Setelah aku selamat dari kecelakaan itu, aku berhasil untuk bertahan hidup. Tetapi masalah yang kuhadapi ternyata lebih besar daripada dugaanku. Aku tersesat dihutan yang lebat dan luas ini. Aku mungkin masih bisa bertahan jika yang kuhadapi hanyalah binatang liar. Tapi yang jadi masalah bukanlah itu. Sebuah desa dengan penduduk yang menurutku asing dan aneh karena mereka mengalami sebuah penyakit yang membuat indera penglihatan mereka menjadi tidak berfungsi. Sehingga mereka harus mencari "Cahaya" mereka sendiri untuk mengatasi kegelapan yang amat sangat menyelimuti raga mereka. Mereka terpaksa harus mencari dan mencari sampai bisa menemukan mata mereka yang hilang. Dan akhirnya mereka bertemu dengan kami. Beberapa penumpang yang selamat setelah kecelakaan itu, harus bertahan hidup dari kejaran atau mungkin bisa kusebut penderitaan mereka atas kegelapan yang menyelimuti mereka. Berjuang untuk mendapatkan "Cahaya Mata" mereka kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengorbanan
Aku terperangah tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Mas Haris dengan gagah berani mengorbankan nyawanya untuk kami. Orang-orang yang bahkan hanya beberapa saat kami berjumpa dengannya. Orang-orang yang bahkan belum terlalu dia kenal, dia rela berkorban nyawa untuk kami.
Air mata Aini yang menetes membasahi pundakku pun menyadarkanku. Aku pun segera menguatkan jiwaku dan segera menyelamatkan diri dari area ini. Teriakkan dan tangisan Mas Haris begitu pilu. Membuat langkah kakiku menjadi sangat berat untuk meninggalkannya. Tetapi apa daya, itu memang kemauannya. Keinginan untuk berkorban kepada kami, agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi, dan agar kami semua bisa untuk menyelamatkan diri.
Sepertinya kami sudah melangkah cukup jauh dari area itu. Semburat cahaya jingga mulai menyinari bumi. Memaksa masuk dari sela-sela dedaunan yang rimbun. Kami berlari semalaman dengan dada yang sesak. Rasa lelah, kantuk dan kesedihan tercampur menjadi satu. Bersama-sama kami berbagi rasa dan saling melindungi satu sama lain untuk bisa keluar dari hutan terkutuk ini.
Akhirnya kami berhasil keluar dari hutan terkutuk itu. Kami sampai disebuah daerah padang rumput yang cukup luas dengan permadani rumput terhampar sebagai alasnya. Kami pun memutuskan untuk beristirahat sejenak.
Aku langsung merebahkan diri diatas rumput. Memandang langit jingga yang perlahan mulai tergantikan oleh birunya langit. Burung-burung pun juga mulai pergi meninggalkan sarang mencari makanan untuk anak-anaknya. Tiba-tiba Kak Willie berteriak dengan keras dan menangis sejadi-jadinya.
"KOK JADI KEK GINI SIH BANG**T! KENAPA LU NGELAKUIN KEK GINI KE GUA ANJ***!" ratap Kak Willie.
Diikuti tangisan dari Kak Ayu dan Vivi. Mereka juga ikut menangis mengingat kejadian semalam. Aini pun turut larut dalam kesedihan ini. Aku pun bangkit dan langsung memeluk adikku satu-satunya itu untuk menenangkannya. Pak Juari dan Pak Bonadi hanya tertunduk lesu. Mas Doni hanya menatap kosong melihat awan dilangit. Tiba-tiba Kak Evelyn angkat bicara.
"Menangis gak bakalan bisa membuatnya hidup kembali," dengan nada dan ekspresi datar. Kak Willie pun langsung menoleh kearahnya.
"Lu gak punya hati apa? Lu gak punya perasaan apa bilang kek gitu hah?!" ucap Kak Willie dengan nada yang membentak.
"Kenapa gak lu aja yang korbanin nyawa buat kita biar kita semua selamat dan biar gue bisa bilang kek gitu nantinya?!" sambungnya.
"Aku gak akan ngelakuin kek gitu karena itu gak ada untungnya buatku. Lebih baik aku kabur aja dari kejaran para zombie itu," jawab Kak Evelyn dengan tatapan tajam kearah Kak Willie.
"Aku juga gak terlalu kenal sama Haris. Jadi aku gak terlalu sedih kehilangan dia," tambahnya. Tiba-tiba Kak Willie langsung menerjang dan meraih kerah sweater biru tua Kak Evelyn.
"Lu mending diem gak?!" ucap Kak Willie dengan nada mengancam. Pak Bonadi pun langsung melerai mereka berdua.
"Wil sudah hentikan! Yang dia katakan memang benar. Menangis tidak akan bisa membuat Haris hidup kembali. Dia seorang prajurit sejati yang patut kita kenang perjuangannya!" ucap Pak Bonadi kepada Kak Willie.
"Sebaiknya kita doakan saja yang terbaik agar dia disana berada dalam tempat yang lebih layak," sambungnya.
Kami semua pun terdiam. Apa yang dikatakan Pak Bonadi memang benar. Menangis tak akan membuatnya hidup kembali. Yang harus kita pikirkan saat ini adalah bagaimana bersama-sama keluar dari tempat ini dengan selamat tanpa jatuh korban lagi.
