Adinda Aisyah Zakirah adalah gadis berusia 19 tahun.
"Kakak Adinda menikahlah dengan papaku,"
tak ada angin tak ada hujan permintaan dari anak SMA yang kerapkali membeli barang jualannya membuatnya kebingungan sekaligus ingin tertawa karena menganggap itu adalah sebuah lelucon.
Tetapi, Kejadian yang tak terduga mengharuskannya mempertimbangkan permintaan Nadhira untuk menikah dengan papanya yang berusia 40 tahun.
Adinda dihadapkan dengan pilihan yang sangat sulit. Apakah Adinda menerima dengan mudah lamarannya ataukah Adinda akan menolak mentah-mentah keinginannya Nadhira untuk menikah dengan papanya yang seorang duda itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 5
"Semua papa di dunia ini pasti akan melakukan apapun demi kebahagiaan anaknya, termasuk aku yang rela menikah kedua kalinya demi kebahagiaan Nadhira putriku."
Baruna bahagia melihat kebahagiaan anaknya, dia rela berkorban apapun asalkan buah hatinya bisa tersenyum bahagia dan sehat seperti sebelumnya.
“Kakak sudah makan? Kalau belum di kulkas itu ada makanan, tidak usah sungkan. Apalagi kakak tidak lama lagi bakal menjadi mamaku,” ucapnya.
Adinda tersenyum canggung karena ketahuan belum makan, dia hanya makan pagi tadi sebelum memetik pohon mangga milik mendiang ibunya.
Adinda menyantap hidangan yang sungguh tidak dia percaya kalau dia bisa makan enak hari ini.
"Alhamdulillah akhirnya bisa lagi makan makanan yang enak-enak, makasih banyak ya Allah atas rezeki yang Engkau berikan kepadaku," gumamnya.
Dia yang sehari-hari kebanyakan makan telur hasil ternak ayam dan bebeknya dengan sayuran yang ditanam sendiri oleh ibunya.
“Kamu sudah makan? Kalau belum mau aku suapin? Apa kamu punya bubur dari rumah sakit?” Tanyanya Adinda yang sejenak menghentikan acara makannya.
Nadhira tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya, “Aku sudah makan kak, aku senang lihat kakak makan dengan lahap. Kakak makan yah setelah ini aku akan ceritakan tentang siapa-siapa saja keluarganya papa dan keluargaku dari almarhumah mama Kanaya,”
Nadhira sungguh eksaitit dan bersemangat ketika Adinda telah menemuinya tidak seperti sebelumnya yang selalu nampak sedih.
Berselang beberapa menit kemudian…
Adinda rencananya akan balik ke rumahnya tapi, Nadhira mencegahnya untuk balik ke rumahnya.
“Tapi, dek aku tidak bawa pakaian ganti, lagian aku belum memberi makan bebek-bebek sama ayamku, buah mangga yang aku petik tadi pagi belum aku timbang di rumahnya pak Badrul,” alasannya Adinda karena tidak nyaman belum membersihkan tubuhnya.
“Sabar yah kak, aku sudah hubungi Om Bisma. Dia yang akan bawakan segala kebutuhan kakak, Aku juga sudah hubungi papa untuk meminta anak buahnya mengurus bebek dan ayam peliharaan kakak,” ujarnya Nadhira.
“Tapi Dek gak enak sama anggotanya Papa kamu entar dikira aku manfaatkan lagi,” Adinda masih berusaha meyakinkan Nadhira agar bisa diizinkan untuk pulang.
“Tapi, aku tidak terima tapi-tapian apalagi penolakan! Kakak sabar saja tidak lama lagi Om Bisma bakal datang,” putusnya Nadhira yang sebelas dua belas dengan papanya yang suka memaksa.
Adinda pun pasrah dan kembali duduk di sofa tanpa sepengetahuan Adinda, Nadhira meminta papanya untuk membelikan ponsel baru dan beberapa pakaian yang bagus untuk Adinda.
“Alhamdulillah makasih banyak ya Allah Engkau mengabulkan permintaan dan keinginanku. Akhirnya doa-doaku terjawab sudah dan tidak lama lagi aku juga akan kembali memiliki Mama seperti teman-teman lainnya,” gumamnya Nadhira.
