Kesempatan kembali ke masa lalu membuat Reina ingin mengubah masa depannya yang menyedihkan.
Banyak hal baru yang berubah, hingga membuatnya merasakan hal tak terduga.
Mampukah Reina lari dari kematiannya lagi atau takdir menyedihkan itu tetap akan terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali ke masa lalu
Reina terkesiap, napasnya terengah-engah. Dia menatap sekitar dengan panik.
Setelah cukup tenang, kini dia merasa heran. Ke mana para algojo yang tadi tengah menyiksanya.
Kini, pandangan Reina menyisir ke arah ruangan yang terlihat terang.
Ini sangat familier. Batin Reina.
Benar saja, Reina memperhatikan ruangan sempit itu dengan saksama. Setelahnya dia melihat dirinya sendiri. Melihat tubuhnya yang masih utuh meski hanya tinggal kulit membungkus tulang.
Namun tak ada luka patah, tak ada darah. Reina menepuk dirinya dengan keras. Apakah ini alam baka. Gumamnya masih tak percaya.
Ketukan keras di pintu membuatnya terlonjak. Ini kamarnya, kamar di rumahnya dulu.
Pertanyaannya, kenapa dia bisa ada di sini. Lalu di mana lelaki kejam bernama Harlan yang tadi menyiksanya?
"Non!" panggil seseorang di depan pintu. Air mata menggenang di pelupuk matanya.
Itu adalah suara orang yang sangat dikenalnya dan dia merindukannya.
"Non!" panggilnya lagi dengan tidak sabar.
Reina bangkit dari kasur tipisnya. Samar ia ingat jika dulu dia tinggal di kasur lusuh itu.
"Bi Astrid?" panggil Reina seraya memeluk seorang wanita paruh baya itu dengan erat.
"Ya ampun, Non kenapa? Apa mimpi buruk lagi?" nada panik wanita itu semakin membuat tangis Reina semakin kencang.
"Bibi, syukurlah bibi masih hidup. Maafkan aku—"
"Non ini bicara apa? Tentu bibi masih hidup. Tapi bisa jadi bibi akan segera mati jika Non ngga segera melepaskan pelukannya," balas wanita itu dengan kekehan.
Reina melepaskan pelukannya. Dia lantas menatap ke arah sekitar. Ini rumahnya.
Apa dia koma dan kembali sadar lalu di bawa ke rumahnya?
"Hei kok bengong, Non ngga mau berangkat ke acara pesta kelulusan?" tanya Astrid heran.
Reina mengernyit heran. Pesta kelulusan? Apa maksudnya? Dia sudah menikah sejak tiga tahun lalu. Lantas apa maksud pelayan rumahnya tentang pesta kelulusan?
"Apa maksud bibi? Aku ini sudah lulus, bahkan sudah menikah, sekarang ini aku—" ucapan Reina terhenti saat dia teringat dengan kandungannya.
Anak yang ia sayangi meski tak pernah diinginkan oleh suaminya— Edwin.
Bahkan di saat kejadian keji itu, dirinya mati-matian menjaga kandungannya dari pukulan membabi buta yang di lakukan oleh anak buah Harlan padanya.
Namun sekeras apa pun ia melindungi, nyatanya darah yang keluar dari daerah sensitifnya membuat Reina sadar jika ia telah kehilangan anaknya akibat siksaan yang di lakukan lelaki keji bernama Harlan itu.
Air mata Reina kembali mengalir saat mengingat bagaimana ia kehilangan anak yang di kandungnya.
"Non ini ngomong apa? Jangan aneh-aneh Non. Non benar-benar membuat saya takut!" keluh Astrid.
Tak lama pandangan Reina tertuju pada sebuah kalender yang menunjukan tahun di mana ia baru lulus sekolah menengah atasnya.
"Bi, kenapa kalendernya belum di ganti?"
Astrid semakin heran dan juga cemas saat mendengar ucapan tak masuk akal nona mudanya.
"Astaga sepertinya mimpi non sangat buruk semalam ya. Ya sudah Non sebaiknya ngga usah datang saja."
