Bunga itu telah layu sejak lama, menyisakan kelopak hitam yang berjatuhan, seperti itulah hidup Hanna Alaya Zahira saat ini, layu dan gelap.Hanna adalah seorang sekretaris yang merangkap menjadi pemuas nafsu bosnya, mengantungi pundi-pundi uang dalam rekeningnya, namun bukan tanpa tujuan dia melakukan itu. Sebuah rahasia besar di simpan bertahun-tahun. Pembalasan dendam.. Edgar Emilio Bastian bos yang dia anggap sebagai jembatan mencapai tujuannya menjadikannya simpanan dibalik name tag sekretarisnya, membuat jalannya semakin mulus. Namun, di detik-detik terakhir pembalasan dendam itu dia justru terjerat semakin dalam pada pria itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seperti Magnet
Hanna menghela nafasnya lega saat kegiatan panas penuh kenikmatan antara dia dan Edgar sudah berakhir. Di belakangnya Edgar masih mendekap dengan posesif.
Hanna menggeliat hendak bangun, namun Edgar masih menahannya.
"Aku harus ambil mobilku di klub," ucap Hanna memberi alasan. Saat pergi ke klub Hanna menggunakan mobilnya, dan pulang dengan menggunakan mobil Edgar. Tentu saja karena pria itu memaksanya.
"Aku akan suruh Dani mengambilnya." Dan itu artinya Hanna harus tetap diam.
Hanna terdiam tak ingin bicara. Dia masih di lingkupi rasa kesal sebab Edgar tak menjawab pertanyaanya.
"Nikmat mana aku atau istrimu?"
Pria itu tak menjawab dan hanya membungkam mulutnya dengan ciuman intens, hingga Hanna tak bisa lagi bertanya.
Dan sekarang saat dia ingin pergi Edgar masih mencegahnya.
Bukan, bukan karena cemburu. Hanna hanya kesal karena sepertinya Edgar memang belum berencana untuk membuat hubungan mereka serius. Sedangkan Hanna membutuhkan Edgar segera untuk mencapai tujuannya.
Hanna harus berpikir agar Edgar benar-benar tak mau kehilangannya, lalu menikahinya. Setelah itu barulah dia bisa membuat Siska merasakan akibat perbuatannya.
Tapi jika Edgar tak juga memberi kepastian Hanna tak bisa berbuat apapun. Dan dia harus memikirkan cara lain.
"Bekas luka apa ini?" lamunan Hanna terhenti saat Edgar mengusap punggungnya.
Hanna membeku sesaat, ketika Edgar meraba punggungnya.
Hanna menarik sudut bibirnya, sedangkan tatapannya menjadi kosong.
"Itu luka yang aku dapatkan 12 tahun lalu."
Edgar masih menelusuri punggung putih Hanna, jika itu 12 tahun lalu bukankah saat itu usia Hanna baru 10 tahun?
"Sesakit apa?"
"Bayangkan saja. Sudah 12 tahun tapi nodanya masih membekas?" meski samar, Hanna yakin Edgar bisa melihatnya. Karena kulit Hanna yang putih, tentu saja goresan itu nampak terlihat dengan garis- garis panjang, seperti bekas cambukkan.
Edgar mengerutkan keningnya.
Sangat sakit, itu pasti. Gadis berusia 10 tahun harus di cambuk pasti menyakitkan.
"Saat itu usia kamu 10 tahun?"
"Hm."
"Seusia Naomi."
Hanna hanya tersenyum, lalu memejamkan matanya. Bayangan kesakitan itu tidak akan pernah hilang dari benaknya. Bahkan hingga kini dia harus terjerumus pada lubang hitam ini.
Edgar mengusapi lengan Hanna hingga dia mendengar nafas Hanna mulai teratur. Barulah dia bangkit perlahan agar tak membangunkan Hanna.
Edgar berjalan ke arah lemari lalu mengambil sebuah handuk untuk melindungi bagian tubuh sensitifnya lalu berjalan ke arah jendela setelah mengambil ponselnya dia meja.
Menungu beberapa saat, Edgar segera mendengar suara Dani di seberang sana.
"Hallo, Pak?" Terdengar suara Dani yang serak. Mungkin pria itu terganggu dari tidurnya.
"Dani, ambil mobil Hanna di klub Mami Popi." Terdengar suara Dani sedikit mengeluh. "Kamu mengeluh?"
"Tidak, Pak. Saya akan melakukannya."
"Hm ... satu lagi," ucap Edgar. Pria itu menoleh dan melihat ke arah Hanna yang sudah benar-benar terlelap. "Cari tahu tentang asal usul Hanna."
"Baik Pak." Edgar mematikan teleponnya, lalu menuang minuman di dalam botol ke dalam gelas dan meneguknya.
"Apa yang kamu inginkan dariku, Hanna." tatapan Edgar tak lepas dari Hanna, sekali lagi dia meneguk minumannya, lalu berjalan ke arah ranjang dan membaringkan kembali tubuhnya.
"Anak tidak tahu diri. Sudah bagus aku tidak membuat Rengga membuangmu. Beraninya kamu mengadu padanya!"
Perkataan itu terus di iringi cambukan dari sabuk berbahan kulit dengan ujung dari besi.
"Ampun, ampuni aku!"
Berkali-kali benda itu menghantam punggung gadis kecil berusia 10 tahun yang di paksa terus berjongkok seperti anjing, meski tubuhnya sudah tak kuat menopang, karena rasa sakit akibat cambukan tersebut.
"Aku tidak peduli, meski kamu mati sekalipun. Kalau kamu berani bicara tentang ini pada Rengga, akan aku buat kamu menderita bahkan di dalam kubur sekalipun!"