Malam harinya, Baruna kembali ke rumah sakit setelah bekerja di kantor polisi sebagai Kapolsek di kampung tempat Adinda tinggal. Baruna membawa beberapa paper bag khusus untuk Adinda.
“Gantilah pakaianmu dan ini ada hp baru untuk kamu pakai,” Baruna menyodorkan barang-barang itu ke dalam tangannya Adinda.
“Syukur Alhamdulillah makasih banyak Om sudah dibelikan hp padahal tidak perlu repot-repot juga sih " Adinda tidak ada jaim-jaimnya sedikitpun.
Dalam hati Adinda ini namanya rejeki nomplok! Kapan lagi bisa pakai hp dengan merek terkenal dan mahal pula. menabung pun belum tentu bisa kebeli.
Ga baik menolak rezeki katanya ustad yang sering ceramah mengisi pengajian di masjid.
"Entah amalan baik apa yang pernah aku perbuat sehingga bisa mendapatkan hp sebagus ini," Adinda sampai-sampai mencium hp barunya saking bahagianya.
Nadhira hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan calon ibu sambungnya itu.
"insha Allah Papa akan belikan barang mewah dan lebih bagus dari itu asalkan kakak jadi menikah dengan Papaku," imbuhnya Nadhira.
Adinda menginap di rumah sakit menemani Nadhira dan ini pertama kalinya harus sekamar dengan orang asing dan sekaligus seorang pria.
Adinda berjalan ke arah kamar mandi hendak membersihkan tubuhnya, tapi sesekali curi-curi pandang ke arah pria yang akan menjadi suaminya sedang sibuk memainkan laptopnya.
“Masya Allah Om Baruna ganteng banget yah, sayangnya sudah om-om tapi kalau dilihat-lihat sih wajahnya kayak lebih muda Om Baruna daripada Pak Bisma deh,” batinnya.
Adinda yang berjalan sambil menoleh ke arah Baruna tidak menyadari kalau di depannya terdapat pintu hingga suara kepalanya yang beradu dengan kerasnya pintu berbunyi nyaring.
Bugh!!
“Auh sakit!” keluhnya Adinda.
Adinda menggosok-gosok dahinya yang terantuk dengan kerasnya pintu kamar mandi.
“Astaga dragon! Siapa juga yang nyimpan pintu di sini sih? Sakit banget, semoga saja gak benjol,” protesnya Adinda.
Tanpa menoleh ke arah Adinda,” makanya kalau jalan itu matanya dipakai! Jangan jelalatan ke sana kemari!” sarkasnya Baruna masih dengan wajah so coolnya.
“Saya sudah jalan benar loh Om, pintunya saja yang salah!” kilahnya Adinda yang tidak mungkin mengakui kesalahannya.
“Kamu cepatlah mandi terus shalat isya entar waktunya keburu habis,” ujarnya.
Adinda gegas nyelonong masuk ke dalam kamar mandi, Baruna geleng-geleng kepala melihat tingkah lakunya Adinda.
“Dasar bocah!”
Keesokan harinya…
Semua orang duduk di depan ruangan operasi. Karena sesuai dengan permintaan Baruna kepada dokter spesialis kanker darah.
Hari ini adalah jadwal operasi Nadhira yang pertama dan berharap hanya sekali dilakukan operasi setelah berhasil mendapatkan pendonor sumsum tulang belakang.
“Ya Allah lancarkanlah operasinya Nadhira dan sehatkan dia seperti dulu,” cicitnya Adinda sambil sesekali meneguk air putih mineralnya.
Baruna yang duduk tidak jauh dari tempatnya Adinda pun sama tak henti-hentinya melangitkan doa-doa terbaik untuk keselamatan dan panjang umur anaknya.
“Hanya Nadhira yang mampu membuatku bertahan hidup hingga detik ini setelah istriku meninggal. Aku tidak ingin terjadi sesuatu kepada putriku,” Baruna terus menatap ke arah pintu masuk ruang operasi.
Tanpa terduga stok darah di bank darah rumah sakit itu habis sehingga dokter sempat kelimpungan dan kewalahan mencari darah yang sama. Dan ajaib serta untungnya golongan darah Adinda dan Nadhira sama yaitu AB negatif.
“Maaf Pak pasien butuh secepatnya donor darah,” ucap perawat laki-laki itu.
“Kalau butuh cepat ambilkan anakku darah kenapa mesti melapor kepadaku!” kesalnya Baruna.