Belum sempat Reina menjawab, sebuah suara membuatnya semakin keheranan.
"Kamu ngga datang ke pesta kelulusan?" suara itu masih sama. Nada manja yang selalu membuat orang lain terbuai tapi justru membuat Reina muak.
Ini bukan mimpi, semua seperti kejadian tiga tahun silam.
Mengabaikan pertanyaan Elyana— saudari tirinya. Reina memilih menatap cermin di dalam kamarnya.
Ini wajahnya tiga tahun lalu. Rambut serta wajah yang selalu terlihat pucat adalah wajahnya dulu.
Apa dia kembali ke masa lalu? Jika iya, bagaimana bisa?
"Kenapa dia? Sudah aneh makin tambah aneh aja," cibir Elyana lagi.
Benar, kini Reina menyadari jika entah bagaimana, tapi dia di beri kesempatan hidup lagi dan kembali ke masa lalu.
"Non?" cicit Astrid khawatir.
Reina berbalik dan tersenyum kepada pelayan yang masih dipertahankan ayahnya. Setelah kedatangan Elyana dan ibunya. Semua pelayan yang dulu ikut dengan keluarganya digantikan.
Hanya Astrid saja yang dipertahankan sebab sang ayah hanya bisa makan masakan wanita itu.
"Terima kasih Bi, aku baik-baik aja. Aku mau bersiap."
Astrid bingung mendengar ucapan terima kasih dari nona mudanya.
Namun dia tetap bersyukur jika semuanya baik-baik saja, sedangkan Reina berterima kasih karena merasa lega sebab bisa bertemu wanita itu lagi.
"Jangan mempermalukan kami di sana. Anggap kita tidak saling mengenal!" ucapan kasar itu meluncur dari mulut Laksmana Angkasa, kakak pertama Reina yang juga menjadi orang pertama yang membenci Reina dan menyalahkan dirinya atas kematian ibu mereka.
Reina mengepalkan tangannya erat. Dia berjanji di kehidupan ini, ia tak akan lagi menjadi wanita lemah yang rela ditindas oleh keluarganya.
"Kau tenang saja, tak ada satu pun yang tahu kalau aku ini bagian keluarga Angkasa. Aku adalah keturunan Suwito," balas Reina dingin.
Laksmana yang mendengar ucapan adik bungsunya, terpaku tak percaya. Gadis yang biasanya hanya diam dan patuh pada mereka kini bahkan bisa bicara dengan nada dingin yang asing.
"Baguslah," dengus Laksmana menyembunyikan kegundahannya.
Tak jauh dari mereka, sosok pemuda lain juga tak kalah terkejutnya.
Reina yang biasanya hanya diam lalu menangis, kini bahkan berani menjawab kakak pertamanya.
"Kak Vano juga akan hadir di acara kelulusanku kan?" pinta Elyana manja.
Kedua saudara laki-laki itu memperlakukan adik tirinya dengan baik. Semua mereka lakukan karena ingin menyakiti Reina lebih dalam.
Mereka sangat puas saat menatap wajah penuh keirian Reina saat mereka lebih memanjakan Elyana.
Dulu hanya Laksmana yang membenci dan menyalahkan Reina. Tak lama lelaki itu memprovokasi ayah dan adiknya untuk ikut membenci Reina juga.
Meski kala itu Vano dan ayahnya tak membenci Reina, tapi sikap mereka yang mengabaikan Reina juga cukup membuat Laksmana puas.
Reina kembali ke kamar. Ia benar-benar kembali ke masa lalu tapi dengan ingatan masa depan yang ia bawa.
Kejadian tadi juga samar-samar ia ingat. Namun kala itu dirinya tak menjawab ucapan menyakitkan dari kakak pertamanya.
Ia yang lemah hanya bisa menangis dan menerima keadaan. Kini, masa depan sudah mulai ia rubah.
Satu persatu kejadian tengah ia ingat. Lalu senyum sinis terkembang di sudut bibir pucatnya.
Masa depan akan berubah, apa takdir akan kembali mempermainkannya atau dia yang harus jungkir balik menghadapi takdir kejam kehidupan masa depannya.
.
.
.
Lanjut