Seorang siswa SMA yang bernama Revan Abigail adalah siswa yang pendiam dan lemah ternyata Revan adalah reinkarnasi seorang Atlet MMA yang bernama Zaine Leonhart yang ingin balas dendam kepada Presdirnya.
Siapakah Zaine Leonhart yang sebenarnya? mengapa Zaine melakukan Reinkarnasi? Rahasia kelam apa yang disembunyikan Presdir itu?
Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lynnshaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 - ROBERT MARVOLO
Revan membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, dan tubuhnya terasa berat. Saat ia mencoba duduk, rasa nyeri menjalar di sekujur tubuhnya.
"Kau akhirnya bangun."
Suara lembut itu berasal dari ibunya, yang duduk di tepi tempat tidur dengan ekspresi khawatir. Mata wanita itu sedikit sembab, seolah habis menangis.
"Revan… kau membuat Ibu khawatir," katanya, mengusap dahi anaknya dengan lembut. "Kau menghilang selama dua hari. Kau tahu betapa paniknya kami?"
Sebelum Revan bisa menjawab, suara berat ayahnya terdengar dari pintu.
"Bangun saja sudah langsung dimanja," kata pria itu dengan nada dingin. "Kau pikir bisa bolos sekolah dua hari begitu saja?"
Revan menelan ludah. Kepalanya masih berdenyut, dan pikirannya kacau. Dua hari? Berarti sejak pertarungan di gudang, ia benar-benar tidak sadarkan diri sampai sekarang.
"Aku—"
"Tidak ada alasan," potong ayahnya tajam. "Apa pun yang kau lakukan di luar sana, kau masih punya tanggung jawab. Kau masih pelajar."
"Ia butuh istirahat!" protes ibunya, menatap suaminya tajam. "Kau tidak lihat keadaannya?"
Revan diam. Kepalanya masih mencoba memahami semuanya—bagaimana ia bisa sampai di sini? Apakah Riko atau Emma yang membawanya pulang? Dan… apakah semuanya benar-benar sudah berakhir?
Ayahnya mendesah, lalu berjalan mendekat. "Aku tidak peduli apa yang terjadi di luar sana. Mulai besok, kau kembali ke sekolah. Mengerti?"
Revan hanya bisa mengangguk pelan.
Namun, di dalam pikirannya, ia tahu bahwa kembali ke kehidupan biasa… mungkin bukan lagi sebuah pilihan.
Revan terdiam mendengar ocehan ayahnya. Kepalanya masih berat, dan tubuhnya terasa nyeri di beberapa bagian. Dua hari…? Jadi selama ini dia tidak sadar sejak ledakan itu?
Ibunya duduk di tepi tempat tidur, meletakkan tangan di bahunya dengan lembut. "Revan, kamu baik-baik saja? Kau demam tinggi kemarin. Untung ada pria itu yang membawamu pulang…"
Revan menegakkan tubuhnya. "Pria?"
"Iya," ibunya mengangguk. "Dia cukup tinggi, berambut pendek. Tampak lebih tua darimu. Dia bilang kau kecapekan dan perlu istirahat."
Mata Revan melebar. Riko?
"Apa dia bilang sesuatu lagi?" tanyanya buru-buru.
Ibunya menggeleng. "Tidak banyak. Tapi dia tampak… sedih."
Revan menelan ludah. Ada banyak hal yang harus dia cerna—tentang Zaine, Darius, dan eksperimen gila itu. Dan sekarang, Riko… Apakah pria itu baik-baik saja setelah semua yang terjadi?
Saat itulah, sesuatu bergetar di sakunya. Revan mengeluarkan sebuah perangkat kecil—bukan ponselnya, tapi sesuatu yang tidak dia ingat pernah dia bawa. Layarnya menyala, hanya ada satu pesan yang tertera:
"Kau belum melihat semuanya. Aku akan menunggumu di tempat terakhir kita bertemu. -R."
Jantung Revan berdegup kencang.
Pertarungan ini… belum berakhir.
Revan menatap pesan itu lama, pikirannya berputar. Tempat terakhir mereka bertemu… gudang tempat Zaine dilepaskan?
Dia menghela napas dalam-dalam. Bagaimanapun juga, dia harus pergi. Tapi bagaimana caranya?
Ayahnya masih berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan ekspresi tajam. "Kau dengar aku, Revan? Mulai hari ini, tidak ada lagi keluyuran! Kau sudah cukup buat masalah."