“Maaf stok darah di bank darah kami kebetulan sedang kosong dengan golongan darah yang sama dengan pasien,” balasnya.
“Golongan darahnya Nadira memangnya apa, Sus!?” Tanyanya Adinda.
“AB negatif,”
“Silahkan ambil darahku sebanyak yang kalian butuhkan, golongan darah kami sama!” Pintanya Adinda tanpa ragu sedikitpun.
“Apalagi yang kalian tunggu! Apa kalian ingin melihat anakku kritis!” bentaknya Baruna.
Adinda dan beberapa perawat menuju ruangan khusus untuk mendonorkan darah.
Kondisi Adinda yang sedikit loyo, lemah letih lesu karena telah mendonorkan darahnya tidak diperdulikannya.
“Aku mau lihat operasinya Nadhira,” gumamnya.
“Anda harus beristirahat agar kondisi kesehatan Anda lebih cepat pulih,” cegah perawat itu.
“Tidak apa-apa Suster, aku masih kuat dan sanggup berjalan kok,” Adinda yang keras kepala tidak peduli dengan larangan suster itu.
Rasa pusing di kepalanya tidak menyurutkan semangatnya untuk menunggu dan melihat langsung operasi yang dilakukan oleh Tim dokter terbaik di rumah sakit swasta terbaik di kota itu.
Baruna berjalan ke arah Adinda yang baru selesai mendonorkan darahnya,” makasih banyak Kamu sudah rela menolong anakku.”
Adinda tersenyum tipis,” tidak perlu Om berterimakasih segala karena ini sudah menjadi tanggung jawab dan kewajibanku sebagai temannya Nadhira.”
Tiga jam lebih sudah berlalu, lampu ruang operasi telah mati pertanda operasinya sudah selesai.
“Alhamdulillah, makasih banyak ya Allah,”
Semua orang berjalan ke arah dokter yang baru saja membuka maskernya.
“Bagaimana dengan putriku, Dokter?” Tanyanya Baruna.
“Alhamdulillah kondisinya sudah stabil, tetapi Pasien masih harus diobservasi beberapa jam di ruang ICU, setelah sadar pasien bisa dipindahkan ke ruang perawatan,” jelas dokter itu.
“Alhamdulillah makasih banyak Dokter,”
“Sama-sama Pak, kami permisi dulu.”
Setiap hari, Adinda menjaga Nadhira bahkan dia tidak pernah pulang ke rumahnya. Ia selalu menginap di rumah sakit.
Semua kebutuhannya Baruna yang menyiapkan segala sesuatunya. Baruna memintanya untuk tinggal di rumah sakit menemani anaknya sampai dinyatakan sembuh dan bisa pulang ke rumah.
Sikap Adinda yang penyayang, ceria, supel dan penuh perhatian kepada Nadhira membuat Baruna yakin dengan pilihannya untuk menikahi Adinda meskipun usia mereka terbilang jauh perbedaannya.
“Saya sangat berterimakasih kepadamu karena kamu sudah menolong putriku,”
“Lagi-lagi Om berterima kasih kepadaku! Apa Om tidak capek ngomong terimakasih mulu,” imbuhnya Adinda.
Baruna jadi salah tingkah mendengar ucapan Adinda.
“Saya ikhlas melakukannya, lagian didunia ini cuma Nadhira yang saya miliki jadi wajarlah kalau saya menjaganya dengan baik,” jelasnya Adinda.
Tiga minggu telah berlalu, kondisi Nadhira dinyatakan sudah sembuh dan stabil sehingga pagi ini sudah bisa pulang ke rumahnya.
Adinda pun berpamitan untuk pulang dan mengabarkan kepada tetangga dan pak RT orang-orang yang “Kakak hati-hati yah, kakak pakai motor yang papa belikan untuk kakak agar lebih mudah bolak balik ke sini,” pintanya Nadira yang sudah bersandar ke headboard ranjangnya. “Iya, makasih banyak kakak pamit pulang dulu assalamualaikum,” ucap Adinda kemudian memeluk calon anak sambungnya sekaligus temannya itu. “Waalaikumsalam, bye kakak.” Adinda berjalan ke arah parkiran tapi langkahnya terhenti ketika ada seseorang yang mencekal pergelangan tangannya. “Berhenti wanita penggoda!"