Lima tahun lalu, Liliane Lakovelli kehilangan segalanya ketika Kian Marchetti—pria yang dicintainya—menembak mati ayahnya. Dikhianati, ia melarikan diri ke Jepang, mengganti identitas, dan diam-diam membesarkan putra mereka, Kin.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali. Kian tak menyadari bahwa wanita di balik restoran Italia yang menarik perhatiannya adalah Liliane. Namun, pertemuan mereka bukan hanya tentang cinta yang tersisa, tetapi juga dendam dan rahasia kelam yang belum terungkap.
Saat kebenaran terkuak, masa lalu menuntut balas. Di antara cinta dan bahaya, Kian dan Liliane harus memilih: saling menghancurkan atau bertahan bersama dalam permainan yang bisa membinasakan mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caesarikai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Perhatian
"Hai, Piccolo ..." sapa Kian pada Kin dengan senyuman hangat.
Mendengar suara Kian, Kin yang tadinya hampir tertidur, kembali bangun. Kedua matanya mengedar, dan menemukan Kian yang berdiri di samping kasurnya seraya menatapnya teduh.
"Seorang superhero tidak pernah terlihat lemah di depan semua orang, karena dia adalah sumber kekuatan bagi orang-orang di sekitarnya. Bagaimana menurutmu, Piccolo? Apakah kau ingin segera sembuh dan kembali menjadi superhero untukku, Mommy, dan keluarga yang lain?" tanya Kian pada Kin seraya mengusap lembut kepala Kin dengan sayang.
Kin menganggukkan kepalanya. Bibir pucatnya menyunggingkan senyum tipis.
Kian mengambil kotak makan yang diserahkan oleh Ashley padanya. Tadi dia tidak sempat memasak makanan untuk Kian, sehingga dia membelinya di sebuah restoran khas Italia yang menyediakannya. "Good boy. Aku membawakan pastina brodo di pollo. Ini adalah sup ayam yang dilengkapi dengan pasta kecil. Kau sudah pernah mencobanya?"
Kin terlihat menggelengkan kepalanya, dan Kian pun tersenyum. "Ingin mencobanya denganku?" tanya Kian lagi.
Setelah itu, Kin mengangguk. Liliane yang melihat itu langsung tersenyum lega. Dia mendekati ranjang Kin, membantu mengatur kasur anaknya agar bisa lebih tegak.
Kian juga segera membantu menyuapi Kin makan. Meskipun makanan yang masuk hanya beberapa suap, tetapi Kian tidak memaksakan Kin untuk makan lebih banyak. Kian tahu, lidah Kin pasti pahit rasanya saat ini.
"Tidak perlu dipaksa, Piccolo. Kau bisa memakannya lagi nanti. Sekarang kau boleh istirahat kembali, seorang superhero juga butuh mengistirahatkan badannya untuk mengisi tenaganya lagi." Ucap Kian yang diangguki oleh Kin.
"Paman Kian jangan pergi lagi," pinta Kin yang disetujui oleh Kian.
Pria asal Italia itu menganggukkan kepalanya. "Aku akan tetap di sini." Ucapnya dengan tangan yang tetap berada dalam genggaman Kin.
Liliane masih di sana, menunggu di samping kasur Kin. Sesekali dia melihat ayah dan anak itu yang sialnya mirip. Liliane mungkin hanya mewarisi sebagian gen, tetapi Kian lebih mendominasi wajah Kin, bahkan mungkin hingga sifat-sifatnya.
"Kau hanya akan berdiri di sana?" tanya Kian pada Liliane saat melihat wanita muda itu hanya diam sejak tadi.
"Hm?" Liliane bergumam bingung, tidak tahu harus merespon apa pada pertanyaan Kian yang tiba-tiba.
Kian menepuk bagian kasur Kin yang masih kosong. "Duduklah. Kau sudah bekerja keras sejak semalam."
Lalu, entah mengapa Liliane menuruti ucapan Kian. Ia duduk di bagian yang ditepuk oleh Kian sebelumnya. Namun, pandangannya tak terlepas dari Kin yang sudah jatuh tertidur lelap.
Kian memperhatikan Liliane dalam diam. Dia juga menyadari bibir bawah Liliane yang terluka. Rupanya kebiasaan wanita di hadapannya ini tidaklah berubah. Sejak dulu hingga saat ini, sepertinya Liliane memang suka mengigit bibir bawahnya saat merasa cemas.
