"Itu anak gue, mau ke mana lo sama anak gue hah?!"
"Aku nggak hamil, dasar gila!"
Tragedi yang tak terduga terjadi, begitu cepat sampai mereka berdua tak bisa mengelak. Menikah tanpa ketertarikan itu bukan hal wajar, tapi kenapa pria itu masih memaksanya untuk tetap bertahan dengan alasan tak masuk akal? Yang benar saja si ketua osis yang dulu sangat berandal dan dingin itu!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Skyeuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Semoga semuanya hanya mimpi, Ning ingin semua yang terjadi hari ini adalah angan semata dan dia bangun dari tidur lelapnya. Atau barang kali tahu Mama dan Papanya segera bilang bahwa kejadian siang tadi hanya sebuah lelucon semata.
"Sayang, selamat ya sudah bertemu dengan calon suamimu," namun nyatanya suara Mama berhasil meruntuhkan harapan setitik Ning.
"Ma... Aku nggak suka Jay," katanya menyahut.
Siapapun yang mendengar perkataan Ning, mereka pasti tidak akan percaya pada ungkapan tersebut. Sebab semua orang yang mengenal Ning, saat itu tahu bahwa Ning membawa perasaannya ketika bersama Jay. Orang-orang saja sadar kalau dia jatuh cinta pada Jay, tapi Ning tetap kukuh pada pendiriannya kalau dia tidak pernah menyukai Jay selama mereka menjadi "sepasang kekasih" karena dulu Jay dan Ning hanya pura-pura.
Mamanya terlihat santai, "Apapun itu kamu udah janji sama Mama dan Papa untuk menikahi laki-laki pilihan kami, jangan sampai ingkar sayang," Ning menghela napas berat.
Ini bukan pilihan, tetapi jebakan yang tidak bisa dia temukan jalan keluarnya. Mereka berdua membuat dia menyepakati hal yang di luar kuasanya, dan menjadikan Ning sebagai anak yang tidak bisa membatalkan rencana yang dibangun sebelumnya. Kalau bukan Jay, mungkin Ning akan sedikit mempertimbangkan laki-laki itu sebagai imamnya. Tapi, kalau Jay, dia...ah, sialan sekali Ning tak tahu harus apa karena dia juga sudah mengucap janji bahwa siapapun orangnya dia akan menikahinya dengan lapang dada.
"Baiklah," katanya pasrah dengan apa yang akan terjadi ke depannya.
Dia tahu seharusnya bisnis diurus saja oleh dirinya, bukan oleh calon suaminya. Kalau seperti ini Ning jadi menyesal tidak mengambil jurusan bisnis dan keuangan saat kuliah, alih-alih begitu dia malah mengambil jurusan seni teater yang jelas arahnya masuk ke dunia entertainment. Padahal perusahaan Ayahnya itu di bidang kosmetik bukan entertainment. Ning sangat menyesal sekarang.
"Alhamdulillah, bagus Ning. Besok luangkan waktu kamu buat ukur baju, baju kalian nggak bisa pakai kostum ada banyak yang akan datang nanti."
Mama memang terlihat lembut, tapi baginya semua itu tetap paksaan yang semua orang jelas akan menolak. Ning melirik sang Ayah yang tanpa komentar, tanpa membelanya, sudah jelas bukan kalau dia dibuang untuk menjadi pengantin yang bisa menguntungkan perusahaan. Perempuan itu mengembuskan napasnya dalam-dalam, lalu tersenyum bisnis.
"Oke," katanya menyahut dengan singkat. Mama memeluknya sambil menepuk pundak Ning, sementara itu Papa hanya menatapnya dengan tatapan yang penuh makna. Entah dia sedih, lega, atau bahagia. Ning tidak bisa menebaknya.
Setelah itu, Ning memilih untuk keluar bersama Kartika dan Gisel, omong-omong Winda sedang menghadiri acara keluarga yang tidak tahu apa karena cewek itu nggak ngasih tahu teman-temannya. Ning curiga, sih kalau Winda akan menikah biasanya yang diam-diam itu yang paling manjur ketika melaksanakan pernikahan. Ning, Kartika, dan Gisel memutuskan untuk makan di sebuah restoran dekat rumah Gisel. Mereka bertiga hanya jalan-jalan biasa, tanpa memakai pakaian hedon yang tempatnya jelas untuk sebuah pesta dan acara tertentu. Namun, tampaknya mereka semua tetap dress well. Lihat saja Ning dengan celana loose jeans panjangnya, kaus putih bergambar barbie di dadanya yang membentuk lekuk tubuhnya, serta jaket jeans crop top berlengan panjang, dan rambutnya yang panjang lurus itu diikat.
