Nabila Althafunisa tiba-tiba saja harus menikah dengan seorang pria bernama Dzaki Elrumi Adyatama, seorang pria yang usianya 10 tahun lebih muda darinya yang masih berstatus mahasiswa di usianya yang sudah menginjak 25 tahun. Dzaki tiba-tiba saja ada di kamar hotel yang Nabila tempati saat Nabila menghadiri pernikahan sahabatnya yang diadakan di hotel tersebut.
Anehnya, saat mereka akan dinikahkan, Dzaki sama sekali tidak keberatan, ia malah terlihat senang harus menikahi Nabila. Padahal wanita yang akan dinikahinya itu adalah seorang janda yang memiliki satu putra yang baru saja menjadi mahasiswa sama seperti dirinya.
Siapakah Dzaki sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Di Rumah Nabila
Nabila mengangguk sedih.
"Tapi kenapa, Yang? Hazel pasti seneng aku jadi ayah sambungnya dia. Lagian dia udah besar. Dia pasti nyerahin semua keputusan sama kamu. Aku gak mau, Yang. Aku mau ketemu kamu tiap hari. Kamu gak tahu sepuluh tahun hidup aku gak ada kamu tuh kayak gimana? Udah cukup, Yang. Aku pengen kamu ada terus di samping aku," rajuknya. Dzaki benar-benar tidak setuju dengan ide itu. Ia ingin setelah pulang ke Jakarta, mereka akan tetap seperti ini, bertemu kapan pun ia mau.
Nabila tersenyum gemas. “Cuma sementara, Mas. Aku bakal kasih tahu Hazel pelan-pelan biar dia gak kaget sama pernikahan kita ini. Aku mohon Mas ngertiin ya posisi aku. Dan kita masih bisa ketemu, kok. Cuma belum tinggal bareng aja."
Dzaki tak punya pilihan lain jika Nabila bersih kukuh seperti itu. Ia pun ikut keputusan sang istri.
Keesokan harinya mereka bertolak menuju Jakarta. Dzaki mengantarkan Nabila sampai depan rumah dengan mobilnya yang dikendarai oleh supir keluarganya.
“Ini rumah aku, Mas." Nabila memperlihatkan rumah dua lantainya yang tidak terlalu besar namun cukup nyaman. Di halaman terdapat taman kecil dan juga carport.
“Gak banyak berubah, sama kayak terakhir aku ke sini. Rumahnya kayak kamu, terkesan simple dan nyaman,” komentar Dzaki.
“Ini peninggalan dari mantan suamiku.” Nabila menatap rumah itu.
“Kamu masih keinget sama dia?” Dzaki sedikit cemberut.
“Mas, udah aku bilang, almarhum Mas Hadi itu sangat aku hormati. Karena dia yang udah bantu keluarga aku ngelewatin segala kesulitan. Aku gak terlalu yakin apa aku ada perasaan kayak gitu sama beliau.” Nabila meraih tangan Dzaki. “Yang jelas sekarang, aku cintanya sama Mas Dzaki.”
Dzaki berdeham menahan senyum. Ia melihat kaca spion dan menatap sang supir ikut tersenyum. “Pak, jangan nguping. Pura-pura gak denger aja!”
Nabila sendiri baru sadar setelah mengatakan itu bahwa mereka tidak berdua saja, ada supir di depan mereka. Seketika wajah Nabila merona merah.
“Gak apa-apa, Bu, Pak, Pak Ujang mah dianggap gak ada aja. Semuanya aman,” celetuk supir pribadi keluarga Dzaki itu.
Nabila yang masih malu-malu pun akhirnya pamit. “Mas, aku turun ya. Sampai ketemu.” Nabila pamit seraya mencium tangan sang suami.
“Bentar, Yang.” Dzaki masih belum ingin berpisah. “Kamu yakin aku gak boleh masuk dulu? Katanya Hazel lagi ada kuliah. Berarti dia gak ada, 'kan?"
“Iya tapi bentar lagi dia pulang, Mas. Dia udah bilang mau cepet pulang pas tahu aku udah di Jakarta. Mas sabar dulu ya, aku bakal kasih tahu Hazel pelan-pelan. Nanti aku akan atur pertemuan Mas sama Hazel, biar dia gak syok.”