Revan mengepalkan tangannya. Jika dia langsung pergi sekarang, ayahnya pasti akan curiga. Dia harus mencari cara lain.
Ibunya, yang masih duduk di tepi ranjang, menatapnya dengan lembut. "Kalau kau butuh sesuatu, jangan ragu bilang pada Ibu, ya?"
Revan mengangguk, mencoba tersenyum tipis. "Aku hanya butuh istirahat sebentar lagi."
Ayahnya mendengus, tapi akhirnya keluar dari kamar, diikuti ibunya. Begitu pintu tertutup, Revan langsung bangkit. Badannya masih terasa berat, tapi dia memaksakan diri. Dia harus menemui Riko.
Dia membuka jendela, menatap ke luar. Rumahnya ada di lantai dua, tapi itu bukan masalah besar. Dia pernah melompat dari pagar sekolah yang lebih tinggi dari ini.
Tanpa pikir panjang, dia mengambil tas kecil, memasukkan jaket dan beberapa barang penting, lalu memanjat keluar. Dengan satu tarikan napas, dia melompat turun, mendarat dengan sedikit goyah.
Saat dia menegakkan tubuhnya, dia tidak menyadari bahwa ada seseorang yang memperhatikannya dari kejauhan—seseorang yang mengenakan jas hitam dan berbicara dalam nada pelan di alat komunikasinya.
"Target sudah bergerak. Instruksi selanjutnya?"
Suara di seberang menjawab dengan dingin.
"Ikuti dia. Pastikan dia tidak sampai ke tujuannya."
Revan, Emma, dan Riko berkumpul namun ada Darius, akan tetapi Darius masih terluka dan lumpuh.
Revan merasa dadanya semakin sesak mendengar kenyataan itu. Robert Marvolo, yang selama ini dikira sudah mati, ternyata masih hidup.
"Jadi… dia ada di luar sana?" gumam Revan.
Emma yang duduk di dekat jendela menatap lurus ke arah Revan. "Kalo Robert masih hidup pastinya dia akan membunuh lu kan?"
Riko menyilangkan tangan. "Gue setuju." Ia menghela napas dalam. "Dia pasti tau sesuatu yang lebih besar sedang terjadi dan aku dengar-dengar Darius melindungi kita secara bayangan."
Revan mengepalkan tangannya. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Kenapa Darius ingin melindungi kita? Apa hubungannya dengan proyek Venari? Dan yang lebih penting, apa langkah selanjutnya?
Setelah mendengar bahwa Robert Marvolo masih hidup dan merupakan dalang di balik semua ini, Revan merasa dadanya semakin sesak. Selama ini, ia mengira Robert adalah sekutu atau setidaknya seseorang yang berniat melindungi mereka. Namun kenyataan yang terungkap justru lebih gelap dari yang ia duga.
Riko berdiri dengan ekspresi tegang. "Jadi, semua ini adalah permainan Robert?" Ia menggelengkan kepala. "Darius… lu selama ini melindungi kami, tapi lu juga bagian dari eksperimen ini. Kenapa?"
Darius menatap mereka dengan senyum lelah. "Aku tidak pernah ingin kalian terlibat. Aku hanya mencoba menebus kesalahanku."
Revan mengepalkan tinjunya. "Dan sekarang? Robert masih ada di luar sana… dan dia pasti tahu bahwa kita sudah mengetahui semuanya."
Tiba-tiba, suara dentingan ponsel Riko memecah keheningan. Sebuah pesan masuk.
Revan merasakan bulu kuduknya berdiri.
Pertarungan ini belum selesai.
Revan menelan ludah saat membaca pesan itu. Ada sesuatu dalam kata-kata Robert yang membuatnya merinding—seolah ancaman itu bukan sekadar gertakan.
Riko membaca pesan yang sama dan mendecak kesal. "Brngs*k. Dia bahkan tidak berusaha menyembunyikan niatnya."
Emma yang duduk di sudut ruangan tampak gelisah. "Kalo dia mengirimi kita pesan seperti ini, berarti dia sudah siap dengan langkah berikutnya."
Darius tersenyum miris. "Aku nggak akan terkejut jika saat ini Robert sudah mengawasi kita."
Revan menoleh ke jendela kamar tidurnya, tiba-tiba merasa diawasi. "Jadi, apa langkah kita sekarang?"