Kak Willie pun melepaskan cengkeramannya dari Kak Evelyn. Dia mulai menyeka air matanya dan beranjak pergi. Aku kembali merebahkan tubuhku diatas rerumputan itu. Angin yang bertiup kencang membuatku merasa sangat mengantuk. Dan tak terasa aku pun mulai tertidur.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Hei! Bangun! Kami nemuin tempat persembunyian," suara Vivi membangunkan tidur lelapku. Aku langsung bangun terduduk setelah mendengar suaranya.
"Udah berapa lama aku tidur, Vi?" tanyaku.
"Kamu tidur nyenyak banget. Sampe ngorok-ngorok," jawab Vivi sambil tertawa kecil.
"Hehe capek banget aku. Sampe gak sadar ketiduran disini," jawabku tersipu malu.
Sang mentari mulai tinggi, tetapi cahayanya belum terlalu menyengat di kulitku. Aku mulai melihat sekitar yang ternyata yang lain juga masih tertidur.
"Loh Kak Ayu sama Aini kemana?" tanyaku.
"Dia ada di seberang sana," tunjuk Vivi kearah rerimbunan pepohonan.
"Aduh aku malas kalo harus ngejelajah hutan lagi," gerutuku.
"Gapapa kok. Disana gak ada zombie. Aku jamin aman deh," ucap Vivi mencoba untuk menyakinkan ku.
"Ayo bangunin yang lain. Semoga aja disekitar sana kita bisa nemuin jalan raya," perintah Vivi. Tanpa basa-basi aku pun menuruti perkataannya.
Setelah semuanya bangun, kami pun bergegas menuju ke seberang padang rumput ini. Pepohonan disana tidak terlalu tinggi, tidak seperti hutan sebelumnya yang dipenuhi oleh pohon-pohon yang tinggi menjulang. Setelah beberapa langkah kami berjalan, kami menemukan sebuah rumah kayu dengan lantai 2 disana. Sebuah rumah terpencil tanpa ada bangunan lain disekitarnya. Kami pun tanpa ragu memasukinya.
"Kita bisa beristirahat sebentar disini. Aku juga udah cek sekeliling gak ada zombie dimanapun," ucap Kak Ayu sambil membuka pintu rumah itu dari dalam. Ternyata Kak Ayu sudah berada disana sebelumnya.
Didalamnya kosong, tidak ada perabotan seperti rumah pada umumnya. Sepertinya ini lebih tepat disebut kandang daripada rumah. Terdapat satu lentera tepat berada di atap rumah ini. Dengan satu tangga bambu yang bersandar untuk menuju ke lantai selanjutnya.
"Sebaiknya kita cari sesuatu untuk memblokir pintu keluarnya," ucap Pak Bonadi.
Aku melihat sekeliling, aku pun menemukan sebuah balok kayu yang lumayan panjang untuk mengunci pintunya. Aku segera melintangkan kayu tersebut ke tengah-tengah pintu masuk supaya saling terkunci satu sama lain.
"Dikunci seperti ini juga sudah lumayan bagus. Sekarang kita tinggal keluar untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan," titah Pak Bonadi sembari melepaskan kembali balok kayu yang melintang dan meletakkannya disamping pintu keluar. Kami pun mulai berpencar untuk mencari makanan.
Setelah sang mentari tepat berada diatas kepala, aku dan Aini kembali ke tempat persembunyian kami sembari membawa 3 ekor ikan dan beberapa buah-buahan hutan. Dan aku melihat juga di kejauhan Pak Juari juga membawa 2 ekor kelinci untuk kami makan nantinya.
Kami mulai mempersiapkan alat memasak, aku dan Aini bertugas untuk membersihkan ikan. Kak Ayu dan Vivi mempersiapkan apinya. Tak berselang lama Pak Bonadi dan Novan datang dengan membawa kayu bakar yang cukup banyak untuk memasak hasil tangkapan kami.
Kak Willie dan Mas Doni seekor membawa ayam hutan hasil menjebak dengan peralatan sederhana karya Mas Doni. Dan yang terakhir Kak Evelyn membawa buah-buahan hasil kelihaian dia dalam memanah. Setelah semuanya siap, kami mulai membakar hasil tangkapan kami sembari saling bercerita menunggu ikan bakarnya matang. Kami pun duduk melingkar mengitari api unggun.
"Kenapa Haris bisa sangat berani menghadapi para zombie itu" tanya Pak Bonadi secara tiba-tiba. Kami hanya saling memandang satu sama lain terkejut mendengar pertanyaan itu.
"Udah lah pak. Yang lalu biarlah berlalu. Sekarang kita pikirin rencana apa yang harus dilakuin kedepannya," gerutu Kak Willie. Kemudian Mas Doni menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
"Haris adalah orang pertama yang siuman setelah kecelakaan itu, diikuti aku berikutnya," ucap Mas Doni dengan suara berat.
"Kami berdua berusaha untuk mencari bantuan sebelum kalian semua siuman. Tetapi hasilnya nihil,"
"Siang itu, kami memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu setelah berkeliling mencari bantuan yang mungkin mustahil untuk datang tepat waktu. Dia pun mulai bercerita tentang masa lalunya,"