Dzaki menghela nafas, ia sedikit kecewa. “Ya udah deh kalau gitu.”
Akhirnya Nabila pun turun dari mobil setelah sekali lagi mencium tangan sang suami dan Dzaki mengecup kening Nabila sebelum mereka berpisah sementara.
Satu minggu pun berlalu.
Hari itu hari Sabtu. Nabila berada di dapur memasak beberapa masakan karena teman-teman baru Hazel di kampusnya akan bermain ke rumah.
Hazel menghampiri sang ibu yang sedang mengolah makanan. “Bunda masak kayak aku mau bawa temen-temen sekampus aja,” komentarnya ketika melihat beberapa macam makanan sudah tersaji di meja makan.
“Gak banyak kok, Nak. Ini buat sepuluh orang, kok. Kamu bilangnya sepuluh 'kan yang mau dateng?” tanya Nabila.
“Bunda selalu deh kalau ada temen aku yang dateng ke rumah, pasti disediain banyak makanan. Nanti mereka jadi nagih dateng ke sini gimana?” Hazel mencomot sebuah ayam goreng dan memakannya.
Tiba-tiba terdengar deru beberapa motor sport yang meraung-raung. “Nah, mereka udah dateng.” Hazel segera berlari menuju depan rumah.
Di dapur Nabila mendengar teman-temennya itu terdengar menaiki lantai dua, di mana kamar Hazel berada. Lalu tak lama Hazel datang ke dapur lagi. “Bun, sekarang aja ya makannya. Di balkon atas aja.” Hazel mulai membawakan beberapa piring ke lantai dua. Begitu juga Nabila membantu sang putra membawakan makanan itu.
Tiba di lantai atas, teman-teman Hazel tersenyum ke arah Nabila dan berterima kasih.
“Makasih, Mbak," ujar salah satu dari mereka sopan.
Terlihat seseorang di antara mereka tertarik saat melihat Nabila. “Masih banyak yang harus dibawain? Aku bantuin ya, Mbak,” ujarnya mengupayakan pendekatan.
“Kebiasaan lo Fan, gak bisa lihat cewek cantik dikit langsung cari kesempatan,” celetuk yang lainnya, disahuti tawa dari teman-temannya yang lain.
Sontak Hazel menegur teman-temannya itu. “Sopan lu pada, ini nyokap gua.”
Mereka semua langsung terkejut dan terdiam. Keadaan menjadi begitu canggung.
Ini bukan pertama kali Nabila mengalaminya, dikira kakak perempuan dari Hazel. “Gak apa-apa, ayo silahkan dimakan. Anggap aja rumah sendiri.”
“Maaf ya, Tante,” ujar Refan yang tadi sempat menggoda Nabila.
Nabila hanya tersenyum mendengar pemuda yang merasa bersalah itu. “Gak apa-apa. Ini udah semua kok jadi gak perlu dibantu. Ditinggal dulu ya.”
Nabila pun membalikan badan dan menuruni tangga. Tiba-tiba pintu kamar mandi yang terletak di sebelah tangga terbuka. Sontak mata Nabila membulat sempurna melihat sosok dengan jaket kulit hitam dan jeans hitam belel robek-robek itu keluar dari kamar mandi.
“Mas Dzaki…” Lirih Nabila terkejut. “Kok ada di sini…”
Dzaki tersenyum gemas melihat sang istri yang terkejut. Kemudian ia menatap ke arah atas, memastikan Hazel dan teman-temannya tidak turun ke lantai bawah.
"Kamar kamu yang mana, Yang?" bisik Dzaki.
"Di-di sana," Nabila menunjuk ke arah sebuah kamar yang terletak dekat dengan ruang tamu dengan suara yang gugup bercampur terkejut.
Segera Dzaki meraih tangan Nabila dan membawanya ke kamar itu. Dzaki pun menutup pintu.
"Yang..." Dzaki memeluk Nabila dengan eratnya. "Aku kangen banget sama kamu."
Nabila membalas pelukan itu dan langsung saja ia merasakan luar biasa bahagia di dalam hatinya. Suami yang satu minggu ini tak ditemuinya, kini ada di disini memeluknya.
"Aku juga kangen sama Mas Dzaki."