Darius terdiam sejenak, lalu berkata, "Kita harus menyerang lebih dulu sebelum dia menyerang kita."
Riko mengerutkan dahi. "Maksud lu…? Kita mencari Robert?"
Darius mengangguk. "Dan kita mengakhiri ini sebelum dia mengakhiri kita."
Revan menarik napas dalam-dalam. "Lalu… kemana kita bisa menemukan Robert?"
Darius menyeringai. "Aku punya tebakan yang cukup bagus."
Dan dengan itu, perburuan mereka terhadap Robert Marvolo pun dimulai.
Malam itu, Revan, Riko, Emma, dan Darius berkumpul di sebuah gudang tua yang tersembunyi di pinggiran kota. Peta digital terpampang di layar laptop Emma, memperlihatkan lokasi yang diduga sebagai markas Robert Marvolo.
"Tempat ini dulunya laboratorium rahasia," jelas Darius. "Tapi setelah insiden yang melibatkan Zaine, tempat itu ditinggalkan. Setidaknya, itulah yang mereka ingin kita percaya."
Emma mengetik cepat, mengakses kamera lalu lintas terdekat. "Gue menemukan aktivitas mencurigakan di sekitar gedung ini. Beberapa pria bersenjata terlihat keluar masuk sejak seminggu yang lalu."
Riko menyilangkan tangan. "Jadi kita punya target. Pertanyaannya, bagaimana kita masuk tanpa menjadi target mereka?"
Darius tersenyum tipis. "Itulah bagian menariknya. Kita tidak akan menyelinap."
Revan mengernyit. "Jadi?"
"Kita akan menyerang langsung," kata Darius santai.
Emma menatapnya seolah dia gila. "Lu ingin kita menghadapi mereka secara frontal? Itu bunuh diri!"
Darius menggeleng. "Tidak jika kita membuat kekacauan dari dalam terlebih dahulu. Jika kita bisa memicu sistem keamanan mereka untuk bereaksi berlebihan, mereka akan sibuk menghadapi ancaman yang mereka kira lebih besar dari kita."
Revan mulai memahami maksudnya. "Lu ingin membuat mereka panik sebelum kita masuk?"
"Tepat," jawab Darius. "Dan aku tahu cara melakukannya."
Beberapa jam kemudian, mereka sudah berada di dekat gedung target. Riko dan Emma bersembunyi di sebuah bangunan kosong di seberang jalan, mengawasi situasi.
Darius, yang berdiri di samping Revan, menyerahkan sebuah perangkat kecil kepadanya. "Ini pemancar frekuensi tinggi. Begitu kau aktifkan, sistem keamanan mereka akan menganggap sedang terjadi peretasan besar-besaran. Itu akan memaksa mereka menutup seluruh sistem sementara."
Revan mengangguk dan menekan tombol. Dalam hitungan detik, lampu-lampu di sekitar gedung mulai berkedip, tanda sistem mulai kacau. Dari kejauhan, terdengar suara alarm berbunyi.
"Bagus," kata Darius. "Sekarang kita bergerak."
Mereka berdua menyelinap masuk ke dalam gedung sementara para penjaga sibuk mencari sumber gangguan. Saat mereka masuk ke dalam, suara langkah kaki tergesa-gesa menggema di koridor.
"Kita harus cepat," bisik Revan.
Mereka bergegas menuju ruang kontrol utama, tempat mereka berharap menemukan keberadaan Robert Marvolo.
Namun, saat mereka membuka pintu, seseorang sudah menunggu di dalam.
Seorang pria dengan jas hitam, duduk dengan santai di kursi, menatap mereka dengan senyum penuh arti.
"Sudah kuduga kalian akan datang," kata pria itu dengan suara tenang namun mengancam.
Robert Marvolo.
Darius duduk di kursi roda karena dia lumpuh akibat kejadian itu dan Revan membawa Pistol
"Tenang dulu," katanya. "Kalian datang sejauh ini. Setidaknya dengarkan apa yang harus kukatakan sebelum kita mulai saling bunuh."
Revan mengepalkan tinjunya. "Nggak ada yang perlu didengar dari seorang pengkhianat."
Robert terkekeh. "Oh, Revan… Aku bukan pengkhianat. Aku hanya melanjutkan apa yang sudah dimulai sejak lama."
Darius menatap Robert dengan kebencian. "Omong kosong. Kau yang menghancurkan semuanya. Kau yang membuat Zaine mati."
