusaha masuk saat beberapa perawat berhamburan ke dalam ruangan.
Laras terduduk lemas di koridor, wajahnya sepucat kertas, matanya membelalak tanpa berkedip menatap pintu ICU yang terbuka. Bibirnya bergetar, tangannya mencengkeram dadanya seolah menahan sesuatu yang hendak pecah.
Monitor berbunyi semakin keras, alarm darurat menyala, dan di tengah kekacauan itu, roh Bayu hanya bisa berdiri membeku, merasa untuk pertama kalinya... benar-benar takut.
Matanya melebar.
Sesuatu sedang terjadi.
Sesuatu yang bisa mengubah segalanya.
Monitor jantung di ruangan ICU berbunyi tak beraturan. Irama detaknya semakin melemah, menciptakan suasana mencekam.
Boni merasakan darahnya berdesir. "Ada apa?! Kenapa alatnya berbunyi kayak gitu?!" serunya panik. Ia mencoba menerobos masuk, tapi seorang perawat mencegahnya.
"Tolong tunggu di luar, kami sedang berusaha menyelamatkan pasien!"
Boni mengepalkan tangannya, napasnya memburu. Laras yang kini berdiri di dekatnya menutup mulutnya dengan tangan gemetar, matanya berkaca-kaca.
Sementara itu, di dalam ruangan ICU, tubuh Bayu yang tak bergerak tampak semakin pucat. Namun, rohnya berdiri di sisi lain, menatap tubuhnya sendiri dengan rasa tidak percaya.
Lalu, cahaya itu muncul.
Awalnya hanya secercah di kejauhan, lalu semakin besar, semakin terang, menyelimuti seluruh pandangannya. Cahaya itu hangat, berbeda dengan hawa dingin yang selalu ia rasakan sejak menjadi roh.
Bayu merasakan tubuhnya ditarik, perlahan menjauh dari ICU, dari Laras dan Boni.
"Jadi ini akhirnya?" pikirnya, suara hatinya bergetar.
Ia menoleh ke belakang—Boni masih berteriak, Laras masih berdiri kaku dengan air mata mengalir di pipinya. Mereka tidak bisa melihatnya. Mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi padanya.
"Enggak… aku belum siap!" Bayu berteriak, tapi suaranya hanya menggema dalam kehampaan.
Ia mencoba melawan tarikan cahaya itu, tapi semakin ia berusaha, semakin tubuhnya terasa ringan, seakan ia tak punya kendali lagi atas dirinya sendiri.
Sebuah suara lembut terdengar, bukan dari Boni, bukan dari Laras. Suara asing, namun entah kenapa terasa familiar.
"Bayu… ini waktunya."
Matanya membelalak. "Tidak! Aku belum selesai! Aku belum membalas Edwin! Aku belum…"
Tiba-tiba, cahaya itu bergetar. Sebuah tarikan lain yang lebih kuat mencengkeramnya, seakan ada sesuatu yang menahannya untuk tidak pergi.
Di dunia nyata, dokter tiba-tiba berseru, "Tekanan darahnya turun drastis! Bersiap untuk CPR!"
Laras terisak, Boni berteriak, "Bayu! Jangan mati, sialan!"
Cahaya yang menyelimuti Bayu perlahan memudar. Dingin mulai merayapi tubuh rohnya, menggantikan kehangatan sebelumnya.
Bayu menyadari sesuatu.
Jika ia masuk ke dalam cahaya itu… maka semuanya akan benar-benar berakhir.
"Aku nggak bisa… Aku nggak mau!" Ia mengerahkan seluruh tekadnya, berusaha bertahan.
Dan tiba-tiba—
Gelap.
Monitor berbunyi panjang.
Dan semua orang menahan napas.
***
Bayu membuka matanya.
Cahaya putih menyilaukan, membuatnya mengerjap beberapa kali. Pandangannya buram, dadanya terasa berat, seolah ia baru saja menarik napas untuk pertama kalinya setelah tenggelam begitu lama.
Ketika matanya akhirnya bisa melihat dengan jelas, ia tersentak.
Di hadapannya, Laras berdiri dalam balutan gaun pengantin.
Gaun itu dulu mungkin indah, berwarna putih lembut dengan renda halus, tapi kini terlihat kotor dan kusut. Beberapa bagian sobek, meninggalkan jejak luka seperti kisah yang tak sempurna.
Namun, yang paling menusuk Bayu bukanlah kondisi gaun itu—melainkan ekspresi Laras.
Wanita itu tersenyum. Senyum tulus, hangat, seperti yang selalu Bayu ingat. Tapi air mata mengalir di pipinya, berlawanan dengan senyum itu, seakan menandakan bahwa kebahagiaan yang ingin ia tunjukkan hanyalah ilusi.
"Laras...?"
"Kamu bangun..."
Suara Laras bergetar, lirih seperti bisikan yang tersapu angin. Air mata yang mengalir di pipinya jatuh ke gaun pengantinnya, meninggalkan noda kecil yang semakin menegaskan kepedihan yang tersembunyi.
Bayu masih terdiam, tubuhnya terasa kaku. Pandangannya menyapu sosok Laras dari ujung kepala hingga ujung kaki, menyadari betapa rapuh dan lelahnya wanita itu.
"Laras...?" suaranya serak, seakan sudah lama tidak digunakan.
Laras menggigit bibirnya, mencoba menahan isakan. Tangannya gemetar saat dia mengangkatnya sedikit, seolah ingin menyentuh Bayu tapi ragu. "Aku..." napasnya memburu, "Aku minta maaf..."
Bayu mengerutkan kening. "Kenapa?"
Laras tersenyum lagi, kali ini lebih menyedihkan dari sebelumnya. "Karena aku tidak bisa menunggu..."
Deg.
Bayu merasakan sesuatu yang dingin merayap ke dadanya. Perkataannya seakan bergema di kepalanya, perlahan mengoyak harapannya.
Matanya turun ke jemari Laras.
Cincin.
Sebuah cincin berkilau di sana, membungkam pertanyaan yang seharusnya dia tanyakan.
Bayu merasakan tubuhnya melemah. Jantungnya berdegup kencang, tapi ada sesuatu yang tidak beres. Tangannya yang semula menggenggam selimut mulai kehilangan warna, menjadi samar-samar.
Tidak.
Bukan hanya tangannya.
Laras juga perlahan menjauh, semakin kabur, seolah dunia ini menolaknya.
Bayu mulai menghilang.
"Laras!" Bayu mencoba meraih tangan Laras, tapi tangannya hanya menembus udara kosong. Napasnya memburu, panik melandanya. "Laras, jangan pergi!"
Laras terisak. "Aku tidak pergi, Bayu..."
Bayu ingin berteriak, ingin mengguncang Laras dan memintanya untuk tetap di sini. Namun tubuhnya semakin ringan, semakin transparan.
Satu hal yang terakhir dia lihat sebelum segalanya menghilang—
Senyum Laras yang penuh kepedihan.
Dan air mata yang terus mengalir.
...🔸🔸🔸...
...Di langit, laksana awan yang tak tergenggam. Di air, laksana batu yang tenggelam....
...Jika cintaku tak mampu membuatmu bertahan, haruskah aku merelakan?...
...Mengikhlaskan?...
..."Dhanaa724"...
...🍁💦🍁...
.
To be continued