Quinevere King Neutron, putri Nathan Ace Neutron bersama dengan Clementine Elouise King, kini sudah tumbuh menjadi seorang gadis dengan kepribadian yang kuat. Tak hanya menjadi putri seorang mantan mafia, tapi ia juga menjadi cucu angkat dari mafia bernama Bone. Hidup yang lebih dari cukup, tak membuatnya sombong, justru ia hidup mandiri dengan menyembunyikan asal usulnya. Quin tak pernah takut apapun karena ia sudah banyak belajar dari pengalaman kedua orang tuanya. Ia tak ingin menjadi pribadi yang lemah, apalagi lemah hanya karena cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pansy Miracle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEGELISAHAN
Hari ini Fox kembali berkutat dengan dokumen-dokumen di hadapannya. Meja kerjanya begitu penuh karena banyak hal yang perlu ia selesaikan, apalagi kini ia adalah pimpinan tertinggi DG Coorp yang dimiliki oleh kakeknya.
Arden Fox Diggory, itulah nama lengkap yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Ia adalah satu-satunya keturunan terakhir yang dimiliki oleh Keluarga Diggory.
15 tahun yang lalu, kedua orang tua Fox, Paul dan Julie, mendirikan sebuah perusahaan. Karena begitu besarnya cinta Paul pada Julie, ia pun memberikan nama Perusahaan itu dengan nama belakang istrinya.
Julie Moonstone, sang Komisaris Perusahaan Moon, sementara Paul hanya menjabat sebagai CEO nya saja. Paul yang menjalankan perusahaan, sementara tugas Julie hanya-lah mengawasi. Perusahaan berkembang dengan sangat pesat, apalagi Paul dan Julie begitu cakap mengelola perusahaan tersebut. Mereka berdua mempersiapkan perusahaan tersebut untuk putra mereka, Arden.
Sahabat Paul, George Bush, pun diangkat menjadi Direktur Operasional. Bertahun-tahun mereka bekerja sama, saling membantu satu sama lain. Hingga pada suatu hari, semua kepemilikan Perusahaan Moon telah berpindah tangan atas nama George Bush, sang Direktur Operasional.
Paul dan Julie yang mendapati kenyataan tersebut tentu saja syok dan mereka berusaha mencari tahu, hingga sebuah kecelakaan menewaskan keduanya, saat mereka akan mengantar Arden kecil ke sekolah. Kecelakaan tersebut dianggap sebuah kelalaian dalam berkendara karena merupakan kecelakaan tunggal.
Fox memejamkan matanya. Ia masih ingat semuanya, bahkan setiap detail kecelakaan yang ia alami, meskipun saat itu ia masih kecil. Bagaimana ia terus berteriak memanggil kedua orang tuanya, bahkan hingga ia menangis, tapi kedua orang tuanya sama sekali tak mendengarnya.
“Dad, Mom, aku pastikan pria itu akan membayar semuanya. Ya … semua yang telah ia lakukan, dia dan seluruh keluarganya,” gumam Fox sambil mengepalkan tangan kanannya.
Sementara itu di tangan kiri, sebuah ponsel masih ia genggam. Sedari tadi, beberapa kali ia menatap ke arah layar ponsel tersebut. Ia ingin menghubungi seseorang, tapi masih terganjal rasa takut jika ia akan membuat orang tersebut nantinya ikut terseret dalam masalah yang ia hadapi saat ini.
Fox membuka laci meja kerjanya. Ia mengambil ponsel lain, kemudian mengetikkan nomor yang sudah sangat ia hafal. Menghela nafasnya sesaat sebelum meletakkan ponsel tersebut di telinganya.
Ia tersenyum tipis saat mendengar bahwa panggilan tersebut tersambung, tapi kekecewaan tercipta di wajahnya ketika tak dijawab. Hingga ia akhirnya mendengar suara yang ia rindukan, setelah mencoba beberapa kali, tanpa menyerah.
Dulu ia berada dekat, bahkan sangat dekat. Namun, ia tak mampu mengutarakan perasaannya. Selain karena wanita itu adalah kekasih sahabatnya, ia juga tak ingin wanita itu ikut masuk dalam pusaran kebencian dan balas dendamnya. Kini, ia senang karena wanita itu kini tak lagi memiliki hubungan dengan salah satu target balas dendamnya.
Kali ini pun Fox sengaja tak mengeluarkan suaranya. Ia hanya ingin mendengar suara wanita yang ia rindukan, meskipun hanya satu kalimat.