Kemudian Kian menoleh pada Ashley, meminta sekretarisnya itu untuk mendekat. Ia berbisik lirih. "Bawakan salep luka untukku."
Setelahnya, Ashley pun segera pergi untuk mencari barang yang diminta Kian. Sementara itu perhatian Kian kembali pada Liliane dan Kin.
"Apakah kau kesulitan saat mengandung dan melahirkannya?" tanya Kian secara tiba-tiba.
Liliane sempat terkejut, dia melirik pada Kian yang ternyata sedang menatap Kin. "Tidak. Dia anak yang penurut."
"Sungguh?" tanya Kian sedikit ragu. Kali ini dia terang-terangan menatap wajah Liliane dari samping.
Liliane yang sadar ditatap oleh Kian menjadi sedikit menegang. Perasaan canggung dan familiar seakan mengelilinginya. "Ya. Kin tak pernah merepotkanku."
"Glad to hear that, Liliane. Kuharap memang seperti itu." Ujar Kian.
"Bagaimana rasanya ketika pertama kali kau mendengar suara tangisnya?" Kian kembali bertanya sampai membuat Liliane heran. Mengapa Kian yang sekarang menjadi sangat cerewet?
"Aku ... Tentu saja bahagia. Dia satu-satunya keluarga dekat yang kumiliki, selain Jiisan dan Obaasan."
Jawaban Liliane membuat Kian terdiam. Rasa bersalah merayapi hatinya. Andai dia dapat mengulang kembali waktu yang sudah berlalu. Tetapi semua perandaian itu hanyalah perandaian semata, ia tak bisa mengubah apapun.
"Aku akan berusaha untuk berada di dekatnya, itu pun ... Jika kau mengizinkan aku." Ucap Kian dengan serius. Dia tidak ingin memaksakan kehendak Liliane, sekalipun Kin juga anaknya. Namun, Kian cukup sadar diri, selama ini yang merawat dan membesarkan Kin adalah Liliane ... Wanita itu tentu lebih berhak atas hidup Kin.
Liliane nampak terdiam. Dia tak tahu harus memberikan jawaban apa.
Tanpa mereka sadari, sejak tadi Takeshi, Hana dan Ryuu pergi dari ruang kamar Kin, karena ingin memberikan space tersendiri untuk keluarga kecil itu. Ryuu sendiri sebenarnya tidak ingin pergi dari sana, tapi Takeshi memaksanya, sehingga mau tak mau ia menurutinya.
Kedatangan Ashley menyelamatkan Liliane dari pertanyaan Kian. Ashley memberikan sebuah paperbag yang berisi pesanan tuannya. "Ini, Signore."
"Terimakasih," ucap Kian yang diangguki oleh Ashley, kemudian sekretaris Kian itu segera pergi dari sana.
Kian membuka paperbag tersebut dan memberikan isinya pada Liliane. "Obati dulu bibirmu. Kalau tidak, kau akan kesusahan makan karena bengkak."
Liliane menerimanya. Hatinya berdesir, perasaan familiar selalu hadir apabila berada di dekat Kian, padahal dia selalu menekan perasaannya agar tidak berlebihan. Kian adalah Kian, seorang mafia brengsek yang membunuh ayahnya di depan matanya sendiri. Kisah tragis itu akan selalu ia kenang.
"Terimakasih." Ucap Liliane seadanya dan Kian pun mengangguk.
Setelah itu, Liliane pergi ke kamar mandi untuk mengoleskan salep luka pada bibirnya. Rasa perih menjalar, namun Liliane harus menahannya. Dia tidak boleh menangis, meski Liliane tak memungkiri bahwa ia sangat cengeng.
Saat kembali lagi, Liliane sudah mendapati Kian yang tertidur di samping Kin. Wajahnya amat damai, tak ada sorot mata tegas yang mengintimidasi seperti biasanya. Yang ada hanyalah raut lelah yang tercetak cukup jelas. Mungkin bagi orang lain, mereka tak akan melihat wajah Kian yang lelah. Namun, Liliane yang pernah bersama pria itu tentu tahu wajah ketika Kian merasa lelah dan penat dengan keadaannya.
"Kau selalu seperti ini," ucap Liliane dengan lirih agar Kian tak mendengarnya. Jemarinya hampir menyentuh alis tebal Kian untuk dielus lembut agar Kian semakin terlelap seperti saat dahulu. Namun, hal itu segera ia urungkan karena takut Kian justru terbangun.[]
...****************...
klo Golda ayah O dan ibu O, maka anaknya pasti O
seruny......
nyesel klo g baca karya ini