"Anjir, mau makan di resto aja kayak mau nongkrong ke mana, gue kira kita bakalan ke mall belanja taunya... Ning lo belajar bohong dari mana, sih?!" agaknya Kartika cukup kesal karena dia tampil penuh usaha untuk terlihat menawan. Padahal mereka pakai baju kaus dan celana pendek saja luar biasa menarik perhatian manusia.
"Siapa juga yang bilang kita bakalan ke mall!" Ning jelas membantah tuduhan itu.
"Lah, kocak lu kan bilangnya kita harus tampil cantik biar jadi pusat perhatian. Gue kira ke mall karena di mall banyak yang dress well, anjirlah kesel banget gue!" Kartika masih tidak mau tahu tentang alasan Ning.
"Diem aja deh lu, banyak makanan enak juga di sini lebih murah daripada mall!" tampaknya perang dunia itu terus berlanjut.
Kartika mengenakan celana loose jeans berwarna hitam, kaus ketat warna hijau zamrud tanpa lengan, dan long sleeve yang hanya menutupi lengan berwarna senada dengan celananya. Adapun Gisel yang tampak swag dengan penampilannya saat ini. Loose pants hitam bermotif salur vertikal yang membuatnya tampak lebih tinggi, tanktop hitam yang dibalut dengan jaket bomber berwarna senada, dan topi cokelat serta rambutnya yang tergerai panjang. Mungkin merak bisa disebut cewek mamba kalau dilihat dari tampilannya.
"Eh kocak, kan gue jadi kalah!" Gisel yang sedang bermain game di ponselnya menggerutu.
Semuanya cantik tanpa terkecuali, tapi jujur saja yang sangat menonjol di sana itu Gisel dan Ning sangat mendominasi dengan penampilan mereka yang terlihat seperti wanita tak tersentuh. Bukan berarti Kartika tidak menjadi pusat perhatian, hanya saja perempuan itu lebih cocok disebut "cewek cantik" dibanding "wanita keren".
"Yeuh! Kok nyalahin kita bejir, kan elu yang main kocakk!" sahut Kartika yang sama sekali tidak tahu apa masalahnya. Begitupun Ning yang matanya sudah main ke sana kemari karena mendengar ocehan Gisel.
Mereka tidak sadar kalau sejak tadi ada yang memperhatikan ketiganya. Ia tersenyum sinis, tidak, lebih tepatnya senyum yang menandakan ketertarikan kepada sekumpulan perempuan cantik tersebut.
"Hai," sapaan itu membuat mereka bertiga terutama Ning terkejut mendengarnya.
Oh sial, kenapa ada laki-laki itu di sini? Apakah dia mengikuti mereka? Ning tak bisa berpikir jernih mungkin efek lapar juga.
"Hai... Daniel," sahut Kartika yang ramahnya terlihat dibuat-buat.
"Apa kabar kalian?" dia bertanya pada semua orang atau hanya kepada Ning, sih? Matanya hanya tertuju pada Ning. Sedangkan Ning sendiri menghindari kontak mata dengan pria yang tampilannya bak seorang soft boy yang punya pesona.
Namun, setelah pernah "berpacaran" bersama Jay dia jadi tahu bahwa Jay lebih baik daripada Daniel. Apapun itu, mereka berdua tak bisa dibandingkan alias Jay tak pantas disandingkan dengan siapapun terutama dengan Daniel. Pokoknya tidal boleh ada yang menyamakan mereka berdua, kalau tidak Ning akan marah, ya, dia tak dapat menerimanya. Ning berusaha menetralkan perasaan dan tindakannya.
"Ning? Bagaimana kabar kamu?" cara bicaranya kepada Ning jelas dia bedakan.
Entah kenapa, tetapi sejak dulu Daniel sudah seperti itu. Saat itu Ning menganggap bahwa laki-laki seperti Daniel menyimpan perasaannya sendiri, jujur saja Ning pernah berharap bisa mendengar pernyataan cinta dari Daniel. Tapi, sekarang...rasanya tidak akan mudah dia menerima kenyataan kalau pria itu menyukainya juga atau sekadar "pernah" tertarik pada dirinya.
"Ya, aku baik." katanya dengan nada cuek tanpa ekspresi berlebihan, luar biasa dia belajar banyak rupanya dari Jay.