Hanna terbangun dengan nafas terengah. Keringat mengucur dari dahinya di sertai seluruh tubuhnya yang terasa lemas, seolah dia baru saja berlari maraton.
Edgar mengeryit dan menatap Hanna. "Kenapa?" Hanna menoleh dan menggeleng.
"Aku mau ke kamar mandi." Hanna bangkit, namun saat akan berjalan kakinya terhunyung dan hampir jatuh andai dia tak berpegangan pada tepi ranjang.
Kakinya masih lemas, bayangan mimpi itu terasa nyata bahkan dia seperti merasa sakit di sekujur tubuhnya.
Hanna kembali berdiri dan berjalan dengan cepat ke arah kamar mandi.
Edgar masih menatap punggung Hanna yang tertelan pintu kamar mandi, matanya menatap dengan tenang. Namun dia juga semakin penasaran dengan Hanna. Apa sebenarnya yang terjadi pada Hanna.
Bahkan dalam tidurnya gadis itu terus bergumam "Ampuni aku... ampuni aku." Tapi melihat Hanna yang berdiri meski gemetar Edgar tahu Hanna wanita yang kuat.
Edgar masih menunggu Hanna keluar dari kamar mandi sambil bermain ponselnya. Tentu saja bukan hanya bermain, pria itu tetap bekerja di sela- sela waktunya.
Saat ini ponsel Edgar berdering dan menunjukkan nama Siska disana.
Edgar menghela nafasnya malas lalu menerima panggilan tersebut.
"Naomi bilang kamu tidak pulang tadi malam, kemana lagi, kamu?" Baru saja menerima panggilan tersebut Edgar mendengar suara Siska yang menggebu.
"Kenapa?" malas menanggapi Edgar memilih bertanya niat Siska menghubunginya.
"Hari ini kamu jemput Naomi pulang!"
"Kamu sendiri?"
"Aku lagi ke puncak sama temen-temen."
"Aku sibuk bekerja, dan kamu sibuk bermain?" desis Edgar.
"Kalau gitu suruh aja sekretaris kamu atau si Dani. Aku gak peduli."
Edgar mendengus. "Lagi pula apa yang kamu pedulikan, Siska?"
"Sudahlah Ed. Gak usah ngajak debat ..." Edgar mematikan teleponnya tak peduli lagi ucapan Siska, karena pastinya akan berakhir pertengkaran.
Mendengar ucapan Siska membuat moodnya pagi ini jelek. Wanita itu tak peduli hal lain kecuali kesenangannya sendiri. Edgar bahkan tidak tahan bahkan hanya untuk bercinta saja dengan Siska. Terakhir kali Siska menggodanya, namun tetap saja dia tak bisa menaikan libidonya meski sudah mencoba mencumbu Siska. Dalam bayangannya hanya rasa jijik sebab tahu tubuh Siska sudah banyak di jamah oleh pria lain.
Edgar mengakui jika dirinya bukan orang suci, buktinya dia memiliki simpanan sekarang. Maka dari itu Edgar tetap bertahan dengan keluarganya dengan alasan Naomi mungkin akan terluka jika mereka bercerai.
Namun sejak tahu perselingkuhan Siska, Edgar menjadi tak bernafsu bercinta dengan Siska. Hal itu dia ketahui sejak usia Naomi dua tahun, hingga sekarang Edgar tahu tabiat istrinya itu terus berjalan, dan hingga sekarang pula Edgar tak bisa bercinta dengan Siska, meski sudah bercumbu, Edgar tetap tak bisa bergairah. Edgar kerap melakukannya dengan wanita lain, wanita-wanita panggilan yang dia sewa, namun tetap saja dia tak bisa menuntaskan hasratnya. Hingga Edgar melihat Hanna malam itu. Sesuatu dalam dirinya melonjak drastis seperti terbakar dan ingin memiliki Hanna saat itu juga.
Sejak itu Edgar selalu mengawasi Siska, bahkan hanya untuk alasan perkumpulan arisan, mereka selalu menyewa brondong untuk menemani bahkan berpesta seks.
Siska dan perkumpulannya tak ada yang beres. Mau itu arisan atau perkumpulan sesama model.
Edgar menoleh saat Hanna keluar dengan handuk membalut tubuhnya. "Aku pakai baju apa?"
Edgar menaikan alisnya. "Siapa suruh semalam hanya pakai baju begitu." Edgar menunjuk baju press body bekas menari Hanna yang masih teronggok di lantai.
Hanna mencebik. "Disini gak ada pakaian?" Hanna membuka satu lemari dan isinya hanya kemeja pria, lengkap dengan jas dan celana formal.
Edgar terkekeh. "Buka lemari satunya lagi," ucap Edgar pada Hanna.
Hanna berjalan ke arah lemari satu lagi. Lemari tak kalah besar dari lemari sebelumnya.
Hanna membulatkan matanya saat melihat isi di dalamnya adalah pakaian wanita, sepatu, bahkan tas.
Hanna memicingkan matanya "Aku gak mau pakai punya istri kamu."
Edgar berjalan mendekat dan memeluk Hanna. "Itu semua untukmu," ucapnya dengan mengecup leher Hanna yang basah.
Lihatlah, saat Edgar bersama Hanna, dia seolah memiliki magnet yang membuat Edgar tak bisa lepas darinya.
....
Ada kesalahan di awal- awal tentang masa lalu Hanna yang harusnya 12 tahun lalu, aku tulis 15 tahun. Maaf aku lupa hitung usia Hanna yang sekarang 22 tahun, dan saat itu usia Hanna 10 tahun. Sudah aku revisi kok🙏