Robert menggeleng pelan. "Zaine mati bukan karena aku. Dia mati karena dibunuh oleh pembunuh bayaranku."
Emma, yang mendengar percakapan dari alat komunikasi mereka, berbisik ke Riko, "Kita harus masuk. Jika tidak, mereka akan dijebak."
Riko mengangguk. "Ayo."
Sementara itu, di dalam ruangan, Revan merasakan ketegangan di udara. Dia tahu, pertempuran ini tidak bisa dihindari.
Robert menyeringai. "Baiklah, jika kalian tidak mau bicara… mari kita lihat siapa yang pantas bertahan."
Dengan satu gerakan cepat, Robert menekan tombol di lengannya.
Dan seketika, lantai di bawah mereka berguncang.
"Selamat datang di babak akhir."
Robert Marvolo mundur beberapa langkah setelah menerima pukulan Revan. Ia menyeka darah di sudut bibirnya dan menyeringai.
"Menarik... sangat menarik," katanya, suaranya tetap tenang meski jelas merasakan dampak pertarungan.
Sementara itu, Darius yang duduk di kursi roda hanya bisa mengamati dengan ekspresi rumit. Ia sudah tidak bisa ikut bertarung—tubuhnya lumpuh akibat eksperimen yang gagal, namun pikirannya masih tajam.
Emma melirik ke arah Darius, lalu kembali fokus pada perangkatnya. "Gue udah atur sistem gedung ini. Kalau Robert tidak mundur sekarang, kita semua bisa mati bersama."
Robert tertawa kecil. "Kau pikir aku takut mati?"
"Kalo gitu, ayo kita coba," jawab Riko dingin. Ia mengangkat senjata, bersiap menembak kapan saja.
Robert menyipitkan mata, lalu melihat sekeliling. Ia tahu bahwa kondisi saat ini tidak menguntungkan baginya. Dengan Darius yang lumpuh, dan eksperimen Zaine yang sudah gagal, proyeknya tidak bisa berjalan sesuai rencana.
Namun, ia bukan tipe orang yang menyerah begitu saja.
"Baiklah," katanya, melangkah mundur. "Kita akan bertemu lagi, Revan. Dan saat itu tiba, kau akan memahami siapa dirimu sebenarnya."
Seketika, ia menekan sesuatu di tangannya—sebuah tombol kecil.
Ledakan kecil terjadi di sudut ruangan, menimbulkan kepulan asap tebal yang memenuhi area itu.
"Dia kabur!" seru Riko.
Revan mencoba menerobos asap untuk mengejar Robert, tapi saat asap mulai menghilang, pria itu sudah tidak terlihat.
Emma menggertakkan gigi. "Dia pasti sudah menyiapkan jalur pelarian sebelumnya."
Revan mengepalkan tinjunya, merasakan frustrasi yang mendalam. Ini belum berakhir.
Darius, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. "Kalian harus pergi sekarang."
Riko menoleh dengan tatapan curiga. "Kenapa? Lu masih ada di pihak siapa, Darius?"
Darius menarik napas dalam. "Aku sudah gagal dalam banyak hal... Tapi aku tidak akan membiarkan Robert menang."
Emma memperhatikan kursi roda Darius. Ada sesuatu yang berbeda—lampu kecil di bagian bawahnya berkedip merah.
"Dia mengaktifkan penghancuran gedung ini," kata Emma dengan nada serius.
Revan terkejut. "Apa?"
Darius mengangguk. "Aku tidak bisa ikut pergi. Tapi kalian bisa. Jika kalian ingin menang melawan Robert, kalian harus hidup dulu."
Riko terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Baik. Kita pergi sekarang."
Revan menatap Darius untuk terakhir kalinya. Meski mereka pernah menjadi musuh, ada sesuatu dalam tatapan Darius kali ini yang terasa berbeda—seperti seseorang yang telah menerima akhir dari jalannya sendiri.
Tanpa membuang waktu lagi, mereka semua berlari keluar dari fasilitas itu.
Saat mereka berhasil mencapai luar gedung, ledakan besar terjadi di belakang mereka. Api membubung tinggi ke langit malam.
Darius telah mengorbankan dirinya.
Revan menatap api yang berkobar, merasakan campuran perasaan di dalam dadanya. Ini belum berakhir. Robert masih hidup di luar sana.
Dan perang ini baru saja dimulai.