“Selamat atas kelulusanmu, Quin,” gumam Fox sesaat setelah sambungan tersebut terputus.
***
Keesokan harinya,
“Quin!”
Quin yang baru saja sampai di universitas dan berniat mengurus beberapa administrasi sebelum dirinya berangkat ke Kota Oxford, di mana ia akan melanjutkan kuliah masternya di Universitas Oxford yang ada di kota tersebut, berdecak saat mendengar namanya dipanggil.
Bukan tak ingin berbicara, tapi ia tahu siapa yang memanggilnya. Quin tentu saja malas dengan drama yang akan dibuat oleh pria bernama Elon Bush. Apa pria itu tak sadar jika dia sudah menikah? Ataukah pria ini ingin memanfaatkan dirinya setelah tahu siapa dirinya?
“Quin, tunggu!” Elon meraih lengan Quin agar mantan kekasihnya itu menghentikan langkahnya.
“Ada apa?” tanya Quin dengan tatapan tenang namun datar. Ia bahkan menjaga jarak dengan Elon. Quin tak ingin orang-orang membuat berita tentang dirinya dan Elon, yang akan berimbas pada pendidikannya, ataupun pada pernikahan Elon.
“Kamu masih marah?” tanya Elon dengan lembut.
Quin tersenyum tipis melihat sikap Elon. Ia semakin tak mengerti dengan pria yang kini berada di hadapannya. Pertanyaan yang keluar dari bibir Elon bahkan memperlihatkan seperti apa pria itu sebenarnya.
“Aku berjanji kali ini akan mengutamakan dirimu dibanding yang lain. Aku juga akan segera menikahimu. Bagaimana?” kata Elon dengan senyum di wajahnya.
Quin benar-benar tak habis pikir. Elon ternyata adalah pria tak tahu diri dan tak tahu malu. Sungguh pria itu tak memiliki akal sehat. Tanpa menjawab pertanyaan Elon, Quin kembali melangkah dan meninggalkan Elon. Ia ingin secepatnya menyelesaikan urusan administrasinya agar tak bertemu kembali dengan Elon.
“Quin! Aku sungguh-sungguh! Aku pastikan kamu akan kembali ke pelukanku!” teriak Elon dengan sangat yakin.
***
“Aku menyetujui keputusanmu agar putri kita bercerai dari Elon,” ungkap Meddy pada suaminya, Andrew
Setelah apa yang terjadi di Mansion Bush, Meddy merasa Anya sama sekali tak menganggapnya sebagai besan ataupun teman. Meskipun kini putrinya tengah berbadan dua, ia tak ragu untuk memisahkan keduanya.
Andrew menghela nafasnya pelan. Awalnya ia hanya menggertak karena emosinya yang tak tertahankan. Namun, setelah ia berpikir, akan terasa tak adil bagi Gisella jika ia sebagai Daddy, menghancurkan pernikahan putrinya sendiri. Hingga Meddy menceritakan apa yang terjadi di Mansion Bush saat istri dan putrinya datang ke sana.
“Baiklah, aku akan mengurus semuanya,” kata Andrew, “Bawalah Gisella ke resort. Ia akan aman di sana.”
“Aku mengerti. Ingatlah, jangan kasihan atau berbaik hati pada mereka.”
“Aku tahu. Aku rela kehilangan semuanya, asal mereka tak menginjak harga diri putriku, apalagi keluargaku. Selain itu ….”
“Tenanglah, aku akan menjaga Gisella dan calon cucu kita dengan baik. Bagaimana pun, ia tak bersalah,” kata Meddy kemudian memeluk suaminya.
Mereka tak tahu apa kesalahan yang telah mereka lakukan hingga hal buruk terjadi pada putri mereka. Namun yang pasti, mereka akan berusaha menata hidup menjadi lebih baik untuk ke depannya, baik untuk Gisella, maupun cucu mereka nantinya.
***
Brakkk
Pintu ruang kerja Fox terbuka dan menampakkan wajah Steve yang tak baik-baik saja. Fox yang tengah membaca dan menandatangani dokumen pun berhenti sesaat.
“Fox!”
“Ada apa?” tanya Fox yang melihat kegelisahan serta kepanikan di wajah asisten sekaligus sahabatnya itu.
“Grandma.”
Tanpa bertanya lebih panjang, Fox segera bangkit dari kursi kebesarannya, kemudian keluar dari ruangan, diikuti oleh Steve.
🌹🌹🌹